"Pihak polisi sedang mencari mereka, Pak. Tapi mereka sudah kabur.""Mereka?""Kan pada saat penandatanganan surat itu banyak pihak yang terlibat. Para saksi dan juga aparat desa kampung sebelah. Ternyata mereka semua sekelompok penipu.""Terus bagaimana tanggapan dari pihak PT Koba-X?" Tanya Dinda."Tidak ada tuntunan apa-apa karena aku disini juga adalah korban penipuan. Tapi," Alex menjeda kalimat, sedikit ragu melanjutkan. Dia khawatir jika Dinda bisa syok, apalagi saat ini dia sedang hamil muda."Tapi apa, Mas…""Din, kita harus merelakan bangunan itu dihancurkan. Karena tanah itu akan segera digunakan oleh mereka untuk lahan pertambangan.""Ya Ampun…" Dinda langsung histeris."Terus? Kita tidak dapat ganti rugi apapun, begitu?"Alex menggelengkan kepalanya, “Ini murni kesalahan kita yang teledor. Mana PT Koba-X mau tau!"Lemas sudah tubuh Dinda. Baru saja dia menikmati peran sebagai istri seorang pengusaha, ternyata sudah bangkrut saja.Bukan tidak banyak mereka mengeluarkan uan
Tetapi, bukannya mendapatkan kontak Mia, dia malah mendapatkan cacian dari Silvia. "Heh, ada keperluan saja kamu telpon ya? Kalau tidak ada saja, kontak kami kamu blokir! Dasar anak tidak tahu diri!" Umpat yang disana."Aduh Mbak.. Jangan marah dulu. Ini urusannya lagi darurat. Tolonglah mengerti. Aku ada perlu dengan mbak Mia. Tolong ya?""Tolong-tolong jidatmu itu! Kenapa? Kamu sudah bangkrut? Mau minta tolong pada mereka? Tidak tahu malu! Kami saja tidak ada yang berani minta tolong pada mereka, karena tahu diri!"Deg! Bangkrut?Dada Dinda bergetar ketika Silvia mengatakan itu. Tapi dia tidak ingin putus asa."Tidak usah banyak bicara dulu! Cepat bagi nomor Mia!""Kamu tahu tidak, gara-gara hutang untuk pesta kamu itu, ibu harus menggadaikan sertifikat rumah ini! Barang-barang dirumah juga sudah disita semua oleh paman Wahyu. Apa kamu memikirkan itu, Dinda? Disini menderita!" Silvia begitu marah."Aduh, mbak Silvia. Aku bukan tidak memikirkan kalian, tapi disini aku sedang meri
Mia mengangguk, tangannya mulai mengetik pesan, tetapi dia berhenti dan menoleh lagi."Gara, jika begini apa kita sudah menjebak Alex?" Gara mendengus. "Tadinya aku pikir begitu. Tapi jika dipikir ulang, dari pada harus menjemput dia di kampung halamannya. Itu akan sangat menyakitkan hati istri dan keluarganya. Dia juga akan sangat malu di kampungnya. Aku tidak sekejam itu. Biarlah, anggap kita memberi sedikit keringanan. Biar bagaimanapun juga, dia masih kerabat kita."Mia mengerti sekarang, yang dikatakan suaminya ada benarnya. Alex memang bersalah, dia pantas dihukum sesuai kesalahannya tapi tidak harus mempermalukan dia dihadapan para tetangganya secara langsung, meskipun cepat atau lambat semua orang pasti akan tahu nantinya.Mia mengetik pesan kepada Dinda sesuai dengan apa yang dikatakan Gara.Sementara Gara, segera menghubungi Riko untuk memberitahu rencana."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?""Tentu, Tuan. Anda tidak perlu khawatir." Jawab Riko.Dinda disana tersenyum l
Alex menyisihkan rasa khawatirnya dan melangkah masuk mengikuti langkah Direktur Keuangan.Jantung Alex kembali berdebar ketika direktur keuangan ternyata membawanya ke ruangannya kerja yang biasa ia tempati.Alex mulai khawatir lagi.Pikirannya langsung melayang kepada LLaptopnya. Dia lupa-lupa ingat, apakah bukti-bukti transferan dana perusahaan sudah dihapusnya atau belum?Bagaimana kalau belum? Bagaimana kalau Wakil Presdir memeriksanya? Bisa kacau!Tidak, tidak! Wakil Presdir tidak mungkin selancang itu, bukan?Kembali Alex menepis kekhawatirannya."Permisi Tuan. Tuan Alex sudah datang." Ucap Direktur Keuangan."Suruh masuk saja." Jawab Riko."Silahkan Tuan." Direktur Keuangan mempersilahkan Alex.Lagi-lagi jantung Alex berdegup, kali ini lebih kencang. Riko tersenyum ke arahnya. Tetapi yang membuat jantungnya berdegup hebat adalah, benda yang ada di hadapan Riko dan sedang terbuka itu adalah Laptop miliknya."Selamat datang kembali Pemimpin Alex? Bagaimana kabar anda selama ini
"Iya, Din. Sekarang aku ditahan di Polres dan sedang menunggu proses sidang."Seperti ada lima petir yang menyambar kepala Dinda sekaligus. Tubuhnya langsung bergetar saking terkejutnya "Astaga, Mas….!" Dinda menjerit histeris."Tidak mungkin, Mas! Tidak mungkin! Bagaimana nasibku kalau kamu sampai dipenjara?""Maafkan aku, Din. Maafkan aku." Terdengar Alex menangis disana.Karena jeritan Dinda yang begitu kencang, Bapak dan Ibu terkejut dan segera berlari menghampiri Dinda."Dinda. Ada apa?""Pak.. Mas Alex. Mas Alex ditangkap Polisi." Dinda sudah tidak bisa sekedar untuk menangis. Dia sangat syok dan mendadak kepala sangat pusing. Pada akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri tertangkap tangan Ibu."Dinda. Dinda.. Ya Ampun, Nak?" Bu Marni menepuk-nepuk pipi Dinda."Mbak Dinda kenapa, Bu?" Fiah muncul dari belakang dan langsung bertanya."Cepat Ambil minyak kayu putih!" Perintah Ibu. Fiah segera pergi mencari.Bapak mengambil ponsel Dinda."Halo, Lex. Kamu masih disitu?""Iya, Pak. Dind
Atau jangan-jangan Dinda sudah tau kalau suaminya Korupsi dan malah mendukungnya?Di dalam kamar, tangan Dinda mulai bergerak. Matanya terbuka perlahan. Setelah terbuka semua dan mulai sadar sepenuhnya, Dinda langsung bangun dengan spontan."Dinda. Pelan-pelan. Kamu baru sadar dari pingsan." Ucap ibu yang dari tadi belum beranjak dari sisinya."Mas Alex bagaimana, Bu? Apa benar-benar akan di penjara?" Dinda langsung bertanya.Ibu mengangguk pelan. "Bapak tadi sudah bicara dengan Pihak Polisi yang menangkap Alex. Katanya tinggal menunggu proses hukum. Alex sudah dinyatakan bersalah. Kamu yang tabah m ya. Mungkin ini cobaan rumah tangga kalian.""Ya Ampun Mas Alex… Kenapa bodoh sekali! Kalau begini bagaimana dengan nasibku! Aku sedang hamil, Bu. Kalau Mas Alex di penjara itu pasti bertahun-tahun lamanya. Tidak mungkin kalau cuma satu tahun!" Dinda menangis histeris.Hatinya dipenuhi sesak dan penyesalan yang teramat parah. Bukan dia tidak tahu jika suaminya telah melakukan korupsi, tapi
Nasi sudah menjadi bubur! Tidak bisa berharap untuk menjadi nasi utuh kembali.Benar kata orang jika penyesalan itu adanya di belakang. Jika ada di depan, itu namanya pendaftaran. Keputusan sidang ini bukan hanya meluluh-lantakkan hidup Alex sendiri dengan sekejap, namun juga menghancurkan perasaan keluarganya yang ada kampung.Bapak yang mendapatkan langsung kabar ini dari Komandan Kepolisian di Lapas Tahanan dimana Alex dipenjara, hanya bisa pasrah. Bagaimanapun juga dia tidak dapat menolong Putranya. Alex bersalah.Sementara Dinda, dia menjerit-jerit histeris dan menangis meraung-raung.Semalaman dia berdoa. Dia tahu pasti jika suaminya telah keliru dan bersalah, tidak akan mungkin dibebaskan dengan begitu mudah. Tapi Dinda Masih berharap jika Hukuman Alex akan sedikit ringan atau minimal dua atau tiga tahunan saja.Sepuluh tahun? Yang benar saja?Sepuluh tahun adalah masa yang sangat panjang bagi Dinda. Bahkan dia tidak bisa membayangkan nasib dirinya untuk hari-hari kedepannya a
"Ya ampun! Bukan begitu juga! Siapa yang menyuruhmu korupsi? Mau dipenjara? Nanti aku menikah lagi, malas amat aku menunggu orang dipenjara! Kurang kerjaan. Maksudnya, cari kerja sampingan! Kalau pulang ngantor itu, ngojek atau kuli panggul di pasar. Kan dapat sampingan. Seperti sekarang ini, kamu kan lagi cuti, coba pergi ke pasar cari seseran. Kan lumayan."Farhan menggaruk kepalanya, tetap dia yang salah ujung-ujungnya."Kamu tidak malu ya, kalau suamimu yang kerja kantoran ini jadi kuli panggul? Biasanya kamu gengsian orangnya." Sindir Farhan."Malu sih. Tapi mau bagaimana lagi. Kepepet. Benar kata orang, menuruti rasa malu, lapar!"Mereka pada akhirnya tertawa dengan obrolan random Silvia dan suaminya.Ini adalah pertama kalinya Mia tertawa di tengah-tengah keluarganya."Ya sudah. Kalau begitu ibu mau memasak dulu ya, buat makan siang. Sekalian Mia makan siang dulu disini.""Biar aku bantu ya, Bu. Aku sudah lama tidak masak."Ibu langsung mencegah. "Jangan Mia! Kalau Gara tahu, d
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany