Siti terpaku melihat Ridho berdiri di ambang pintu ruang tengah, ia melihat Alika di sisi anaknya dan Alina ada dalam gendongan, dua cucunya itu menatapnya dalam keluguan.
"Eh cucu nenek di sini, ayo nenek suapi dulu. Kita makan soto dari tempat Nek Halimah." Siti menarik tubuh Alina dari gendongan dan mendudukannya di atas tikar. Sesekali Siti masih melihat Ridho, ia jadi salah tingkah mendapati anak lelakinya masih menatap lekat."Sini Alika, maem sama adek juga." Siti menarik tubuh kecil Alika."Duduk dho!" Harun mempersilahkan anak lelakinya duduk, ia juga merasa tak enak hati atas ucapan istrinya.Ridho duduk dan kembali melihat ke arah ibunya, ada rasa kecewa pada wanita yang melahirkannya itu sekarang. Mengapa Emak yang begitu ia hormati tega berucap bagai belati tepat menghulus di hatinya."Mak, apa yang Emak katakan pada Mega di tempat bude Imah?""Apa memang, Emak nggak bilang apa-apa. Ngadu apa istrimu itu?" Siti melirik tajam, Ridho tau betul watak Ibunya, wanita itu akan lebih marah jika dirinya yang salah.Ridho menghela napas dalam. " Mega nggak bilang apa-apa, justru Emak sendiri kan yang bilang ke Bapak barusan?" Ridho menaikkan kedua alisnya, sementara Siti sudah terlihat salah tingkah sendiri."Emak kenapa harus bicara begitu? Apa kalau Mega hamil lagi itu bukan cucu Emak juga?"Siti meletakkan sendok sayur dengan kasar, ia menghela napas berat seolah enggan menjawab tanya anak lelakinya. Matanya menerawang ke luar jendela."Mak, Mega itu sudah yatim piatu, kalau bukan Emak dan Bapak siapa lagi yang akan menganggapnya anak? Mega begitu sayang dengan Emak dan Bapak juga.""Sudah lah dho, Emak nggak mau bertengkar, nggak usah juga kamu bela-bela terus itu istrimu. Emak bicara begitu karena nggak suka Mega itu hamil terus. Bagaimana perasaan Siska kakakmu, pasti sakit melihatnya!""Mak, anak itu sudah rezeki, kalau memang si Siska belum di kasih Allah, kita bisa apa? Jangan lantas do'a kan buruk pada anak sendiri! " Harun ikut memberi nasehat, ia merasa pemikiran istrinya itu perlu di benarkan."ish, makanya itu Emak berdoa'a Bapak. Do'akan siska biar bisa cepat hamil, salahnya di mana?" Siti masih merasa dirinya benar."nggak salah do'a begitu, yang salah itu do'akan anak sendiri nggak bisa hamil lagi !."Siti bersungut, merasa dirinya di adili, ia duduk dan memandang Ridho anaknya. "Dulu waktu Mega hamil Alina, Emak sudah minta biar Alina di asuh Siska, tapi istrimu ngotot mau merawat sendiri. Kalau saja dia mau, beda cerita pasti dho, Siska sudsh bahagia sekarang. Lagian kamu sebagai adik masak tega saudaramu nggak punya anak?"Ridho terdiam, hatinya kembali terluka. Permintaan ibunya sungguh tak masuk akal. Mega istrinya hamil memang di luar rencana, melahirkan Alina juga karena kebobolan, tapi bukan berarti anak itu lantas tak di inginkan, Ridho dan Mega menerima pemberi Allah sebagai rezeki yang di syukuri juga. Ia tak pernah mengeluh bahkan merasa kesulitan."Emak pernah memikirkan hati Mega tidak? dia hamil sembilan bulan lamanya mak, merasakan nyawa itu bergerak di dalam perut, mereka satu tubuh selama berbulan-bulan, lalu saat hamil Emak meminta anaknya untuk mbak Siska, di mana hati Emak? apakah kalau itu Emak, Emak bisa menjalaninya juga?"Ridho menatap lekat wajah ibunya, meski ada raut tak suka dari tatapan Siti, Ridho masih berharap ibunya bisa sedikit memahami posisi Mega."Bisa saja ibu janali. Contohnya tu Sari anaknya pak Rudi itu bisa, anak ke tiganya di berikan pada adiknya yang belum punya anak. Sekarang anaknya sudah sekolah, semua harta adik Sari di kasihkan atas nama anak itu, hidup nya terjamin Dho, mau sekolah apa juga bisa!""Sari hamil tanpa suami mak, itu anak siapa juga nggak tau, wajar saja dia kasih ke orang, dia sendiri saja nggak bisa menghidupi dirinya sendiri." Ridho mulai tersulut emosi mendengar istrinya di banding-bandingkan."Ya apa bedanya sama kamu dho, Kamu bukan orang kaya, hidup juga masih kurang dan susah, satu anak saja kasih saudara apa susahnya, nanti juga yang kaya anakmu, yang punya harta Siska ya anakmu!"Siti masih merasa ucapannya benar, bahkan ia justeru memberi contoh wanita yang juga bisa memberikan anaknya."Astaqfirullah Mak, kok jadi mikir begitu! Mega itu hamil ada suaminyaSi Ridho, anak kita, anak kandungmu sendiri kok ya bisa di bandingkan sama Sari, janda yang nggak jelas hamil sama siapa!"Harun ikut terbawa emosi, ia tak menyangka istrinya bisa bicara begitu menyakitkan hati."Ah sudah lah pak, kamu sama Ridho itu sama saja, sama-sama cuma memikirkan diri sendiri! Nih, bawa pulang anakmu, minta saja istrimu itu menyuapi anaknya! Bikin emosi saja kamu ke sini." Siti memberikan Alina ke gendongan Ridho, ia lalu berjalan mengambil sepeda mini miliknya, menuntunnya ke depan, entah akan pergi ke mana.***Ridho kembali ke rumah, setelah cukup lama ia duduk bersama Harun, mendapat wejangan dari Ayahnya, hati Ridho sedikit lebih tenang."Ke warung lama sekali mas?" Mega sudah selesai berdandan. Ia memang tak lagi secantik dulu, namun bagi Ridho istrinya jauh lebih berharga karena pengorbanannya yang luar biasa."Ah, iya tadi di panggil Bapak ke rumah. Kamu nggak kembali ke rumah bude dek?"Mega menggelengkan kepalanya. "nggak mas, sudah banyak yang bantu juga. oh iya mas, ini yang antar siapa?" Mega menunjuk sepanci kecil soto di meja."Mbak Dewi, em-- dek.."Mega menatap wajah suaminya, tergambar jelas ada keresahan dalam diri lelaki yang sudah lima tahun menjadi pending hidup nya itu."Mbak Dewi cerita sesuatu ya mas?" Mega berjalan duduk di samping suaminya, di belainya tangan sang suami, tangan yang meski tak se halus dulu, semakin ia hormati karena kerja kerasnya."Mbak Dewi nggak bilang apapun, matamu yang nggak akan pernah bisa berbohong Mega, jangan memendam segalanya sendiri, kamu boleh menangis di pelukan Masmu ini."Air mata yang coba di tahan itu luruh juga, Mega mendekap tubuh kekar suaminya, membenamkan wajahnya di antara dada yang bidang."Maaf ya mas, aku nggak bisa meluluhkan hati Emak."Tangisnya semakin tergugu, Ridho membelai kepala istrinya. "Kamu nggak dalah dek, jangan di ambil hati ucapan Emak, kamu tau kan bagaimana Emak?""Apakah aku ini egois mas, jika tak memberikan anakku pada mbak Siska atau menginginkan anak lagi dalam pernikahan kita, apakah aku ini sangat egois?"Mega menatap wajah Ridho, ia mencoba mencari jawaban dari dua manik mata suaminya itu. Dirinya merasa iba atas pernikahan kakak iparnya yang tak kunjung memiliki keturunan, namun apakah ia yang harus menanggung takdir yang bahkan ia sendiri tak tau mengapa itu menimpa Siska.Setelah hari itu Mega lebih banyak diam, dia bahkan tak ikut berkumpul saat saudara yang lain saling mengobrol di gubuk kecil belakang rumah mereka. Bukan tak mau, ia lebih memilih di rumah menulis apa yang menjadi hobinya.Namun hari ini ia di minta mbak Dewi ikut keluar rumah, "Emakku potong tiga ekor ayam kampung ga, kita buat rica ayam yang pedas sama-sama. Kamu yang bumbuin!" Begitu kalimat yang Dewi katakan, meski Mega sudah memberi alasan untuk menolak, tapi Dewi lebih pandai memaksa."Aku nggak minta tolong ya, aku maksa kamu dateng, kalau kamu nggak keluar, aku paksa!"Kalimat itu sukses membuat Mega kini duduk mengulek bumbu di cobek batu miliknya. Alika dan Alina duduk di atas tikar anyam milik Halimah, mereka sibuk memakan kerupuk dari dalam toples di hadapannya."nggak pernah kelihatan ga, sibuk apa di rumah?"Santi adik Harun bertanya, ia memang terbilang paling ingin tau di antara yang lain."Di rumah saja bulek, sibuk momong anak." Mega menjawab santai, ia masih mengu
Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah."Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, p
Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam."Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya."Nanti Ayah, nonton HP dulu." Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan."Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu."Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja."Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah."Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina"Halah, semua aturan dia buat sendiri, s
Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng."Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya."Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak." Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?""Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?""Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih kh
Aku terkejut, baki tempatku membawa gelas bergetar, mas Agus meminta pisah, padahal rumah tangga mereka baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba ia meminta pisah?"Sabar dulu lah gus, watak Siska memang begitu, kamu jangan terbawa emosi berlebih!" Emak memberi nasehat, meski kalimatnya terdengar memberikan Pembelaan sepihak."Emak nggak tau rasanya jadi aku mak. Coba Dho kamu jadi aku, setiap kali dia marah cucian baju nggak ada yang di sentuh, makan beli sendiri, dia bawa sendiri ke dalam kamar dan di kunci!"Kami terdiam, sebenarnya tak heran juga jika begitu watak mbak Siska. Setiap kali marah dengan Emak juga terkadang ucapan nya sangat kasar. Pernah ia membanting panci di dapur Emak hanya karena Emak tak juga selesai berdandan saat ia ingin mengajak pergi."Coba pak aku harus bagaimana? Ada saudaraku datang kalau dia nggak suka ya nggak bakal keluar kamar, bahkan sekedar menjabat tangan saja nggak mau, apa nggak buat malu suami kalau begitu?""Wataknya kan memang begitu gus, ya
Mega sedang menyapu halaman saat mobil merah milik Siska masuk ke penerangannya. Klaksonnya berbunyi nyaring berkali-kali, bahkan lampunya mengarah tepat ke wajahnya.Wanita angkuh itu keluar dan membanting pintu dengan keras, ia berjalan tak suka ke arah Mega, seolah ingin segera menerkam wanita berperawakan kurus itu."Mana Ridho?" Siska melirik ke dalam rumah, tangannya terlipat ke depan dengan tatapan meremehkan iparnyaMege menatap Siska yang sedang memperlihatkan keangkuhannya. "Ke sawah mbak, ada perlu apa dengan mas Ridho?""Bukan urusanmu aku mau apa sama Ridho!"Mega mengehela napas oelan, berusaha sabar dengan watak menyebalkan kakak iparnya. "Jika begitu mbak bisa duduk dulu sambil menunggu mas Ridho pulang dari sawah." Ia menawarkam diri, merasa tak sopan juga memiarkan tamu berlama-lama di luat rumah."Nggak perlu, aku nggak mau masuk rumahmu yang kotor itu. Heh Mega, mengadu apa kamu dengan suamiku?" Siska berkacak pinggang dan menatap tajam adik iparnya."Ngadu? Aku ng
Ridho hanya terdiam saat Mega bercerita dengan air mata mengalir di pipinya, bukan dia tidak percaya kata-kata istrinya, hanya saja begitu sulit menerima kenyataan kalimat itu datang dari kakaknya sendiri.Ridho berdiri dari tempatnya, tangannya mencengkeram seolah segala amarahnya berkumpul di sana. Tanpa berkata, Ridho berjalan meninggalkan rumahnya, di terangi lampu jalan ia melangkahkan kaki menuju rumah kedua orang tuanya.Mobil Siska masih terparkir di halaman rumah, tanda wanita yang bersetatus kakaknya itu masih ada di sana. Saat Ridho masuk, rumah begitu hening ia lalu menuju ke dalam kamar ibunya.Brak!Ridho membanting pintu kamar, menimbulkan suara nyaring di antara benturan hendel dan tembok rumah. Siska sedang tertidur bersama Emak di sampingnya."Bangun!" Ridho menyibak kasar selimut yang menutup tubuh Siska.Siska terperanjat, seketika dia terduduk memperhatikan siapa yang sudah menganggu nya."Ridho! Gila kamu." Hardiknya terbawa amarah."Keluar dari kamar!" Ridho men
Ridho berusaha menghubungi Mega, namun istri nya itu tak juga mengangkat telpone nya. Ridho mulai cemas, hari semakin malam namun istri dan dua anak nya tak juga diketahui ada di mana.Lama ia berkeliling sendirian, bahkan sempat berpikir mungkin saja Mega ke makan orang tua nya, tapi sampai di sana juga tak di dapati istrinya itu. Ridho mulai merasa takut, mungkinkah Mega benar-benar merasa kecewa dengannya sekarang, hingga memilih pergi meninggalkan Ridho sendiri."Dho, ngapain di sini?" Dewi yang melihat Ridho sendirian di perempatan desa berhenti menyapa nya.Dewi sedang bersama Halimah saat melihat Ridho duduk sendirian du jalanan sawah desa mereka."Dho pulang le! Bude beli Bakso banyak ini, makan di rumah yo!" Halimah mengajak Keponakannya itu kembali ke rumah."Duluan saja bude, aku masih ada urusan sebentar." Ridho menolak ajakan Halimah."Sebenarnya kamu itu cari siapa dho?" Halimah tertanya saat melihat Ridho nampak semakin gelisah. Kakinya tak bisa menapak tenang, sejak ta
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga
Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi
"Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini
Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk
Kami tiba di rumah, setelah menjemput Alika di sekolahnya, sengaja aku bawa Niko ke rumahku untuk membut Nadila naik darah. Awalnya mas Ridho tak memberikan izin, tapi melihat Niko yang nyaman padaku akhirnya dia luluh juga."Ini rumah papa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam rumah. "Iya, rumah papa dan ibu Mega, Niko mau makan lagi? Kalau tidak kita bisa main bersama." Aku menanyai anak yang kini menatapku diam."Aku nggak lapar, ibu Mega punya kertas gambar?""Ada, Niko mau gambar sesuatu?"Dia menganggukan kepala. Aku ambilkan buku gambat besar milik mas Ridho di lemari, buku yang selalu di pakainya menggambar sesuatu namun lama tak pernah terpakai."Ini, gambar saja di sini ya, ibu Mega mau ganti baju dulu." Aku membawa Alina dan Alika masuk ke kamar dan mengganti pakaian mereka.Berkali-kali aku menghela napas, setiap kali aku melihat Niko hatiku terasa sakit, namun aku tak boleh menyerah, masih banyak hal yang harus aku lakukan untuk membuat suamiku dan mantannya itu menderita.
Aku berjalan masuk ke restoran cepat saji itu, mas Ridho sedang memesan makanan saat aku masuk dan duduk sedikit jauh. Setelah memastikam mereka makan berdua, aku mendekatkan diri di belakang mas Ridho."Makanlah Niko, bukankah kamu bilang ingin pizza?" Ucap mas Ridho memotongkan pizza ke dalam piring di depan anak lelaki itu."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu papa saat di kantor?" Pertanyaan itu membuat mas Rihdo kulihat diam meletakkan rotinya di atas piring kecil."Apa kamu sakit hati?" Tanyanya kemudian."Iya, gadis kecil itu panggil ayah, tapi kenapa aku tak boleh?" Ucapnya lagi dan sekarang aku sedang menunggu jawaban mas Ridho."Maafkan papa, tapi bukankah kita sudah sepakat dulu?" Niko terdiam, ia kini tertunduk sedih. "Aku mau ikut papa saja" Ucapan Niko membuat aku semakin tak sabar menunggu jawaban mas Ridho."Papa nggak bisa bawa Niko pulang, papa nggak bisa meninggalkan keluarga papa." Niko terlihat kecewa menatap mas Ridho, sementara Alina justeru turun dari kursinya
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku menunduk melihat ke arah Niko."Lepaskan!" Ucapnya kesal dan berlari ke arah jalan."Jangan Niko! Tunggu!" Ucapku tak ingin hal buruk terjadi padanya, aku segera menyusul anak delapan tahun dan menariknya kembali ke tepian."Jangan pegang aku!" Ucapnya menepis tanganku dengan kasar."Baiklah, aku tak akan pegang, tapi di sini ramai sekali, kalau kamu ketengah jalan dan tertabrak sesuatu bagaimana?"Dia diam dan menunduk, aku menariknya duduk di trotoar jalan, duduk di sebuah bangku penjual es yang mangkal di depan bank." Kalau kamu marah dan tak bisa menahan diri, kamu yang akan rugi sendiri." Ucapku memberinya nasehat dan aku teringat pada Alina yang ku titipkan pada teman mas Ridho.Aku berdiri melihat ke dalam, ternyata mas Ridho sudah menggendong Alina bersamanya."Masuk yok?" Ajakku pada bocah lelaki kecil itu.Dia menggelengkan kepala perlahan. "Aku mau pulang." Ucapnya pelan."Dengan siapa, kan Mami Niko masih di dalam, kita biasa masuk dulu dan m