Silvia mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. "Iya Mas. Kenapa semua makanan rasanya tidak enak ya? Apa benar kata kamu kalau lidahku ini keseleo? Coba cari tukang pijat yang ahli urut untuk memperbaiki lidahku." Pintanya."Hadeh…" Farhan mengeluh sekarang."Mana ada tukang pijat lidah! Ngade ngade aja kamu ini! Sini aku yang urut! Kalau bagian itu, serahkan pada Babang Farhan saja. Pakarnya nih!" Jawab Farhan sambil memajukan wajahnya."Ih.. Bau tau! Mandi dulu sana! Gosok Gigi!" Silvia mendorong wajah suaminya."Terus makanan ini bagaimana nasibnya, kalau kamu nggak jadi makannya?" Tanya Farhan.Silvia menggeleng."Halah.. Aku sudah menebak dari awal! Pasti begini pada akhirnya. Baiklah, tidak masalah. Aku akan menghabiskan semuanya. Sendirian!" Farhan menggerutu dan kemudian pergi mandi.Sambil mandi Farhan sambil berpikir. Jika terus-terusan seperti ini kedepannya bagaimana? Dia pasti akan sangat sibuk mengurus istrinya seorang diri, untuk terlalu melibatkan mertua, dia juga t
"Kecil kecil ngeyel. Tar nyasar kamu!" Ucap Rendi.Mau tidak mau, dan antara malu serta canggung, Fiah pada akhirnya ikut bersama Rendi.Dalam perjalanan Fiah terus merasa salah tingkah. Sesekali dia mencuri pandang pada Rendi yang terus menatap lurus ke depan.Sampailah mobil Rendi di depan toko Milik Farhan."Terimakasih ya, Mas Rendi. Sudah nganterin Fiah. Tapi nanti aku pulangnya bagaimana?""Tar aku jemput juga. Tenang aja."Hati Fiah berbunga-bunga rasanya.Hari ini Fiah mulai bekerja. Karena dia sudah biasa mengelola toko, jadi Farhan tidak kesulitan untuk mengajari Fiah lagi. Fiah cepat mengerti dan paham dengan semua teknik penjualan.Farhan merasa sangat terbantu. Dengan adanya Fiah, Farhan tidak perlu bekerja sampai sore hari, setengah hari dia sudah bisa pulang untuk menemani istrinya yang memang sangat teler dirumah.Menjelang sore, Baru Fiah akan menutup toko saat semua karyawan sudah pulang.Hari hari terus berjalan tanpa hambatan.Fiah juga semakin akrab dengan Rendi,
Rendi Sungguh kebingungan. Dia menengok ke kiri dan ke kanan untuk mencari keberadaan Fiah diantara orang orang yang masih duduk duduk di teras toko lainnya. Dalam pikirannya, siapa tau saja Fiah nyelip diantara Mereka. Kan badan Fiah kecil.Tapi Rendi tetap tidak dapat menemukan keberadaan Fiah, sekarang dia meremas rambutnya.Kemudian dia kembali mencoba menelpon Fiah, tapi tetap saja Panggilannya tidak diangkat."Ya Allah… Kenapa aku bisa seceroboh ini?" Rendi mulai penuh penyesalan. Kenapa tadi mesti pakai acara masuk ke rumah Tania dan malah menanggapi obrolan orang tua Tania yang ngalor ngidul nggak jelas itu. Sempat menjodoh jodohkan dirinya sama Tania segala.Tania memang cantik dan seksi sih? Tapi maaf aja, aku tidak tertarik. Kan aku lagi belajar kerja untuk menyusun masa depan cemerlang, baru setelah itu cari wanita yang cantik serta setia. Kayak Mbak Dinda hehe.. Janda juga nggak apa. Ngikutin jejak Mas Riko. Yang penting kan, bahagia."Astaga!" Rendi memukul kepalanya se
Dinda yang sudah keluar dari kamar mandi langsung berlari."Apa, Mas?"Dia menatap Riko. Tangan Riko gemetaran mengangkat dagu Calia. Darah berwarna merah hitam, mengalir dari hidung Calia.Tidak ada yang dipikirkan Riko lagi sekarang selain cepat membawa Calia ke rumah sakit.Riko berjalan dengan cepat menuruni tangga sambil menggendong Calia, sementara Dinda mengikuti dari belakang.Rendi dan Fiah sudah berangkat sejak tadi.Riko segera membuka pintu mobil untuk Dinda dan mengulurkannya Calia pada istrinya. Riko kemudian menyusul dan segera tancap Gas.Dia melirik Dinda yang sudah menangis."Mas, Calia kenapa?""Tenanglah, Dinda. Mungkin karena Calia terlalu panas, bisa jadi itu penyebab dia mimisan." Riko membelai lembut kepala Dinda. Dia tau jika istrinya tengah sangat khawatir.Dalam hati, Riko juga sangat khawatir. Dia bahkan berpikir, jika Calia mempunyai suatu penyakit berbahaya.Riko bahkan teringat mendingan Alex, biar bagaimanapun juga gen dari Alex bisa saja menurun pada p
Dinda menangis sesenggukan.Riko kemudian kembali pada Dokter Edward."Apa yang harus kita lakukan untuk bisa menyembuhkan Putriku. Lakukan apapun untuk kesembuhannya. Edward, kumohon. Aku tidak bisa kehilangan Calia. Kamu tahu bagaimana aku sangat menyayangi putri istriku itu?" Riko berkata dengan uraian air mata."Kanker darah yang diderita putrimu masih dalam tahap awal. Perlu diketahui, jika leukemia terjadi ketika sumsum tulang belakang memproduksi sel darah putih dalam jumlah yang berlebihan. Banyaknya sel darah putih ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukan, sehingga menghambat pertumbuhan sel yang sehat.Saat seseorang mengidap kanker darah, donor sumsum tulang belakang diperlukan sebagai salah satu langkah penanganan yang tepat dan tanpa efek samping. Hal tersebut dilakukan karena kanker darah bukan termasuk kanker padat. Lagi pula, awal ditemukan kanker adalah adalah pada bagian sumsum tulang tempat sel-sel darah sehat diproduksi.""Jadi maksudmu, Calia memerlukan donor
"Satu-satunya hanyalah, antara Rehan dan Nita. Hanya mereka Mas. Kakek dan Nenek Calia dari Ayahnya juga sudah tidak ada." Ucap Dinda.Mendengar ucapan istrinya, Riko langsung mengambil keputusan."Aku akan pergi kesana menjemput mereka. Kamu kabari mereka, kalau aku akan datang karena ada suatu kepentingan. Jangan katakan apapun dulu. Aku takut akan membuat ibu Fiah syok."Dinda mengangguk.Detik itu juga Riko tidak ingin mengulur waktu lagi. Dia memeluk istrinya dengan begitu erat."Dinda. Kita akan berjuang bersama sama untuk menyelamatkan Calia dan juga menjaga calon adiknya. Jangan terlalu cemas. Aku akan meminta izin pada Ibunya Fiah untuk meminta Rehan atau Nita untuk menjadi donor untuk Calia.""Tapi kalau mereka menolak bagaimana, Mas?" Dinda menangis dengan pikiran yang sangat khawatir."Kita harus mencobanya dahulu."Dinda mengangguk."Aku akan memberi kabar Mbak Mia dan juga Mbak Silvia.""Iya. Kabari Mereka semua."Selesai bicara, Riko langsung meninggalkan rumah sakit, m
Tidak ada yang tidak bersedih memikirkan Calia untuk saat ini. Bu Rita, Mia dan juga Silvia serta Pak Wibowo. Mereka sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Dinda harus diuji sekali lagi dengan ujian seberat ini. Lebih parahnya lagi, harus di saat kehamilan Dinda yang ke-dua ujian itu kembali menyapa Dinda.Bu Rita merangkul Dinda, menggosok lembut perutnya."Kamu harus bisa tegar dan menenangkan diri Dinda. Suamimu sedang berjuang demi putrimu, kamu juga harus bisa menjaga calon bayinya yang ada di dalam perutmu ini." Ibu ingin memberi Sedikit ketenangan untuk Dinda.Dinda mengangguk pelan."Iya, Bu. Dinda hanya sangat takut. Kalau Rehan atau Nita tidak bisa menjadi donor untuk Calia, bagaimana?""Ada kami Dinda. Kami semua akan cek kecocokan Sumsum kami. Meskipun kemungkinan kecil, siapa tau ada yang cocok di antara kami bukan?" Jawab Bu Rita."Mas Gara juga sedang menemui Dokter Edward, untuk meminta Pihak Rumah sakit agar membantu mencari donor sumsum yang cocok untuk
Riko akhirnya menurut ketika Bu Marni membawanya ke kamar tempat Dinda dan Calia tempati dulu semasa di sini. Kamar dimana saat Riko pernah datang ke sini untuk pertama kalinya dulu juga sempat ia tempatinya."Istirahatlah sejenak, Nak. Kamu pasti lelah. Ibu akan siapkan makan malam." Ucap Bu Marni.Riko mengangguk. Duduk di tepian ranjang sambil memijat bahunya. Barulah saat ini, Riko merasa penat.Hampir saja Riko merebahkan diri, namun dia langsung teringat pada Dinda dan segera menghubungi istrinya untuk memberi kabar jika dia sudah sampai.Baru saja Riko menekan kontak Dinda, nomor Dinda sedang dalam panggilan lain. Kemudian dari ruangan depan, terdengar ibu dan Nita menangis sambil berbicara dengan seseorang di hp.Rupanya mereka sedang menelpon Dinda.Riko mengetik pesan singkat untuk istrinya, memberi kabar jika dia sudah sampai dan besok akan segera kembali bersama Rehan.Tak lupa memberi pesan agar Dinda jangan terlalu banyak pikiran.[Jaga Calia, dan juga calon adiknya ya s
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany