Mengantri di bank, Mega duduk di barisan belakang, ia nampak menunggu nomornya di panggil juga ke depan."Ngapain kamu ke sini?" Agus suami Siska bertanya, ia tiba-tiba saja duduk du dekat Mega.Mega yang terkejut melihat ke arah Agus. "Mas di sini?""Iya, tadi duduk du sana terus lihat kamu." Ucapnya dengan senyum genit.Mega yang tak enak membalas senyum dan kembali melihat ke depan."Kamu belum jawab pertanyaanku, ngapain kamu di sini?""Ada perlu saja mas, Mas Agus mau nabung?""Ambil uang buat ambil barang dagangan."Mega hanya menganggukkan kepala dan kembali diam, sementara Agus masih melihatnya dengan lekat."Masih marahan sama Ridho?"Dua alis mega berkerut. "nggak mas, Mega nggak marahan sama mas Ridho, kami baik-baik saja."Agus menganggukan kepala lagi. "Maaf ya istriku memang suka sekali cari gara-gara, dia senang membuatmu marah!" Ucapnya seolah sedang meminta Mega memaklumi watak samg istri.Mega hanya tersenyum tak menanggapi, sementara ia terus memandang nomor antrian
Mega menatap tak percaya pada suaminya, ia sudah banyak mengalah dan diam namun tak bisa membuatnya di hargai."Mas, sebenanya kamu ini kenapa?" Tanya Mega akhirnya, setelah sekian lama ia mwrasa ada yang jangga dari sikap Ridho padanya."Mas nggak apa-apa!" Ucapnya singkat lalu diam menatap ke arah lantai rumahnya."Mas tau, hutang kita di bank saja belum juga lunas, bagaama bisa aku ambil pinjaman lagi!" Mega mengingatkan Ridho bahwa mereka juga masih punya hitungan yang belum tuntas."Mas kira berapa banyak sertifikat rumah ini sampai aku bisa pinjam terus?".Ridho masih terdiam, di dalam kepalanya penuh dengan rasa curiga pada Mega, ia masih bertanya dari mana Mega akan mendapatkan uang dan membayar semua hutang Ridho pada Siska."Jika aku sudah dapat uang, berikan separuh dulu pada mbak Siska mas!" Ucap Mega lagi lalu kembali fokus menulis di ponselnya."Memang dari mana kamu dapat uang sebanyak itu?""Dari usahaku mas, dari jerih payahku sendiri, akan aku buktikan pada mereka se
Hari berganti dengan cepat, Siska tak berhenti menebarkan ancaman setelah kedatangannya saat itu, ia begitu yakin jika suaminya telah terhasut ucapan Mega yang merayunya tanpa malu. Sementara Mega dan Ridho mulai menata hati, suaminya yang ia percaya dulu sudah kembali."Dho, mana istrimu?" Siti masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam."Keluar mak, ada apa?""Mak mau bicara!" Ucap wanita itu menarik tubuh Ridho duduk di teras rumah."Ada apa mak?" "Kamu ini kenapa sih dho nggak percaya sama mak dan mbakmu sendiri!" Siti mulai bicara, berusaha menghasut anak lelakinya itu."Jangan mulai lagi mak, hidup kami baru saja tenang sekarang, mak jangan membuat kami bertengkar lagi." Ridho berdiri, malas rasanya mendengar ibunya itu bicara tanpa rasa bersalah."Dho, mbak mu itu yakin jika Agus punya simpanan wanita lain! Beberapa kali Siska memergoki Agus sedang telpon seseorang di malam hari, apa kamu nggak merasa curiga?""Curiga sama siapa, Mega? Mak, dari mana mbak Siska bisa menyimpu
Menjelang sore, Mega mengajak Ridho menemui Siska kakaknya, sengaja tak membawa anak-anak mereka sekarang, tak ingin dua buab hatinya mendengar kalimat yang tak baik bila Siska kehilangan kendali."Mau kemana kamu?" Siti mendekat melihat anak dan menantunya keluar.rumah tanpa dua cucunya."Ke rumah mbak Siska bu, kenapa?" Tanya Ridho"Ngapain?" Siti bertajya balik, ia tak mau menjawab oertanyaan Ridho."Ada urusan bu, sudah ya kita pergi dulu." Ridho naik ke atas motor."Mana anak-anak?" Tanya Siti lagi, seharian ia tak melihat anak-anak Ridho itu."Pergi sama mbak Dewi bu." Ucap Mega namun Siti tak menghiraukan menantunya itu."Lain kali jangan titip anak ke orang lain Dho, ibu masih bisa urus!" Ucapnya lagi lalu melirik Mega yang masih diam menunggu motor suaminya keluar halaman."Sudah bu, kami pergi dulu ua!" Ribdho berpamitam pada siti dan segera melajukan motornya meninggalkan Siti di halaman rumah mereka.Di jalan Ridho tak berhenti membahas sikap ibu pada mereka tadi, ia ing
"ada apa mas?" Mega bertanya, sejak pulang dari rumah kakaknya Ridho hanya diam dan kini duduk di depan rumah mereka."Kamu lihat wanita di rumah mbak Siska tadi?""Oh Widya? Iya mas, kenapa?""Kamu nggak merasa ada yang salah dek?"Mega diam sejenak, ia memang berasa wanita itu terlalu berani dalam berpakaian namun tak dia katakan pada suaminya."Iya lihat mas, bajunya berani sekali di rumah majikannya, kenapa mamang?"Mega mulai merasa curiga, Ridho seperti sedang memikirkan banyak hal sekarang."Sebelum mbak Siska datang, aku mendengar suar wanita tertawa." "Dimana?""Di rumah mbak Siska, masak kalau cuma pembantu dia bisa tertawa cekikikan dengan mas Agus."Mega masih terdiam, jika benar ada tawa terdengar berarti ada hal janggal yang terjadi di rumah itu."Apa wanita yang selama ini di curigai mbak Siska itu Widya ya mas?" "Hust, jangan buat cerita ngawur lah ga, kamu bisa di rujak Siska nanti!" Santi bibi Ridho tiba-tiba saja ikut bicara."Kamu itu cuma anak mantu ga, jangan s
[Dengar ya dho, jika sampai orang lain tau soal ini, kamu berurusan denganku!"]Sebuah pesam dari Siska membuat Ridho berdecak kesal, mereka masih ada di satuntempat, bahkan Ridho masih bisa melihat aktifitas kakanya itu sekarang."Ada apa mas?" Tanya Mega khawatir, Ridho bahkan tak tersemyum sejak menemui Siska tadi."Mbak Siska bilang lelaki itu teman bisnisnya, menurutmu apa mungkin teman bisnis sedekat itu?" Tanya Ridho sambil menunjuk arahnSiska yang masih nampak menikmati makannya.Mega diam, ia tak tau apa yang akan dia katakan sekarang, Sejujurnya ia masih sangat terkejut dengan apa yang baru saja di lihatnya dan sekarang mendapat pertanyaan aneh dari sang suami.Sementara Ridho melihat kesal ke arah kakaknya itu. Belum ada jawabam tentang apa yang terjadi dengan sang kakak ipar, ia malah harus berurusan dengan urusan lain.Ridho makan dengan tak tenang, ia bahkan tak berhenti menatap ke arah Siska yang terlihat seperti tak perduli denganya."Mereka sudah selesai!" Ucap Ridho
"Turun!" Ridho membentak kakaknya dengan keras.Siska turun dengan kesal, mereka sudah ada di depam rumah orang tuanya. Sementara Ridho markirkan motornya, Siska masih terdiam di halaman tempatnya turun."Kenapa masih di situ, masuk!" Ridho menarik tangan Siska memasuki rumah kedua orang tuanya. Teras dan ruang depan kosong, mereka masih di ladang sekarang ini."Jangan tarik aku begitu Dho, aku bukan anak kecil yang bisa kau tarik-tarik begitu!" Ucapnya kesal, Siska berusaha melepaskan gandengan sang adik."Kalau perlu aku akan rantai tanganmu di pilar rumah Bapak mbak!" Bentaknya lebih keras.Ridho membawa Siska melewati kolam ikan milik orang tuanya, lalu mendudukkan Siska di balai bambu kecil samping kebun sayuran."Diam di situ!" Ucap Ridho menahan amarah, ia berjalan ke kebun dan memanggil orang tuanya."Mak, pak, ayo ikut dulu, aku mau bicara!" Ucapnya tak mau basa-basi, ia meminta kedua orang tuanya menemui Siska."Ada apa sih dho?" Siti belum juga berdiri dari tempatnya mengik
Karno dan Dewi keluar rumah, di susul Halimah dan Ratih anak bungsunya. Tak lama Santi dan Rut adik Harun juga keluat dari rumah mereka, mendengar Siti berteriak di ikuti tangis Siska sembari meminta ampun membuat keluarga besar mereka keluar dan berkumpul di belakang rumah."Astagfirullah Harun!" Halimah berteriak, ia terhuyung mendekati adik lelakinya itu."Mas, sudah mas!" Rut dan Santi ikut berlari mendekat.Karno menantu Halimah juga berlari bersama istrinya ikut menenangkan Harun yang tak lagi bisa berpikir tenang."Istigfar Harum, istigfar!" Halimah dan Karno membawa Harun duduk di kursi kecil sementara Dewi dan Ratih membantu Siska menjauh keluar area kebun orang tuanya."Ya Allah! Astagfirullah! Apa salahku ya Allah!" Harun tergugu, memukul dadanya yang sesak, ia terus mencoba menenangkan diri.Sementara Siti yang terlepas dari Ridho berlari mendekati anaknya. "Siska, Siska!" Siti memeluk putrinya yang sudah terduduk lemas, kakinya yang putih dan terwat kini kemerahan hampir
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m