Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah.
"Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, padahal ia tak merasa pernah berbuat jahat. Mereka bilang dirinya angkuh, begitu congkak dan sombongnya, padahal apa yang mau ia sombongkan, bahkan untuk makan dengan layak saja ia harus ikut memutar otaknya."Ga, Mega!" Suara ibu mertuanya membuyarkan lamunan. Mega menyeka cepat air mata di pipi, ia segera keluar mendengar namamya di sebut."Iya bu, ada apa?"Ibunya sudah berdiri di ambang pintu, mengandeng Alika di sisi kirinya. "Nih anakmu buang air besar, segitu gedenya bilang eek saja nggak mau! Ajarin apa susahnya?"Mega terpaku melihat Alika terdiam dengan wajah tertunduk. Ia mengambil anak empat tahun itu dan membawanya ke kamar mandi."Alika biasanya bilang kalau mau eek, kenapa sekarang diam saja?"Gadis kecil itu berbisik di telinga. "Takut bude Iska buk."Mega terdiam, mencoba mencerna kalimat dari putrinya. Tak biasanya dia berbisik untuk cerita, apakah Alika juga takut pada neneknya?Selesai membersihkan Alika, Mega kembali ke depan, ia memastikan ibu mertuanya sudah pulang ke rumah. Setelah di rasa mertuanya tak ada, Mega kembali masuk dan mendudukan Alika di atas tempat tidur."Tadi maen apa di rumah Nenek?" Mega memancing gadis kecil itu sambil memakaikannya celana pendek."Nggak maen."Mega terdiam kembali mencerna kalimat anak perempuannya. "Bude bobok buk, Ika lihat HP sendili."Mega terdiam, kakak iparnya itu memang unik bin ajaib. Ia selalu ingin dekat dengan anak-anak nya, namun hanya untuk mengajaknya ke kamar, mengunci pintu kamar ibu mertuanya dan memberikan dua keponaknnya ponsel dengan video kartun, sementara Siska akan tidur hingga mendengkur keras."Jadi Alika eek ngak bilang karena takut bude Siska bangun?"Gadis itu menganggukkan kepala. Usianya baru empat tahun, tapi ia bahkan sudah bisa berfikir sejauh itu."Buk, mau nonton baby sak." Alika bicara dengan polosnya."Baby shark?" Mega membetulkan kalimat anaknya.Alika menganggukkan kepala. "Nonton baby sak buk." Gadis kecil itu mulai kembali merengek.Beginilah jika ia sudah bersama Siska, Alika akan kembali meminta menonton video saat kembali ke rumah. Sementara Mega bahkan tak pernah membiarkan anaknya melihat Video bila di rumah."Tadi sudah lihat kan?" Gadis kecil itu mengangguk lagi. " kan sudah lihat, Ya beranti besok lagi lihatnya!"Mega mencoba memberikan Alika pengertian. Bagaimanapun dirinya tak boleh terlalu memberi anaknya kebebasan dalam memegang ponsel, Alika harus tau batasan dan larangan saat ibunya memberikan perintah. Masih banyak juga permainan yang bisa di mainkan bersama Alika."Mau HP buk! Ibuk nakal, ibuk nakal." Alika terduduk di lantai, kakinya menendang-nendang ke depan."Jangan begitu nak, besok lagi lihat HPnya ya?" Mega menyentuh kepala Alika, namun gadis itu justeru mengamuknya."Nggak mau, mau lihat HP ibuk, lihat HP!" Gadis kecil itu kini meraung, berguling dan berteriak di atas tikar.Kini Mega hanya duduk melihat anaknya berteriak, percuma juga memaksa Alika mimahami maksudnya, biarkan saja bila ia ingin marah, mengeluarkan semua yang ia rasakan, Mega tetap pada pendiriannya.Hingga teriakan Alika semakin kencang, ia bahkan sempat mengamuk dan memukul Mega beberapa kali."Ibuk tunggu sampai Alika tenang ya, tapi ibuk tidak akan merubah keputusan, Alika harus tau, lihat HP itu ada waktunya, kalau sudah lihat HP berarti besok lagi lihatnya." Mega berdiri mengambil baju bersih di atas meja ruang tengah, sembari menunggu anaknya diam, ia bisa melipat baju yang mulai menggunung.Tak berselang lama, setelah tangisan Alika mengema, ibu mertuanya datang dengan wajah tak suka."Mega! Ibu macam apa kamu ini, anak nangis bukannya di diamkan malah sibuk ngurus gunungan baju!"Mega terdiam, melihat mertuanya kini mengambil Alika yang masih terus meronta. "Taruh saja Alika mak, biarkan saja kalau dia menangis, nanti kalau sudah tenang Mega akan pegang dia.""Taruh bagaimana, anak nangis begini masih bisa kamu minta ibu taruh dia, terlalu kamu!" Siti membujuk cucuknya untuk duduk, namun Alika masih terus meminta apa yang jadi keinginannya "Mau HP nek, mau HP!""Oh, Alika mau nonton HP? Kita ke rumah nenek yuk, kita nonton di sana saja!" Siti menggendong Alika."Taruh Alika mak, biar dia di rumah dulu!"Siti mendengus kesal, ia melihat tajam ke arah menantunya. " Kamu melarang Emak menyentuh cucu sediri Mega?""Bukan begitu Mak, tapi biarkan dia tenang dulu. Jangan selalu membela anak hanya karena dia menagis mak, biarkan Mega yang urus dulu.""Eh, kamu saja nggak bisa urus dan memenuhi kemauanya. Nih anak sapai nangis begini kamu masih saja nggak perduli!""Dia nangis minta HP mak, jangan terus di kasih begitu.""Ya kalau minta HP kasih lah, sama anak pelitmu nggak ketulung. Hari-hari juga kerjamu hanya rebahan di depan HP, giliran anak minta pinjam nggak di kasih!""Bukan begitu mak, hanya saja-""Alah sudah, nggak perlu banyak bicara kamu ini. Bagus juga Siska itu asuh anak, anakmu sama dia nggak pernah tu nangis begini!"Siti berlalu sambil membawa Alika dalam gendongan. Sementara Mega yang mengejar, berhenti saat motor Ridho memasuki pekarangan rumah mereka."Lho Mak, mau di bawa kemana Alika?" Ridho yang baru pulang dari sawah merasa heran dengan ibunya yang berjalan tergesa-gesa."Bilang sama istrimu itu, jangan sok tau soal ngurus anak, aku lebih punya pengalaman membesarkan anak dari pada dia!" Siti berlalu begitu saja, bahkn Ridho belum sempat bertanya lebih jelas, namun saat dia masuk Mega sudah berdiri di ambang pintu."Mas-" Ucapanya tercekat, ia ingin menyusul Alika namun juga tak bisa meninggalkan suaminya yang baru pulang dari sawah."Alika tantrum lagi?" Ridho tau hanya dari tatapan mata istrinya. Bukan kali pertama memang Ibu datang saat Alika menangis, menyalahkan cara mendidik Mega dan menuruti semua yang Alika Mau."Tolong bilang Emak mas, tolong jangan ikut campur caraku mendidik anak-anak. Jangan terus membela Alika begini!" Kalimat Mega melemah, ada rasa kecewa yang dalam di sana."Jika aku ambil anak-anak dirumah Emak sekarang mas, mbak Siska pasti akan sangat membenciku dan kamu mas. Bagaiman mas, apa yang harus aku lakukan?"Ridho membelai punggung istrinya. "Mas saja yang ambil, mas mandi sebentar boleh?"Mega menganggukkan kepala, ia masuk mengikuti Ridho. Ridho langsung menuju kamar mandi sementara Mega menyiapkan makan suaminya. Bulir bening kembali menetes, ia harus bersabar lebih luas untuk tetap menjaga sikap dan lisannya, bagaimapaun ibu mertuanya adalah orang tua kandung suaminya yang harus di hormati."Berilah kekuatan ya Allah, berilah kemudahan dan kelapangan. Mampukanlah diri kami menerima setiap ujianmu sebagai pendewasaan diri agar lebih baik,Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam."Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya."Nanti Ayah, nonton HP dulu." Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan."Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu."Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja."Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah."Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina"Halah, semua aturan dia buat sendiri, s
Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng."Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya."Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak." Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?""Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?""Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih kh
Aku terkejut, baki tempatku membawa gelas bergetar, mas Agus meminta pisah, padahal rumah tangga mereka baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba ia meminta pisah?"Sabar dulu lah gus, watak Siska memang begitu, kamu jangan terbawa emosi berlebih!" Emak memberi nasehat, meski kalimatnya terdengar memberikan Pembelaan sepihak."Emak nggak tau rasanya jadi aku mak. Coba Dho kamu jadi aku, setiap kali dia marah cucian baju nggak ada yang di sentuh, makan beli sendiri, dia bawa sendiri ke dalam kamar dan di kunci!"Kami terdiam, sebenarnya tak heran juga jika begitu watak mbak Siska. Setiap kali marah dengan Emak juga terkadang ucapan nya sangat kasar. Pernah ia membanting panci di dapur Emak hanya karena Emak tak juga selesai berdandan saat ia ingin mengajak pergi."Coba pak aku harus bagaimana? Ada saudaraku datang kalau dia nggak suka ya nggak bakal keluar kamar, bahkan sekedar menjabat tangan saja nggak mau, apa nggak buat malu suami kalau begitu?""Wataknya kan memang begitu gus, ya
Mega sedang menyapu halaman saat mobil merah milik Siska masuk ke penerangannya. Klaksonnya berbunyi nyaring berkali-kali, bahkan lampunya mengarah tepat ke wajahnya.Wanita angkuh itu keluar dan membanting pintu dengan keras, ia berjalan tak suka ke arah Mega, seolah ingin segera menerkam wanita berperawakan kurus itu."Mana Ridho?" Siska melirik ke dalam rumah, tangannya terlipat ke depan dengan tatapan meremehkan iparnyaMege menatap Siska yang sedang memperlihatkan keangkuhannya. "Ke sawah mbak, ada perlu apa dengan mas Ridho?""Bukan urusanmu aku mau apa sama Ridho!"Mega mengehela napas oelan, berusaha sabar dengan watak menyebalkan kakak iparnya. "Jika begitu mbak bisa duduk dulu sambil menunggu mas Ridho pulang dari sawah." Ia menawarkam diri, merasa tak sopan juga memiarkan tamu berlama-lama di luat rumah."Nggak perlu, aku nggak mau masuk rumahmu yang kotor itu. Heh Mega, mengadu apa kamu dengan suamiku?" Siska berkacak pinggang dan menatap tajam adik iparnya."Ngadu? Aku ng
Ridho hanya terdiam saat Mega bercerita dengan air mata mengalir di pipinya, bukan dia tidak percaya kata-kata istrinya, hanya saja begitu sulit menerima kenyataan kalimat itu datang dari kakaknya sendiri.Ridho berdiri dari tempatnya, tangannya mencengkeram seolah segala amarahnya berkumpul di sana. Tanpa berkata, Ridho berjalan meninggalkan rumahnya, di terangi lampu jalan ia melangkahkan kaki menuju rumah kedua orang tuanya.Mobil Siska masih terparkir di halaman rumah, tanda wanita yang bersetatus kakaknya itu masih ada di sana. Saat Ridho masuk, rumah begitu hening ia lalu menuju ke dalam kamar ibunya.Brak!Ridho membanting pintu kamar, menimbulkan suara nyaring di antara benturan hendel dan tembok rumah. Siska sedang tertidur bersama Emak di sampingnya."Bangun!" Ridho menyibak kasar selimut yang menutup tubuh Siska.Siska terperanjat, seketika dia terduduk memperhatikan siapa yang sudah menganggu nya."Ridho! Gila kamu." Hardiknya terbawa amarah."Keluar dari kamar!" Ridho men
Ridho berusaha menghubungi Mega, namun istri nya itu tak juga mengangkat telpone nya. Ridho mulai cemas, hari semakin malam namun istri dan dua anak nya tak juga diketahui ada di mana.Lama ia berkeliling sendirian, bahkan sempat berpikir mungkin saja Mega ke makan orang tua nya, tapi sampai di sana juga tak di dapati istrinya itu. Ridho mulai merasa takut, mungkinkah Mega benar-benar merasa kecewa dengannya sekarang, hingga memilih pergi meninggalkan Ridho sendiri."Dho, ngapain di sini?" Dewi yang melihat Ridho sendirian di perempatan desa berhenti menyapa nya.Dewi sedang bersama Halimah saat melihat Ridho duduk sendirian du jalanan sawah desa mereka."Dho pulang le! Bude beli Bakso banyak ini, makan di rumah yo!" Halimah mengajak Keponakannya itu kembali ke rumah."Duluan saja bude, aku masih ada urusan sebentar." Ridho menolak ajakan Halimah."Sebenarnya kamu itu cari siapa dho?" Halimah tertanya saat melihat Ridho nampak semakin gelisah. Kakinya tak bisa menapak tenang, sejak ta
Mega kini tak banyak bicara, beberapa hari setelah mengutarakan niatnya pergi bekerja, Mega memang memilih menyendiri. Setelan semua pekerjaannya selesai dan Ridho suaminya berangkat ke tempat nya bekerja, Mega memilih mengurung diri bersama anak-anaknya di kamar. Dunianya begitu sempit, berputar di antara ruang kecil rumahnya sendiri.Mega lebih memilih menuangkan kisah di dalam memo ponselnya, memimpikan kisah indah cinta atau menceritakan kebahagiaan yang sebenarnya dari sebuah keluarga, menjadi sebuah cerita impiannya yabg di baca dan di nikmati pada aplikasi.[ Best banget thor ceritanya, real sekali][Next kilat thor, candu sekali tulisanmu][Duh author, Ini gemes banget ceritanya!]Mega tersenyum sendiri, membaca setiap komentar yang masuk ke dalam ceritanya. Sepertinya mereka semua suka dengan tulisan-tulisannya.Sudah lama Mega menulis kisah fiksi karangannya, meski hanya mendapat beberapa ratus ribu setiap bulannya, namun cerita kali ini berbeda, ia mendapat banyak like dan
"Kalau mbak Siska merasa aku salah ya sudah mas, aku nggak bisa apa-apa. Tapi kalau aku harus ke sana dan minta maaf, aku tak bisa mas, aku juga nggak merasa salah apa-apa. Bagaimana dong?"Mega menjawab dengan ketus, ia sudah sangat malas meladeni drama yang di buat Siska dalam hari-harinya yang tenang.Agus membuang pandangan merasa geram dengan jawaban istri adik iparnya itu. Mega tidak pernah bicara se_menyebalkan itu selama ini."Ngalah saja ga, minta maaf sama mbakmu kan Juga nggak rugi." Agus masih mencoba membujuk Mega."Nggak rugi gimana mas, ya rugi lah aku. Nggak salah suruh minta maaf, lucu mas Agus ini.""Dari pada ribut terus, nggak selesai-selesai masalahnya!""Ya ketemu saja di mana. Mbak Siska minta maaf, aku juga minta maaf, beres masalah. Bagaimana?" Mega menawarkan solusi."Susah bicara sama kamu ga, ngalah sedikit saja ngak mau, egois kamu!"Lah mas Agus itu lucu, dari pada suruh aku yang mengalah dan terus ngertiin mbak Siska, mbok ya mas suruh itu mbak Siska gan
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m