Alex menyisihkan rasa khawatirnya dan melangkah masuk mengikuti langkah Direktur Keuangan.Jantung Alex kembali berdebar ketika direktur keuangan ternyata membawanya ke ruangannya kerja yang biasa ia tempati.Alex mulai khawatir lagi.Pikirannya langsung melayang kepada LLaptopnya. Dia lupa-lupa ingat, apakah bukti-bukti transferan dana perusahaan sudah dihapusnya atau belum?Bagaimana kalau belum? Bagaimana kalau Wakil Presdir memeriksanya? Bisa kacau!Tidak, tidak! Wakil Presdir tidak mungkin selancang itu, bukan?Kembali Alex menepis kekhawatirannya."Permisi Tuan. Tuan Alex sudah datang." Ucap Direktur Keuangan."Suruh masuk saja." Jawab Riko."Silahkan Tuan." Direktur Keuangan mempersilahkan Alex.Lagi-lagi jantung Alex berdegup, kali ini lebih kencang. Riko tersenyum ke arahnya. Tetapi yang membuat jantungnya berdegup hebat adalah, benda yang ada di hadapan Riko dan sedang terbuka itu adalah Laptop miliknya."Selamat datang kembali Pemimpin Alex? Bagaimana kabar anda selama ini
"Iya, Din. Sekarang aku ditahan di Polres dan sedang menunggu proses sidang."Seperti ada lima petir yang menyambar kepala Dinda sekaligus. Tubuhnya langsung bergetar saking terkejutnya "Astaga, Mas….!" Dinda menjerit histeris."Tidak mungkin, Mas! Tidak mungkin! Bagaimana nasibku kalau kamu sampai dipenjara?""Maafkan aku, Din. Maafkan aku." Terdengar Alex menangis disana.Karena jeritan Dinda yang begitu kencang, Bapak dan Ibu terkejut dan segera berlari menghampiri Dinda."Dinda. Ada apa?""Pak.. Mas Alex. Mas Alex ditangkap Polisi." Dinda sudah tidak bisa sekedar untuk menangis. Dia sangat syok dan mendadak kepala sangat pusing. Pada akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri tertangkap tangan Ibu."Dinda. Dinda.. Ya Ampun, Nak?" Bu Marni menepuk-nepuk pipi Dinda."Mbak Dinda kenapa, Bu?" Fiah muncul dari belakang dan langsung bertanya."Cepat Ambil minyak kayu putih!" Perintah Ibu. Fiah segera pergi mencari.Bapak mengambil ponsel Dinda."Halo, Lex. Kamu masih disitu?""Iya, Pak. Dind
Atau jangan-jangan Dinda sudah tau kalau suaminya Korupsi dan malah mendukungnya?Di dalam kamar, tangan Dinda mulai bergerak. Matanya terbuka perlahan. Setelah terbuka semua dan mulai sadar sepenuhnya, Dinda langsung bangun dengan spontan."Dinda. Pelan-pelan. Kamu baru sadar dari pingsan." Ucap ibu yang dari tadi belum beranjak dari sisinya."Mas Alex bagaimana, Bu? Apa benar-benar akan di penjara?" Dinda langsung bertanya.Ibu mengangguk pelan. "Bapak tadi sudah bicara dengan Pihak Polisi yang menangkap Alex. Katanya tinggal menunggu proses hukum. Alex sudah dinyatakan bersalah. Kamu yang tabah m ya. Mungkin ini cobaan rumah tangga kalian.""Ya Ampun Mas Alex… Kenapa bodoh sekali! Kalau begini bagaimana dengan nasibku! Aku sedang hamil, Bu. Kalau Mas Alex di penjara itu pasti bertahun-tahun lamanya. Tidak mungkin kalau cuma satu tahun!" Dinda menangis histeris.Hatinya dipenuhi sesak dan penyesalan yang teramat parah. Bukan dia tidak tahu jika suaminya telah melakukan korupsi, tapi
Nasi sudah menjadi bubur! Tidak bisa berharap untuk menjadi nasi utuh kembali.Benar kata orang jika penyesalan itu adanya di belakang. Jika ada di depan, itu namanya pendaftaran. Keputusan sidang ini bukan hanya meluluh-lantakkan hidup Alex sendiri dengan sekejap, namun juga menghancurkan perasaan keluarganya yang ada kampung.Bapak yang mendapatkan langsung kabar ini dari Komandan Kepolisian di Lapas Tahanan dimana Alex dipenjara, hanya bisa pasrah. Bagaimanapun juga dia tidak dapat menolong Putranya. Alex bersalah.Sementara Dinda, dia menjerit-jerit histeris dan menangis meraung-raung.Semalaman dia berdoa. Dia tahu pasti jika suaminya telah keliru dan bersalah, tidak akan mungkin dibebaskan dengan begitu mudah. Tapi Dinda Masih berharap jika Hukuman Alex akan sedikit ringan atau minimal dua atau tiga tahunan saja.Sepuluh tahun? Yang benar saja?Sepuluh tahun adalah masa yang sangat panjang bagi Dinda. Bahkan dia tidak bisa membayangkan nasib dirinya untuk hari-hari kedepannya a
"Ya ampun! Bukan begitu juga! Siapa yang menyuruhmu korupsi? Mau dipenjara? Nanti aku menikah lagi, malas amat aku menunggu orang dipenjara! Kurang kerjaan. Maksudnya, cari kerja sampingan! Kalau pulang ngantor itu, ngojek atau kuli panggul di pasar. Kan dapat sampingan. Seperti sekarang ini, kamu kan lagi cuti, coba pergi ke pasar cari seseran. Kan lumayan."Farhan menggaruk kepalanya, tetap dia yang salah ujung-ujungnya."Kamu tidak malu ya, kalau suamimu yang kerja kantoran ini jadi kuli panggul? Biasanya kamu gengsian orangnya." Sindir Farhan."Malu sih. Tapi mau bagaimana lagi. Kepepet. Benar kata orang, menuruti rasa malu, lapar!"Mereka pada akhirnya tertawa dengan obrolan random Silvia dan suaminya.Ini adalah pertama kalinya Mia tertawa di tengah-tengah keluarganya."Ya sudah. Kalau begitu ibu mau memasak dulu ya, buat makan siang. Sekalian Mia makan siang dulu disini.""Biar aku bantu ya, Bu. Aku sudah lama tidak masak."Ibu langsung mencegah. "Jangan Mia! Kalau Gara tahu, d
"Iya, itu Gara." Sahut Mia.Semua orang langsung sibuk membenahi diri dan makanan diatas meja yang berantakan."Astaga! Tuan Gara datang kemari, bagaimana ini? Dapur kita berantakan!" Silvia cepat-cepat membetulkan piring-piring makanan yang belum-belum memang sudah berantakan."Cepat susul suamimu, Mia!" Wibowo menoleh pada Mia.Mia segera bangun dan berlari kecil ke depan."Ya Ampun.. Bagaimana ini?" Rita juga terlihat kebingungan, segera menata perkakas kotor yang masih berserakan di ujung sana."Malunya kalau Gara melihat dapur berantakan begini.""Halah! Ibu, lebay! Bukannya Gara sudah sering masuk ke dapur ini? Duduk disini juga." Sindir Silvia."Lebay kepalamu itu! Masalahnya yang dulu dulu dan yang sekarang beda! Cepat bantuin, malah ngoceh!""Eh, iya iya. Ini bos besar yang datang!" Silvia pun bangun segera membantu ibunya merapikan perkakas.Sementara Mia menyambut Gara. Dia tidak menyangka kalau Gara akan menyusulnya kemari. Tadi Mia meminta izin kesini dan diantar oleh sop
Fiah melongokkan kepalanya ke dalam kamar Dinda. Dia melihatnya Dinda sedang duduk bersandar dengan santainya.Dinda menoleh ketika melihat kepala Fiah muncul di pintu."Mana air dinginnya, Fiah?""Kaki Mbak Dinda sakit ya?" Fiah bertanya.Dinda melongo. “Tidak kok!" Jawabnya."Kalau begitu ambil sendiri! Kecuali kalau kaki dan tangan Mbak Dinda itu sudah nggak berfungsi, baru teriak!" Sahut Fiah, dan kemudian langsung ngeloyor pergi."Dasar! Bilang saja malas disuruh!" Dinda membalas berteriak.Fiah tidak mau lagi mendengar teriakan nenek lampir."Mendingan main saja! Daripada ngeladenin orang seperti ratu kesasar!" Gumam Fiah.Dinda menghentakkan kakinya. Dengan sangat malas dia melangkah juga ke dapur untuk mengambil air dingin."Dinda.." Ibu menegur dari belakang. Dinda hanya melirik saja."Jangan sering minum air es, Nak. Kamu itu sedang hamil. Itu tidak bagus. Bisa kembar air kalau kata kami orang kampung." Ujar Ibu sekedar untuk memperingatkan Dinda.(Kembar air itu istilah ora
"Gimana mau beli daging. Dia itukan udah bangkrut. Lebih parahnya, suaminya dipenjara karena ketahuan korupsi.""Masa sih? Kok aku gak dengar?" Satunya menyahut."Ya ampun…. Ketinggalan informasi yang lagi tren kamu ini, ya? Si Alex itu dapat uang banyak untuk beli ini itu tuh, rupanya dari korupsi. Jadi sekarang di penjara.""Ya Ampun! Yang benar? Kasihan banget istrinya. Mana lagi hamil muda. Gimana itu nasibnya?" Yang lain kembali menyahut.Seketika darah Dinda mendidih, tetapi wajahnya menunduk. Dia begitu malu dan buru-buru masuk ke dalam rumah."Siapa coba yang bocorin tentang Mas Alex dipenjara? Pasti ini kelakuan ibu kalau nggak Fiah. Apa sih maksud mereka? Mau bikin aku nggak betah disini?"Dinda melempar sayuran di atas meja begitu saja dan langsung menangis di dalam kamar.Rasanya begitu sesak. "Aku memang nggak betah disini. Tapi mau dimana coba?" Dia sesenggukan. Dinda mengintip dari celah jendela. Samar-samar masih bisa mendengar, ibu-ibu diluar sana masih saja membahas