Mega kini tak banyak bicara, beberapa hari setelah mengutarakan niatnya pergi bekerja, Mega memang memilih menyendiri. Setelan semua pekerjaannya selesai dan Ridho suaminya berangkat ke tempat nya bekerja, Mega memilih mengurung diri bersama anak-anaknya di kamar. Dunianya begitu sempit, berputar di antara ruang kecil rumahnya sendiri.Mega lebih memilih menuangkan kisah di dalam memo ponselnya, memimpikan kisah indah cinta atau menceritakan kebahagiaan yang sebenarnya dari sebuah keluarga, menjadi sebuah cerita impiannya yabg di baca dan di nikmati pada aplikasi.[ Best banget thor ceritanya, real sekali][Next kilat thor, candu sekali tulisanmu][Duh author, Ini gemes banget ceritanya!]Mega tersenyum sendiri, membaca setiap komentar yang masuk ke dalam ceritanya. Sepertinya mereka semua suka dengan tulisan-tulisannya.Sudah lama Mega menulis kisah fiksi karangannya, meski hanya mendapat beberapa ratus ribu setiap bulannya, namun cerita kali ini berbeda, ia mendapat banyak like dan
"Kalau mbak Siska merasa aku salah ya sudah mas, aku nggak bisa apa-apa. Tapi kalau aku harus ke sana dan minta maaf, aku tak bisa mas, aku juga nggak merasa salah apa-apa. Bagaimana dong?"Mega menjawab dengan ketus, ia sudah sangat malas meladeni drama yang di buat Siska dalam hari-harinya yang tenang.Agus membuang pandangan merasa geram dengan jawaban istri adik iparnya itu. Mega tidak pernah bicara se_menyebalkan itu selama ini."Ngalah saja ga, minta maaf sama mbakmu kan Juga nggak rugi." Agus masih mencoba membujuk Mega."Nggak rugi gimana mas, ya rugi lah aku. Nggak salah suruh minta maaf, lucu mas Agus ini.""Dari pada ribut terus, nggak selesai-selesai masalahnya!""Ya ketemu saja di mana. Mbak Siska minta maaf, aku juga minta maaf, beres masalah. Bagaimana?" Mega menawarkan solusi."Susah bicara sama kamu ga, ngalah sedikit saja ngak mau, egois kamu!"Lah mas Agus itu lucu, dari pada suruh aku yang mengalah dan terus ngertiin mbak Siska, mbok ya mas suruh itu mbak Siska gan
Dengan kesal Mega membuka ponselnya, hatinya panas saat terus mengingat dirinya yang di perlakukan seenaknya di tempat ini. Tiba-tiba terlintas sebuah ide cerita dan Mega menulisnya pada layar ponsel di tangan. Mega memang suka menulis sejak lama, ia sering membuat cerita pendek yang di kirim di grup kepenulisan di aplikasi biru lalu di kirim pada aplikasi berbayar, meski hasil yang di dapat selama ini tidaklah banyak."Dek buka pintu!" Ditengah asyiknya dia mengeluarkan segala sesak dalam dirinya, Mega mendengar Ridho memintanya membuka pintu kamar.Mega meletakkan ponselnya di meja dan berjalan membuka pintu, Ridho sudah berdiri di depannya sembari menatap dalam diam."Ada apa lagi mas?" "Kalau kamu nggak mau minta maaf, mbak Siska akan terus mencari kesalahanmu dek." Ucap Ridho menjelaskan, ia hanya tak ingin keluarganya terus di rong-rong kakaknya."Jika aku meminta maaf, mas rela harga diriku di injak?" Tanya Mega pada sang suami."Tak ada yang menginjak harga dirimu Mega, ini
Mega tak membalas pesan iparnya, ia diam menunggu saja suaminya pulang ke rumah dan meminta penjelasan. Hingga hari semakin malam, suara motor Ridho memasuki pelataran rumah.Mega berjalan ke depan saat mertuanya batu turun dari motor. "Jangan lupa bilang sama Mega Dho, di bujuk saja biar mau!" Ucap Siti lalu pulang membawa kantung besar plastik berwarna putih.Ridho menghela napas sebentar dan berjalan masuk membawa Alika yang tertidur bersamanya. Baru masuk dari pintu depan Mega sudah berdiri di tengah ruang tamu."Siapkan tempat untuk Alika tidur." Ucap Ridho sedikit gemetar, ia memikirkan banyak hal sebelum mengatakan pada istrinya."Di kamar sudah bersih." Jawab Mega, ia tak ikut Ridho masuk, justeru berjalan melihat keluar rumah.Mega melihat ke halaman, ibu mertuanya tak lagi ada, ia juga tak melihat di mana Alina sekarang, bergegas dia masuk ke dalam kamar."Mana Alina?" Tanyanya pada Ridho yang tengah menidurkan anak sulungnya di atas ranjang."Mas, mana Alina?" Tanyanya lagi
"kamu nggak boleh bawa alina pulang kemari Mega!" Siti berteriak mengikuti menantunya keluar rumah.Sementara Mega tak lagi mau perduli dengan apa yang akan di katakan mertuanya, hatinya sedang panas mengetahui Ridho mengambik keputusan sendiri, tanpa pertimbangannya."Jangan coba bawa Alina kemari." Siti mencengkeram erat tangan Mega."Kenapa memangnya bu?""Biarkan dia di sana Mega, anakmu dua , berbagulilah sati saja!"Mega melepas kasar tangan sang mertua. "Anakku tak akan ikut siapapun kecuali aku, ibunya!" Ucap Mega kesal, ia berjalan hingga keluar pelataran rumah ."Jika kamu baww Alina, aku akan masuk penjara!" Ridho akhirnya bicara, membuat langkah kaki Mega terhenti.Mega berbalik menatap wajah suaminya yang bimbang. "Katakan mas, katakan sekali lagi!" Ucapnya, ia merasa mungkin saja salah dengar."Hutangku dulu saat coba masuk pegawai negri di minta mbak Siska secepatnya."Mega lemas, kakinya bagai tak menapak tanah, ia lalu berjalan mendekati sang suami. "Katakan sekali la
Sepanjang jalan mereka hanya diam, Mega mendekap erat tubuh kecil putrinya hingga motor Ridho perlahan masuk ke pelataran tumah. Alika sudah bangun rupanya, Dewi bahkan sudsh memandikan gadis sulung Mega dan menyuapinya di teras rumah.Mega turun dan berjalan masuk, ia duduk di depan Dewi dengan posisi masih memeluk Alina dengan erat."Emakmu di tinggal di sana?" Tanya Dewi saat melihat buleknya tak ikut pulang."Iya mbak." Jawab Ridho singkat, ia menatap ke arah istrinya sebentar lalu ikut duduk di satu kursi yang kosong.Mega melirik ke arah Ridho yang ternyata juga sedang melihatnya diam-diam, mereka ingin saling bicara, namun binggung bagaimana memulai kata."Karena kalian sudah pulang, mbak juga pulamg ya, tadi belum selesai jemur baju, jadi mau di lanjut lagi." Dewi meletakkan mangkok kosong Alika di meja."Makasih ya mbak sudah jaga Alika, maaf kalau merepotkan." Mega mengucapkan terimakasih Dewi bersedia di repotkan oleh keluarganya."Alah kayak sama siapa saja, ya sudah mbak
Mega terduduk gemetar setelah kepergian kakak iparnya, tentu saja dia tetap takut, bukankah anak-anak adalah segalanya bagi orang tua, pun dengannya yang bertaruh nyawa saat jiwanya bertaruh dengan raga membawa mereka ke dunia."Kamu kenapa?" Ridho bertanya pada sang istri, ia terkejut melihat Mega terdiam di lantai rumah.Perlahan Mega berdiri, ia bangkit dan berjalan ke dalam kamarnya."Ada apa Mega, apa yang sudah terjadi?" Kembali Ridho bertanya, ia masih tak mendapat jawaban."Bilang pada mbakmu itu jangan pernah lagi menyentuh anakku!" Ucapnya pelan namun matanya tajam menatap Ridho."Apa mbak Siska ke sini?""Menurutmu mas?"Ridho diam, tentu saja ia tak tau apa yang sudah terjadi antara Mega dan kakaknya, terlebih Siska tak akan pernah mengatakan apa yang terjadi."Bilang pada mbak Siska jangan pernah menginjakkan kakinya lagi di sini, bilang padanya untuk tak menganggap anak-anakku miliknya!" Suara Mega meninggi, ia merasa kesal dan kecewa atas sikap kakak iparnya."Nanti aka
Mengantri di bank, Mega duduk di barisan belakang, ia nampak menunggu nomornya di panggil juga ke depan."Ngapain kamu ke sini?" Agus suami Siska bertanya, ia tiba-tiba saja duduk du dekat Mega.Mega yang terkejut melihat ke arah Agus. "Mas di sini?""Iya, tadi duduk du sana terus lihat kamu." Ucapnya dengan senyum genit.Mega yang tak enak membalas senyum dan kembali melihat ke depan."Kamu belum jawab pertanyaanku, ngapain kamu di sini?""Ada perlu saja mas, Mas Agus mau nabung?""Ambil uang buat ambil barang dagangan."Mega hanya menganggukkan kepala dan kembali diam, sementara Agus masih melihatnya dengan lekat."Masih marahan sama Ridho?"Dua alis mega berkerut. "nggak mas, Mega nggak marahan sama mas Ridho, kami baik-baik saja."Agus menganggukan kepala lagi. "Maaf ya istriku memang suka sekali cari gara-gara, dia senang membuatmu marah!" Ucapnya seolah sedang meminta Mega memaklumi watak samg istri.Mega hanya tersenyum tak menanggapi, sementara ia terus memandang nomor antrian
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m