“Tapi itu tidak mungkin,” kata Ayyara. “Kakek punya riwayat penyakit jantung dan kemarin baru mendapatkan perawatan. Aku takut Kakek syok berat kalau tau fakta ini.” Ayyara dilema. Di satu sisi dia sangat marah dan tidak bisa memaafkan perbuatan mereka, tetapi di sisi lain, dia memikirkan kesehatan Nugraha. “Aku tahu Kakek pasti sangat marah dan melaporkan mereka, tapi … aku yakin di belakang kita Kakek pasti banyak pikiran. Aku takut itu bisa membuat penyakit Kakek kambuh.” Mendengar itu, Alexander dan Anton membisu. Raja mengerti perasaan Ayyara. Dia bangga terhadap sang istri yang menyingkirkan egonya untuk menghukum ketiga orang itu demi kesehatan Nugraha. “Lalu bagaimana dengan Pak Raja selaku korban?” tanya Alexander. Ayyara terkejut–tersindir dengan pertanyaan Alexander. Dia baru menyadari kalau dirinya secara tidak langsung telah mengesampingkan perasaan suaminya. “Keputusan ada di tangan istriku,” jawab Raja sembari menoleh pada Ayyara. Ayyara menatap penuh arti pada
“Ara ingin bertemu Ayah,” pinta Ayyara. “Ara belum bertemu dengan beliau, jadi sebagai menantu, Ara harus minta doa restunya.”Raja menatap lurus ke depan, “Tidak. Kita tidak perlu bertemu dengan Ayah,” ucapnya datar.Ayyara heran dengan sikap Raja yang seolah-olah tidak suka dengan permintaannya.“Loh kenapa, Mas? Bukannya Ayah sedang dirawat di rumah sakit? Kita harus menjenguk Ayah, Mas,” kata Ayyara.“Tidak perlu! Dia tidak perlu dijenguk.” Suara Raja lebih tegas.Ayyara pun semakin keheranan, tetapi dia baru menyadari sesuatu ketika mengingat cerita dari Alexander. Pantas saja Raja bersikap demikian.“Semua orang pasti memiliki kesalahan, lagian Ayah sudah menyadari kesalahannya dan sudah minta maaf ke Mas Raja.” Ayyara berkata dengan lembut. “Kasihan loh, Mas. Pasti Ayah nggak tenang sebelum Mas Raja memaafkan Ayah. Mas Raja–”“Cukup, Ara. Kamu sama saja dengan Alex. Aku tidak ingin bertemu dengannya, itu keputusanku!” Suara tegas Raja memotong ucapan Ayyara.Namun, Ayyara tetap
“Jangan menghindar! Jawab Kakek!” Suara Nugraha sedikit lantang. Dia tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Benar kamu bersekongkol dengan wanita itu?!”Radit gelagapan,“A-ku.” dia melirik sang Kakek dengan wajah ketakutan, tetapi tak berani menjawab.Tubuh Nugraha semakin bergemetar. Tidak ada keraguan, ekspresi yang ditunjukkan Radit membuktikan bahwa sang cucu dan kedua orang tuanya terlibat dalam masalah ini.Bahri dan Margareth turut gelisah. Saat wanita itu hendak bersuara, Nugraha mengangkat tangan sebagai bentuk perintah agar tidak ikut campur.“Setan kamu, Radit!” Kali ini Nugraha benar-benar tak bisa membendung amarahnya. Dia melayangkan tamparan keras ke wajah Radit. “kamu bukan manusia! Aku tidak sudi memiliki cucu setan macam kamu!” Tatapan tajamnya beralih pada Bahri dan Margareth. “Kalian juga! Aku sendiri yang akan menyeret kalian ke dalam penjara!” ancamnya, membuat mereka tampak ketakutan.Teriakan Nugraha membuat seorang polisi datang menghampirinya, “Maaf, Pak. Tolon
Ulva berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dengan mengkambinghitamkan ketiga orang itu.Namun, Bahri, Margareth, dan Radit tak kalah liciknya. Margareth menghampiri Ulva dengan memasang raut wajah penuh amarah. Dia pun menampar wanita itu, “Jadi kamu yang menjebak Raja?! Dasar wanita jalang!” dampratnya dengan penuh emosi. “sekarang kamu malah menuduh kami? Dasar wanita laknat!”Ulva terkejut dengan permainan licik yang Margareth mainkan, “Tante! Jangan sok nggak mengenaliku! Tante–”“Diam, wanita murahan!” potong Margareth dengan tatapan mata menyala-nyala. Dia lalu menoleh pada polisi dan berkata, “Bawa wanita gila ini ke dalam, Pak. Hukum dia seberat-beratnya.”Emosi Ulva semakin membuncah. Dia kembali berteriak ketika polisi menyeret tangannya, “Lepaskan aku. Aku cuma korban.” “Silahkan ikuti prosedur yang berlaku. Ibu bisa sampaikan pembelaan di dalam,” tegas polisi itu.***Hari berganti, Nugraha sudah mendaftarkan kasus itu untuk persidangan dan hanya tinggal menunggu jadwal
“Jambret! Tolong.” Ayyara berteriak sembari sebelah tangannya menahan tangan pengendara itu. “Tolong … tolong.”Beruntungnya teriakan Ayyara menarik perhatian banyak orang, membuat aksi penjambret itu gagal total dan melarikan motornya sekencang-kencangnya.Beberapa orang mengejar sang penjambret, sedangkan yang lainnya menghampiri Ayyara yang tengah kesakitan.“Mbak baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Ayyara tak langsung menjawab. Dia masih mengusap lehernya yang terasa tercekik. “Aku baik-baik saja,” jawab Ayyara beberapa detik kemudian.***Raja pergi ke sebuah showroom kendaraan roda empat. Dia ingin membelikan sebuah mobil untuk sang istri. Dia sudah lama ingin membelikan mobil untuk Ayyara untuk memudahkan aktivitas sehari-hari.Setelah masuk ke dalam, kehadiran Raja sudah pasti menjadi pusat perhatian. Sebab orang-orang di sana berpenampilan begitu rapi dan elegan, sementara penampilannya sangat sederhana. Bahkan beberapa orang mulai terang-terangan mencibirnya,
“Bukan hanya mobil, aku bahkan bisa membeli harga dirimu!” seru Raja begitu dingin. “Berapa harga yang pantas aku keluarkan untuk membeli harga dirimu?” Ucapan itu memancing amarah pemilik showroom, “Bangsat! Apa yang kamu bilang barusan, hah?!” bentaknya. Si security juga sangat emosi, “Pengemis sialan!” dia berjalan dan mengayunkan pentungan ke arah Raja. “Mati kamu!” Bukan pentungan yang menemui sasaran, justru kaki Raja yang bersarang di perut si security itu terlebih dahulu hingga terpental jatuh tak tertahan. Semua orang terkejut. Mereka mulai ketakutan dan menganggap Raja bukan hanya seorang pengemis, melainkan juga seorang preman jalanan. “Panggil polisi saja, Pak,” ucap si security sembari memegangi perutnya yang terasa sakit. Akan tetapi, sebelum Dirul menanggapi, Raja terlebih dahulu berkata, “Aku menantangmu. Jika aku tak mampu membeli harga dirimu, aku siap menjadi karyawanmu seumur hidup tanpa dibayar, tanpa dikasih makan.” Soal tantangan, Raja teringat pada Agung
“Apa itu?” tanya Dirul penasaran. Perlahan sudut bibirnya terangkat. “Jangan coba mengelabuhiku. Kamu pikir aku nggak tau kalau kartu yang kamu pegang adalah kartu mainan.” dia lalu ketawa keras. Disaat semua orang tertawa, ada satu orang wanita berjalan mendekat dan mengamati lekat-lekat kartu black card yang dipegang Raja.“Kartu ini bukanlah sembarang kartu. Kartu ini sangat langka dan bukan sembarangan orang yang memilikinya, karena saldo di dalamnya tak terbatas,” ucap wanita itu menebak.Raja melihat hanya wanita itu yang bisa mengenali kartu black card miliknya.“kamu benar sekali,” tanggap Raja.“Tapi bagaimana bisa?” Wanita itu masih ragu. Rasanya tidak mungkin penampilan Raja yang terlihat sederhana memiliki kartu ajaib itu.Selain wanita itu, semua orang jelas-jelas tidak mempercayainya. Bahkan mereka menertawakan Raja dengan sorot mata mengejek.“Hei Nona cantik …” panggil Dirul dengan gaya genitnya. “Jadi maksudmu dia adalah orang terkaya di dunia?” dia tertawa geli. “Ka
Raja sebenarnya malas mendengar nama Banara, tetapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya mengkhawatirkan sang Ayah, apalagi suara Alexander terdengar sendu.“Jangan bicara setengah-setengah, Alex,” kata Raja dingin.“Kesehatan Pak Banara semakin menurun. Saya mohon temui Ayah Bapak sebelum semuanya terlambat.”Bukan menjawab, Raja malah langsung mematikan sambungan telepon.“Apa Pak Alex ngasih kabar tentang Ayah?” tanya Ayyara–yakin.“Bukan,” ketus Raja sembari melangkah masuk ke dalam mobil.Ayyara tahu kalau Raja berbohong, tetapi dia tak berani bertanya lagi. ‘aku harus segera menemui Pak Alex,’ batinnya.Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan. Ayyara melihat jelas kalau Raja seperti sedang memikirkan Banara, ‘Kenapa Mas begitu membenci Ayahmu sendiri, Mas?’ tanyanya dalam hati.Raja mengemudikan mobilnya menuju Stars Mall, pusat belanja terlengkap. Setiba di sana, barulah Raja berbicara.“Kiranya kado apa yang cocok untuk anaknya Anton?” tanya Raja.“Umur anaknya Pak