"Berapa yang kau inginkan?" tanya Kevin dengan ekspresi sinis begitu memasuki ruang kerjanya. Ia melihat dengan jelas Jenni, adik iparnya, tengah meminta uang pada Zara, istrinya. Zara terlihat hendak mengambil ponselnya untuk mentransfer uang, namun Kevin segera menghentikannya. "Biar aku saja, Sayang," tolak Zara lembut, berusaha meyakinkan suaminya bahwa dia masih memiliki uang di rekeningnya. "Tidak usah, biar aku saja," jawab Kevin tegas sambil menatap Jenni dengan tatapan penuh prasangka buruk. Jenni merasa gugup dan jantungnya berdebar kencang. "Jenni butuh 5 juta dolar, Kak," ucap Jenni dengan suara gemetar. "Uang itu untuk apa? Sebanyak itu?" tanya Kevin, menambah tekanan pada Jenni. "Jenni ingin membuat usaha, Kak," jawab Jenni dengan terbata-bata, mencoba menyembunyikan niat buruknya. "Kau pikir kami di sini ngetik uang?" sindir Kevin dingin, membuat Jenni semakin ketakutan. "Tenang saja, aku akan memberikanmu 5 juta dolar dengan satu syarat," ujar Kevin sambi
“Tuan Adamson, saya bahagia bisa menjalin kerjasama dengan Anda. Saya berharap kerjasama kita ini berjalan dengan lancar," ucap salah satu klien bisnis Kevin, yang bernama Tuan Michael, ketika mereka baru saja menyelesaikan penandatanganan kontrak. Ia mengulurkan tangan ke arah Kevin dengan wajah sumringah."Terima kasih, Tuan Michael. Saya pun sangat senang bekerja sama dengan Anda. Semoga ini menjadi awal yang baik sehingga kedepannya kita bisa terus melakukan kerjasama seperti ini." jawab Kevin, membalas uluran tangan sang klien bisnis dengan penuh semangat. Lalu mereka kembali duduk, tatapan mata mereka bertemu dengan penuh kepercayaan. "Saya senang akhirnya apa yang saya nanti-nantikan selama ini terwujud juga. Mudah-mudahan kita tidak kalah bersaing dengan perusahaan yang dikendalikan oleh mereka yang berkecimpung di bisnis gelap," ucap Tuan Michael, nada suaranya penuh harap. "Iya, Tuan. Mudah-mudahan kita yang bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku tidak dipersulit dan t
"Kita akan punya anak, Sayang," ucap Kevin dengan mata berkaca-kaca kepada sang istri, seraya merasakan getaran haru yang mendalam di dalam hatinya.Sang istri yang tengah terbaring lemah di ranjang pasien mengangguk lemah."Iya, Sayang... Kita akan segera menjadi orang tua," gumamnya dengan suara serak namun penuh cinta. "Ya Tuhan, terima kasih... Terima kasih atas rezeki yang Engkau berikan pada kami berdua. Kami berjanji akan menjaganya dengan baik dan mementingkannya dari segala kepentingan kami," kata Kevin, merasa tak sanggup menahan air matanya. Dia mengusap wajah sang istri dengan lembut, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang."Terima kasih, Sayang, atas kabar baik ini. Terima kasih banyak... Aku semakin mencintaimu," ucap Kevin, kembali melabuhkan kecupan hangat di kening sang istri, yang kini tampak meredam isak tangis di pelukannya."Ini semua berkat kebaikan Tuhan pada kita. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk calon anak kembar kita, Sayang," s
Tak terduga, kabar kehamilan istri Kevin terdengar oleh Daniel; sebab seluruh karyawan ditraktir makan siang di restoran mewah kota itu. Tentu saja pelakunya sudah pasti Raras. Dia yang mengadukan semuanya pada sang papa serta meminta sang papa untuk menghancurkan kebahagiaan Kevin.Daniel sangat geram, kebencian mendalam terasa mengalir di dalam darahnya. Pikirannya licik dan kelam, ia semakin bersikeras menghabisi Kevin dan istrinya - tak ingin ada keturunan Adamson lagi menginjak dunia ini. "Galen, kita harus segera bertindak! Ini sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, kebahagiaan mereka justru membuat rencana kita terancam," Daniel menggeram, raut wajahnya kesal.Galen menghela napas, "Tapi, kita harus mulai dari mana? Kita juga harus hati-hati, Daniel. Kekuatannya bukanlah tandingan kita; lebih-lebih Jenni kini terusir dari apartemennya, dan mereka dengan mudah mendapatkan informasi tentang kita."Daniel berpikir sejenak, sebelum kemudian berujar penuh tekad, "Aku akan mencoba mend
“Ayo kita tidur lebih awal sayang,” ajak Zara pada Kevin, karena hari ini Kevin katanya kelelahan bekerja. Zara tak ingin Kevin sakit. Pria itu pun menyetujui, lalu keduanya naik ke atas ranjang. Kevin membawa sang istri masuk dalam dekapannya. "Katakan sayang, apa yang ingin kau minta? Apa yang kau butuhkan?" tanya Kevin dengan lembut pada sang istri yang tengah mengandung anak kembarnya. "Tidak ada, sayang. Aku tidak membutuhkan apapun sekarang ini. Aku hanya ingin istirahat," ucap sang istri dengan senyum lelah di wajahnya. Kevin menatap istri dengan perasaan campur aduk, "Tapi yang aku dengar, orang yang sedang ngidam itu pasti membutuhkan sesuatu, sayang. Jangan ragu untuk memberitahuku, aku ingin berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhanmu."Sang istri tersenyum, "Aku belum merasa ngidam, sayang. Biasanya kalau ngidam itu baru terasa di usia kehamilan 2 bulan, sekarang ini belum. Jadi jangan khawatir ya.""Aku percaya padamu, sayang. Aku ingin menjadi suami dan ayah
“Betapa tega mereka! Dia bahkan rela membunuh mamaku demi uang. Padahal, aku pikir mereka itu orang yang tulus." ucap Zara dengan tatapan penuh kemarahan. Dia meluapkan pada Dimas yang saat ini duduk di dalam mobil bersama dengannya. Mereka sedang melaju menuju ke kediaman Kevin dari rumah sakit jiwa. "Tenanglah, Nyonya," sahut Dimas sambil memegang setir, "kami akan berusaha mencari bukti untuk bisa menjebak Galen dan semua yang terlibat, serta mengantarnya ke balik jeruji besi. Anda teruslah berdoa agar Papa Anda segera pulih dan dapat memberikan bukti yang lebih akurat. Saya yakin, Papa Anda pasti menyimpan sesuatu yang bisa membantu kita mengungkap kejahatan mereka." Mata Zara berkaca-kaca, namun ia berusaha tersenyum. "Terima kasih, Dimas," ucapnya dengan suara serak. "Kau sudah sangat membantu kami, bahkan melebihi panggilan tugas. Kevin dan aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu.""Sama-sama, Nyonya," balas Dimas dengan sikap sopan dan tulus. "Sebagai abdi setia, sudah m
Setelah tiba di kantor polisi, Daniel pun menyampaikan alasannya mengapa dia bisa sangat marah pada pria di sampingnya. "Dia duluan yang bikin onar, Pak! Dia yang memancing amarah saya," ucap Daniel tegas. Pemuda itu pun angkat bicara. "Saya hanya minta bayaran sesuai janji Anda, Tuan. Tapi Anda bilang tidak mau bayar. Ya, sudah, saya mau pulang. Kenapa Anda tega memukul saya begitu?" sahutnya dengan nada mempertahankan diri.“Perjanjian apa yang kalian sepakati?” tanya polisi membuat jantung Daniel dan pria muda itu berdetak kencang.Hening sesaat."Cepat katakan perjanjian apa yang kalian buat!" bentak polisi itu dengan nada tegas dan tajam. Merasa terjepit dan tak punya pilihan, pemuda itu pun memutuskan untuk jujur karena ia tahu bahwa, saat ini, kejujuran adalah senjata terbaiknya. Lagipula, di kantor polisi, lebih baik ia minta perlindungan daripada terjerumus dalam permasalahan yang lebih besar bersama Daniel."Saya dibayar dengan nominal yang cukup besar untuk menaruh ala
Keesokan harinya, Kevin bertemu dengan pengacara yang telah membantunya mengumpulkan bukti. Ia telah menyerahkan bukti-bukti itu kepada pihak penyidik di kantor polisi. "Jadi, Anda tahu sebenarnya kalau OB itu menaruh sesuatu di ruangan Anda?" tanya pengacara itu dengan ekspresi serius. Kevin mengangguk, lalu menjelaskan rencananya, "Saya meminta beberapa orang untuk mengawasi Daniel, keluarganya, juga mertua dan adik ipar angkat saya. Jadi, kemanapun mereka pergi, saya pasti tahu. Saat pelayan di restoran membawakan makanan untuk Daniel dan OB itu, kami sudah menyimpan alat penyadap di sana. Sehingga, semuanya bisa terekam dengan jelas." "Termasuk kopi dan teh yang diberikan pada Anda. Berhasil Anda buang?” tanyanya, Kevin kembali mengangguk. “Anda hebat, Tuan muda. Tuhan selalu melindungi Anda," puji pengacara itu, mengakui kecerdikan Kevin dalam menghadapi situasi sulit tersebut. Kemudian, Kevin melanjutkan, "Keluarga saya sudah disakiti bertubi-tubi, Pak. Bahkan, kami dihabis