“Betapa tega mereka! Dia bahkan rela membunuh mamaku demi uang. Padahal, aku pikir mereka itu orang yang tulus." ucap Zara dengan tatapan penuh kemarahan. Dia meluapkan pada Dimas yang saat ini duduk di dalam mobil bersama dengannya. Mereka sedang melaju menuju ke kediaman Kevin dari rumah sakit jiwa. "Tenanglah, Nyonya," sahut Dimas sambil memegang setir, "kami akan berusaha mencari bukti untuk bisa menjebak Galen dan semua yang terlibat, serta mengantarnya ke balik jeruji besi. Anda teruslah berdoa agar Papa Anda segera pulih dan dapat memberikan bukti yang lebih akurat. Saya yakin, Papa Anda pasti menyimpan sesuatu yang bisa membantu kita mengungkap kejahatan mereka." Mata Zara berkaca-kaca, namun ia berusaha tersenyum. "Terima kasih, Dimas," ucapnya dengan suara serak. "Kau sudah sangat membantu kami, bahkan melebihi panggilan tugas. Kevin dan aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu.""Sama-sama, Nyonya," balas Dimas dengan sikap sopan dan tulus. "Sebagai abdi setia, sudah m
Setelah tiba di kantor polisi, Daniel pun menyampaikan alasannya mengapa dia bisa sangat marah pada pria di sampingnya. "Dia duluan yang bikin onar, Pak! Dia yang memancing amarah saya," ucap Daniel tegas. Pemuda itu pun angkat bicara. "Saya hanya minta bayaran sesuai janji Anda, Tuan. Tapi Anda bilang tidak mau bayar. Ya, sudah, saya mau pulang. Kenapa Anda tega memukul saya begitu?" sahutnya dengan nada mempertahankan diri.“Perjanjian apa yang kalian sepakati?” tanya polisi membuat jantung Daniel dan pria muda itu berdetak kencang.Hening sesaat."Cepat katakan perjanjian apa yang kalian buat!" bentak polisi itu dengan nada tegas dan tajam. Merasa terjepit dan tak punya pilihan, pemuda itu pun memutuskan untuk jujur karena ia tahu bahwa, saat ini, kejujuran adalah senjata terbaiknya. Lagipula, di kantor polisi, lebih baik ia minta perlindungan daripada terjerumus dalam permasalahan yang lebih besar bersama Daniel."Saya dibayar dengan nominal yang cukup besar untuk menaruh ala
Keesokan harinya, Kevin bertemu dengan pengacara yang telah membantunya mengumpulkan bukti. Ia telah menyerahkan bukti-bukti itu kepada pihak penyidik di kantor polisi. "Jadi, Anda tahu sebenarnya kalau OB itu menaruh sesuatu di ruangan Anda?" tanya pengacara itu dengan ekspresi serius. Kevin mengangguk, lalu menjelaskan rencananya, "Saya meminta beberapa orang untuk mengawasi Daniel, keluarganya, juga mertua dan adik ipar angkat saya. Jadi, kemanapun mereka pergi, saya pasti tahu. Saat pelayan di restoran membawakan makanan untuk Daniel dan OB itu, kami sudah menyimpan alat penyadap di sana. Sehingga, semuanya bisa terekam dengan jelas." "Termasuk kopi dan teh yang diberikan pada Anda. Berhasil Anda buang?” tanyanya, Kevin kembali mengangguk. “Anda hebat, Tuan muda. Tuhan selalu melindungi Anda," puji pengacara itu, mengakui kecerdikan Kevin dalam menghadapi situasi sulit tersebut. Kemudian, Kevin melanjutkan, "Keluarga saya sudah disakiti bertubi-tubi, Pak. Bahkan, kami dihabis
"Jika ruangannya masih utuh dan belum diperbaiki, hitunglah dari pojok kanan 5 ubin, lalu dari samping 3 ubin. Bongkar di situ, maka akan ada peti rahasia di sana," ujar sang Papa mertua kepada Kevin dengan nada misterius dan penuh harap. Kevin merasa terombang-ambing antara percaya dan tidak dengan ucapan sang Papa mertua. Sejenak, ia berpikir mungkin pria paruh baya itu sedang mengalami halusinasi. Namun, hati kecilnya meyakinkan kalau apa yang diungkapkan Papa mertua merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Maka, tanpa ragu, Kevin mengangguk menyetujui sambil berdekap ngeri. "Di mana lagi ada bukti kejahatannya, Papa?" tanya Kevin dengan napas tersengal-sengal, berusaha menahan gelombang kepanikan yang menghantui benaknya. "Semua di sana, Nak. Galen berhasil menyembunyikan kejahatannya yang ia dokumentasikan sendiri, tapi tak mampu menyelamatkannya dari kecaman sekaligus kehancuran. Cepatlah cari, karena di situ juga ada bukti mengerikan bagaimana ia menghabisi keluarga Ada
"Ayo keluarkan semua, berapa peti ada di sana?" tanya Kevin pada anak buahnya, Dimas. "Hanya satu, Tuan. Tapi ini lumayan besar," ucap Dimas sambil menunjukkan peti kayu itu. Kevin mengangguk lalu mengajak Dimas duduk di meja kerja di ruangan itu. Meskipun sedikit kotor, mereka sudah menggunakan masker untuk melindungi diri. Di dalam peti, terdapat beberapa barang, termasuk sertifikat kepemilikan tanah dan foto keluarga yang menampilkan wajah bahagia kedua mertua Kevin saat menunggu kehadiran anak mereka. "Ada dua flashdisk di sini. Sebaiknya kita cek dulu, Tuan" ujar Dimas dengan penuh perhatian.Kevin setuju. Dia dan Dimas sudah tidak sabar dan berharap ada bukti yang benar-benar kuat bisa menggiring kedua pelaku kejahatan itu ke balik jeruji besi untuk selama-lamanya. Kevin akan menuntut mereka dengan hukuman mati, karena kesalahan yang mereka lakukan begitu fatal. Dimas mengeluarkan laptop lalu Kevin mulai membuka data di dalam flashdisk itu. Raut wajah kecewa terpancar dar
Dua hari kemudian, setelah tiba di kota kelahirannya, Kevin segera mengajak Dimas untuk menemui dokter di rumah sakit. Hatinya terbakar ingin menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin, setidaknya demi mencegah kedua mertua angkatnya melarikan diri dari kota ini. "Jadi, bolehkah saya minta izin untuk mengajak mertua saya pulang sebentar, Dok?" tanya Kevin dengan tatapan yang penuh harap. "Boleh sih, Tuan, karena memang urusannya mendesak," jawab dokter dengan hati-hati, "tetapi terpaksa saya harus ikut serta dalam urusan ini dan membawa dua orang perawat bersama. Takutnya nanti ketika pasien bertemu dengan orang yang menyakitinya di masa lalu, beliau akan kumat. Saya tidak bisa lepas begitu saja karena pasien belum sembuh 100%." Mendengar hal itu, Kevin merasa lega dan sekaligus berterima kasih. "Dengan senang hati, Dok! Saya ingin menitipkan pakaian rapi ini untuk mertua saya. Lusa, jam delapan malam, orang suruhan saya akan menjemput di sini dan mengajak Dokter serta yang lainny
“Dia pembunuh sesungguhnya! Dia yang membunuh istri saya, tapi dia malah menyalahkan saya!" teriak mertua Kevin, penuh emosi. Polisi yang hadir segera meringkus Galen dan istrinya, sementara Jenni hanya bisa tertegun di tempat. "Jahat sekali kalian! Membunuh Mamaku demi menguasai harta warisannya? Apa dalam benak kalian hanya ada uang?" Zara menatap nanar kepada orang tua angkatnya."Itu tidak benar! Mama dan Papa tidak pernah melakukannya, semua ini bohong!" teriak Mika Johanes menolak semua bukti yang sudah ada. Namun, fakta yang ada dihadapan mereka jelas dan sulit dibantah."Bahkan dengan segala bukti yang sudah kami miliki ini, kalian masih menyangkal? Segera buktikan saja di pengadilan kalau kalian benar-benar tak bersalah. Kami akan menuntut kalian dengan hukuman seberat-beratnya!" ancam Kevin dengan nada dingin. Mendengar hal itu, Jenni berlutut di kaki Kevin, mencoba meminta belas kasihan demi kedua orang tuanya."Kak, mohon, jangan penjarakan Mama dan Papa. Tanpa mereka,
Esok harinya Kevin datang ke kantor polisi ditemani oleh Dimas dan sang pengacara dia menyerahkan semua bukti kejahatan Galen dan Daniel, keduanya akhirnya terpojok.Kebenaran telah terungkap dan kejahatan mereka segera mendapatkan balasan yang setimpal."Terima kasih, Tuan, atas kerjasamanya," ucap polisi dengan nada hormat. "Sama-sama, Pak. Saya juga berterima kasih dan memohon agar kasus ini diusut tuntas. Mereka harus menerima ganjaran yang setimpal. Jika mereka telah merenggut nyawa begitu banyak orang, maka mereka pun harus siap kehilangan nyawa mereka," sahut Kevin dengan tegas dan tanpa keraguan sedikitpun."Baik, Tuan, serahkan pada kami. Kami akan memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika Anda ingin bertemu dengan para tersangka itu, kami siap memfasilitasinya," ucap polisi tersebut, menawarkan kepadanya.Kevin mengangguk tegas, "Baik, Pak, tolong antarkan saya menemui mereka." Polisi itu pun mengantarkan Kevin ke dalam sebuah ruangan khusus. Di sana, Galen dan D