Setelah hari itu Mega lebih banyak diam, dia bahkan tak ikut berkumpul saat saudara yang lain saling mengobrol di gubuk kecil belakang rumah mereka. Bukan tak mau, ia lebih memilih di rumah menulis apa yang menjadi hobinya.
Namun hari ini ia di minta mbak Dewi ikut keluar rumah, "Emakku potong tiga ekor ayam kampung ga, kita buat rica ayam yang pedas sama-sama. Kamu yang bumbuin!" Begitu kalimat yang Dewi katakan, meski Mega sudah memberi alasan untuk menolak, tapi Dewi lebih pandai memaksa."Aku nggak minta tolong ya, aku maksa kamu dateng, kalau kamu nggak keluar, aku paksa!"Kalimat itu sukses membuat Mega kini duduk mengulek bumbu di cobek batu miliknya. Alika dan Alina duduk di atas tikar anyam milik Halimah, mereka sibuk memakan kerupuk dari dalam toples di hadapannya."nggak pernah kelihatan ga, sibuk apa di rumah?"Santi adik Harun bertanya, ia memang terbilang paling ingin tau di antara yang lain."Di rumah saja bulek, sibuk momong anak." Mega menjawab santai, ia masih mengulek bumbu dalam cobek."Aku kira karena masalah tempo hari kamu jadi nggak mau keluar." Kini mertuanya yang bicara, ia duduk di dekat perapian, menunggu air rebusan di hadapannya mendidih."Lain kali kalau ada apa-apa nggak usah ngadu ke suami begitu, mau Emak dan Ridho bertengkar karenamu?" Siska kakak iparnya ikut menyahut, mungkin Siti sudah bercerita pada anak perempuannya itu, hingga Siska tanpa mencari tau kebenaran sudah menyalahkan adik iparnya."Aku nggak ngadu mbak, memangnya mas Ridho bilang apa ke mbak?""Nggak bilang, cuma aku tau semua saja, lagian kamu ini harusnya bersyukur punya mertua baik macam Emakku, dari kamu brojol anak pertama juga Emak yang bantu momong anak-anakmu!"Mega terdiam, percuma juga menjawab, Kakaknya ini baru pulang merantau bersama suaminya dua tahun belakangan, mereka lama menetap di Kalimantan, wajar saja jika yang terlihat hanya nilai baik dari sikap ibu kandungnya itu."Jangan mulai lah Sis, lagi kumpul baik-baik kok cerita ke mana-mana!" Dewi mencoba menghentikan pepesan kosong yang tak berkesudahan itu."Ah sudah mak, aku pulang saja!" Siska berdiri dari tempatnya duduk, seolah tak suka karena dirinya di tegur Dewi."kok pulang, ayamnya kan belum matang nduk, tunggu ini matang dulu, bawakan suamimu juga." Halimah mencegah keponakannya."nggak usah bude, di rumahku nggak ke makan nanti. Banyak lauk di sana sampai kadang di buang-buang, sakit banyaknya makanan!" Siska merapikan rambutnya yang tergerai, gelangnya bergemerincing setiap kali tangannya bergerak."Pulang nanti saja lah Sis, baru juga ketemu mau langsung pulang!" Santi juga meminta ponakan nya untuk tetap tinggal."Aduh repot bulek, toko baju ku pelayannya cuma dua, nanti yang jaga kasir kewalahan! Mak, ayo pulang dulu, aku mau ambil barang-barangku di rumah Emak."Siti berdiri mengikuti anaknya pulang ke rumah, sementara yang lain masih sibuk memasak bersama. Berulang kali Dewi mengusap punggung Mega agar wanita itu lebih tegar dan kuat."Sombongnya ponakanmu itu mak, ngomong aja gayanya selangit! " Dewi berdecak kesal dengan sikap angkuh Siska."Wajar lah sombong, ada yang bisa di sombongkan juga!" Santi membela keponakan kayanya itu."Halah, harta juga nggak di bawa mati mbak!" Rut menimpali ucapan kakaknya.Tak berselang lama Siti kembali, tanpa permisi ia mengambil Alina ke dalam gendongan dan mengandeng Alika yang duduk di atas tikar. "Ayo ikut bude Siska yo!""Mau ke mana Mak?" Mega bertanya, melihat dua anaknya di bawa pergi."Ke rumah situ lho, nggak di culik kok ga, nggak usah khawatir!" "Mega cuma tanya Mak, siapa tau mau di ajak pergi atau di ajak ke rumah mbak Siska, kan tadi mbak Siska pamit pulang, kalau mau pergi kan bajunya bisa ganti dulu Mak.""Halah, kayak boleh saja di ajak pergi jauh. Nanti kamu ngadu lagi ke Ridho yang tidak-tidak!"Siti bicara ketus dan berbalik kembali ke dalam rumahnya. Mega hanya terdiam, tak ingin menambah keruhnya suasana yang sedang memanas. Padahal ia tak pernah merasa keberatan anak-anaknya di bawa pergi, bagaimanapun Siska juga bude ke dua putrinya."Makan apa sih bulek Siti itu, manusia kok kakunya kayak kanebo kering!" Ratih adik Dewi ikut bicara, sedari tadi dia sudah diam, namun merasa aneh sendiri dengan watak Siti dan Siska.Sementara membiarkan anaknya di bawa ibu mertua, Mega melanjutkan kembali tugasnya memasak. Biarlah mereka bersama bude nya di rumah mertua, siapa tau hati kakak ipar perempuannya itu melunak juga."Kasihan ya si Siska, sudah lama nikah nggak juga punya anak!" Santi memulai kembali pembahasan yang coba di endap."Sudah bulek, nggak usah di bahas terus." Dewi menimpali"Lho kan ya kasihan betul kan wi, dia kaya raya, toko baju di mana-mana, umur sudah hampir tiga puluh lima, tapi belum juga bisa punya anak!""Betul juga kata mbak Santi, harusnya sih si Siska itu angkat anak gitu, biar tua nanti nggak sendirian sama suaminya!" Rut adik bungsu Halimah ikut bicara."Orang nya nggak mau Rut, takut kalau ambil anak orang, nanti sudah besar semua hartanya jatuh ke orang lain dong! Lagian kamu bodoh sekali sih ga, anak di minta orang kaya kok ya nggak boleh!" Santi ikut bicara, setali tiga uang kali ini ucapannya mirip seperti kakaknya Siti."Mega nggak bisa bulek, memberi anak itu berat sekali." Mega berusaha tenang saat menjawab.Santi berdecak kesal. "Oalah ga aku kasih tau ya, Siska itu kan orang berada, cukup, berlimpah, kamu kan nggak berada, jadi..."Aku berada kok bulek, aku mampu!" Mega membanting kasar sotil masak di hadapannya. Sejak tadi dia sudah diam, menerima apapun yang mereka katakan, namun ternyata dia terus di injak dan di hina."Kalau kaya itu harus punya mobil seperti mbak Siska, nanti akan ada mobil di depan rumahku bulek. Aku masih mampu menghidupi anak-anakku sendiri, kalau bulek mau, kenapa nggak kasihkan saja cucu bulek sendiri, anaknya Astuti!"Mega menantang Santi, sebulan lalu anak sulungnya baru saja melahirkan anak perempuan ke tiga, anaknya juga tak sekaya Siska, harusnya bisa juga menyerahkan anak bayinya itu."Astuti saja nunggu anak itu bertahun-tahun, mana boleh di kasih orang. Aku cuma kasihan sama mbak mu itu, kalau bayi itu anakku, sudah pasti aku kasihkan!""Lah kenapa nggak bulek saja yang hamil lagi!" Mega berdiri dari tempatnya duduk, menahan air mata yang hampir jatuh di pelupuk. " Jangan minta lagi aku menyerahkan anak bulek, tidak perlu bulek ajari aku untuk merasa iba, aku bahkan tak berhenti berdo'a untuk kehamilan mbak Siska!"Mega menahan dadanya yang bergemuruh, ia bersedia melakukan apapun untuk kakak iparnya, mengantarkan kemanapun untuk mencari cara agar bisa hamil. Tapi jangan memintanya memberikan anak, ia tak sanggup melakukannya. Bukan, bukan dia egois, Mega juga hanya wanita biasa, ia hanya tak mampu memberikan anak kandungnya, apakah itu sebuah kesalahan besar?Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah."Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, p
Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam."Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya."Nanti Ayah, nonton HP dulu." Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan."Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu."Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja."Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah."Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina"Halah, semua aturan dia buat sendiri, s
Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng."Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya."Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak." Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?""Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?""Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih kh
Aku terkejut, baki tempatku membawa gelas bergetar, mas Agus meminta pisah, padahal rumah tangga mereka baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba ia meminta pisah?"Sabar dulu lah gus, watak Siska memang begitu, kamu jangan terbawa emosi berlebih!" Emak memberi nasehat, meski kalimatnya terdengar memberikan Pembelaan sepihak."Emak nggak tau rasanya jadi aku mak. Coba Dho kamu jadi aku, setiap kali dia marah cucian baju nggak ada yang di sentuh, makan beli sendiri, dia bawa sendiri ke dalam kamar dan di kunci!"Kami terdiam, sebenarnya tak heran juga jika begitu watak mbak Siska. Setiap kali marah dengan Emak juga terkadang ucapan nya sangat kasar. Pernah ia membanting panci di dapur Emak hanya karena Emak tak juga selesai berdandan saat ia ingin mengajak pergi."Coba pak aku harus bagaimana? Ada saudaraku datang kalau dia nggak suka ya nggak bakal keluar kamar, bahkan sekedar menjabat tangan saja nggak mau, apa nggak buat malu suami kalau begitu?""Wataknya kan memang begitu gus, ya
Mega sedang menyapu halaman saat mobil merah milik Siska masuk ke penerangannya. Klaksonnya berbunyi nyaring berkali-kali, bahkan lampunya mengarah tepat ke wajahnya.Wanita angkuh itu keluar dan membanting pintu dengan keras, ia berjalan tak suka ke arah Mega, seolah ingin segera menerkam wanita berperawakan kurus itu."Mana Ridho?" Siska melirik ke dalam rumah, tangannya terlipat ke depan dengan tatapan meremehkan iparnyaMege menatap Siska yang sedang memperlihatkan keangkuhannya. "Ke sawah mbak, ada perlu apa dengan mas Ridho?""Bukan urusanmu aku mau apa sama Ridho!"Mega mengehela napas oelan, berusaha sabar dengan watak menyebalkan kakak iparnya. "Jika begitu mbak bisa duduk dulu sambil menunggu mas Ridho pulang dari sawah." Ia menawarkam diri, merasa tak sopan juga memiarkan tamu berlama-lama di luat rumah."Nggak perlu, aku nggak mau masuk rumahmu yang kotor itu. Heh Mega, mengadu apa kamu dengan suamiku?" Siska berkacak pinggang dan menatap tajam adik iparnya."Ngadu? Aku ng
Ridho hanya terdiam saat Mega bercerita dengan air mata mengalir di pipinya, bukan dia tidak percaya kata-kata istrinya, hanya saja begitu sulit menerima kenyataan kalimat itu datang dari kakaknya sendiri.Ridho berdiri dari tempatnya, tangannya mencengkeram seolah segala amarahnya berkumpul di sana. Tanpa berkata, Ridho berjalan meninggalkan rumahnya, di terangi lampu jalan ia melangkahkan kaki menuju rumah kedua orang tuanya.Mobil Siska masih terparkir di halaman rumah, tanda wanita yang bersetatus kakaknya itu masih ada di sana. Saat Ridho masuk, rumah begitu hening ia lalu menuju ke dalam kamar ibunya.Brak!Ridho membanting pintu kamar, menimbulkan suara nyaring di antara benturan hendel dan tembok rumah. Siska sedang tertidur bersama Emak di sampingnya."Bangun!" Ridho menyibak kasar selimut yang menutup tubuh Siska.Siska terperanjat, seketika dia terduduk memperhatikan siapa yang sudah menganggu nya."Ridho! Gila kamu." Hardiknya terbawa amarah."Keluar dari kamar!" Ridho men
Ridho berusaha menghubungi Mega, namun istri nya itu tak juga mengangkat telpone nya. Ridho mulai cemas, hari semakin malam namun istri dan dua anak nya tak juga diketahui ada di mana.Lama ia berkeliling sendirian, bahkan sempat berpikir mungkin saja Mega ke makan orang tua nya, tapi sampai di sana juga tak di dapati istrinya itu. Ridho mulai merasa takut, mungkinkah Mega benar-benar merasa kecewa dengannya sekarang, hingga memilih pergi meninggalkan Ridho sendiri."Dho, ngapain di sini?" Dewi yang melihat Ridho sendirian di perempatan desa berhenti menyapa nya.Dewi sedang bersama Halimah saat melihat Ridho duduk sendirian du jalanan sawah desa mereka."Dho pulang le! Bude beli Bakso banyak ini, makan di rumah yo!" Halimah mengajak Keponakannya itu kembali ke rumah."Duluan saja bude, aku masih ada urusan sebentar." Ridho menolak ajakan Halimah."Sebenarnya kamu itu cari siapa dho?" Halimah tertanya saat melihat Ridho nampak semakin gelisah. Kakinya tak bisa menapak tenang, sejak ta
Mega kini tak banyak bicara, beberapa hari setelah mengutarakan niatnya pergi bekerja, Mega memang memilih menyendiri. Setelan semua pekerjaannya selesai dan Ridho suaminya berangkat ke tempat nya bekerja, Mega memilih mengurung diri bersama anak-anaknya di kamar. Dunianya begitu sempit, berputar di antara ruang kecil rumahnya sendiri.Mega lebih memilih menuangkan kisah di dalam memo ponselnya, memimpikan kisah indah cinta atau menceritakan kebahagiaan yang sebenarnya dari sebuah keluarga, menjadi sebuah cerita impiannya yabg di baca dan di nikmati pada aplikasi.[ Best banget thor ceritanya, real sekali][Next kilat thor, candu sekali tulisanmu][Duh author, Ini gemes banget ceritanya!]Mega tersenyum sendiri, membaca setiap komentar yang masuk ke dalam ceritanya. Sepertinya mereka semua suka dengan tulisan-tulisannya.Sudah lama Mega menulis kisah fiksi karangannya, meski hanya mendapat beberapa ratus ribu setiap bulannya, namun cerita kali ini berbeda, ia mendapat banyak like dan
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m