Aku terkejut dan juga bingung. Takut, sehingga untuk sekadar terpekik pun sudah tak mampu lagi. Hanya diam, memandangi layar smartphone, berharap ada yang bersuara lagi. Ya, meskipun belum tahu, apa yang harus aku lakukan? Oh, dibawa ke mana Tulip - Olive, kenapa suara tangisannya tak terdengar lagi? Aku tidak tahu. Blank. Rasanya seperti kiamat. "Mirah tolong kami, selamatkan ka---!"Ya Tuhan!Nyatanya ini bukan mimpi. Penculikan dan penyanderaan ini bukan cerita fiksi. Dari suaranya, Mama terdengar sangat ketakutan. Sialnya, laki-laki asing yang dekilnya maksimal itu justru mematikan telepon. Aku jelas kehilangan harapan besar untuk segera tahu di mana keberadaan mereka. Tadi, sekian detik yang lalu, jangankan bertanya sedangkan masih bisa bernafas secara sadar saja sudah luar biasa. Ini, masalah ini, jauh lebih besar dari pada banjir rob tujuh lautan sekaligus. Sungguh."Hahahaha, hahahaha …!" tanpa perasaan sedikit pun laki-laki jahta itu malah tertawa terpingkal-pingkal, terjun
Aku tidak tahu harus semakin sedih atau sedikit bahagia. Tepat di saat si Laki-laki asing membelokkan mobilnya ke jalan kecil, Mommy menelepon. Jelas aku memilih mengejar mobil sport putih itu tanpa sedikit pun niat untuk mengabaikannya. Ini super genting, telepon Mommy bisa nanti lagi."Anyelir, ini bukan jalan buntu, kan?" "Bukan deh, kayaknya, Mir. Aku belum pernah ke sini, sih, tapi kok kayaknya pelosok banget tempatnya?"Aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu dalam hati membenarkan ucapan Anyelir. Ini benar-benar daerah terpencil. Sebentar, sebentar. Aku mewajibkan diri mengaktifkan aplikasi peta dan kompas. Jangan sampai tersesat. Itu namanya tak beda jauh dengan menyerahkan diri kepada buaya kelaparan."Dayakan, Wonogiri …!" aku menunjuk ke smartphone, Anyelir melongok ke sana. "Gila, gila!""Banget!" timpal Anyelir sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Dia baru saja selesai memasang kutek. Aduh, mimpi apa ya aku dua malam yang lalu? Bisa-bisanya dipertemukan dengan Anyelir yang
Sudah. Aku sudah mengambil keputusan terbaik. Ya, mungkin akan ada hati yang terluka tetapi bagaimana lagi? Bahkan, jika kemungkinan itu adalah aku, aku rela. Terpenting Tulip - Olive, Mama dan semua orang yang aku sayangi selamat. Setelah aku pikir-pikir dalam hitungan sepuluh sampai satu, lebih baik mengalah. Toh, mengalah bukan berarti kalah, bukan?Jadi, di sinilah aku pagi ini, rumah tahanan. Selain menyerahkan Mas Arfen kepadanya, Mourin juga tak mau Mas Arfen tahu kalau ini adalah sebuah paksaan. Jika tidak, sampai kapan pun juga, takkan pernah mengembalikan Tulip - Olive. Dia bisa saja melepaskan Mama, Bella, Dinda, Brilliant dan Rafael tetapi tidak dengan Tulip - Olive. Bayangkanlah!Itu, kalau seperti yang Mourin perbuat itu lebih kejam dari bajak laut tidak, sih? Merampok suami orang! "Hai, Sayang?" Mas Arfen duduk menjajariku sementara itu petugas memeriksa kantong belanjaan yang kuletakkan di meja dengan sigap dan teliti. "Hai, Mas." setabah mungkin aku membalas sapaan
Dengan sesungging senyum tulus, Anyelir meletakkan satu per satu steak yang dia pesan untuk kami makan malam di meja. Bella terlihat kurang bersemangat sejak tadi tetapi akhirnya makan juga. Sesekali mengalihkan pandangan kepadaku, mengungkapkan kesedihan. Sejujur-jujurnya, kalau menuruti kata hati, aku juga tak mau makan malam hari ini. Mungkin sampai besok. Lusa, minggu depan atau bahkan bulan depan tetapi selalu, Tulip - Olive yang membuat bersemangat. Mereka masih menyusu. Jadi, aku harus tetap makan dengan teratur dan sehat. "Kamu mau milkshake yang apa, Mir, vanilla atau coklat?" Anyelir memberiku satu pilihan sambil menuangkan milkshake-milkshake favorit kami ke dalam gelas kaca. "Bella yang vanilla, kan?" Bella mengangguk mantap. "Yups, aku kan, bayi Mama forever. Kalau mimik susu nggak boleh yang cokelat. Biar tetap gimbul-gimbul menggemaskan.""Oke." Anyelir menyahut singkat, lalu menuangkan milkshake bagian Bella. "Selamat menikmati.""Makasih, Anyelir." kami menjawab h
Time flies so fast! Tahu-tahu sudah hari Kamis. Hari H-1 pernikahan Mas Arfen dengan Mourin. Ingin sekali rasanya berteriak sekuat-kuatnya sampai seluruh perasaan menjadi lega, tetapi sayang, ini bukan pantai. Ini Rumah Cinta dan aku tak mau mengisinya dengan teriakan, jeritan, tangisan, kemarahan atau apa pun itu yang bersifat negatif. Aku, sudah berkomitmen untuk mengisi Rumah Cinta ini dengan yang baik-baik. Menghiasi dengan senyum, keceriaan dan tawa riang. Jujur ya jujur, masih tak percaya rasanya, seperti mimpi bahwa besok pagi jam sepuluh Mas Arfen akan melangsungkan pernikahan dengan Mourin. Akhirnya Mas Arfen tumbang juga, tak berdaya. Karena apa? Semenjak peristiwa terkunci di kamar mandi itu Mama jatuh sakit. Sekarang saja masih dirawat di hospital. Belum pernah sampai selama itu Mama dirawat, baru kali ini. Mungkin karena rasa takut yang terus-menerus mencekam. Nah, aku yakin, Mas Arfen sangat terpukul hingga akhirnya menyanggupi permintaanku. Tidak, aku tidak memberi t
Di hadapan Dinda, Anyelir dan 4 Little Stars, air mataku tumpah ruah dengan sendirinya. Rasanya hati ini sudah terhujam sejuta belati tajam, tertancap berjuta-juta anak panah, dirajam tiada henti. Oh, oh, bagaimanakah cara merawatnya? Tolong, tolong beri tahu sekarang juga, bagaimana cara mengikhlaskan Mas Arfen? Ikhlas itu apa?Aku, nyatanya, semakin kuat berusaha untuk ikhlas, semakin kuat pula rasa sakit di hati. Berdenyut-denyut pedih, tiada berkesudahan. Sungguh, tak pernah menyangka sedikit pun kalau Tuhan akan menuliskan alur cerita ini dalam hidupku. Alur cerita yang lebih dari meluluhlantakkan. Tak menampik, kata ikhlas itu tinggallah kata-kata kosong belaka.Oh, aku sungguh tiada berdaya! Membagi cinta bagai membelah jantung sendiri!"Mir, tenang, Mir!" Bella dan Anyelir merangkulku dari samping secara bersamaan. "Sabar, kuat. Aku tahu kok, kamu hebat!" lanjut Bella sambil menciumi pipiku yang basah oleh keringat san air mata. "Aku yakin, Tuhan akan selalu menuangkan kebaha
Seakan-akan telah ada yang mengatur semuanya, kami sama-sama menjenguk Mama di rumah sore ini. Mourin terlihat membeku di ruang tamu, sementara Mas Arfen kikuk luar biasa. Melihat semua itu, aku langsung mengajak Dinda dan si Twins menemui Mama di kamar. Mengabaikan sapaan Mas Arfen yang terdengar hambar."Eh, ada Non Mirah!" Mbak Sri menyambut kami dengan sikap hangat dan ramah yang khas di depan ruang keluarga. Bersyukur, dia masih mau kembali bekerja di rumah ini lagi, walaupun sempat dipecat oleh Mama tanpa alasan dulu itu. Ya, katanya sih, dia memang tak bisa begitu saja meninggalkan kami. "Non Tulip, Non Olive, sayangnya Mbak Sri.""Ya, Mbak Sri." sehangat mungkin aku menyapa balik. "Mama lagi apa, Mbak?" "Selesai mandi, Non. Mari saya antar, kalau mau jenguk Ibu?" Aku mengangguk, sambil menyimpulkan senyuman. Ini pertama kalinya aku menjenguk Mama sepulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Bukan apa-apa, Tulip - Olive demam, tidak mungkin memaksakan diri ke sini."Dinda,
Diam. Aku sama sekali tak menanggapi pertanyaan Mas Arfen. Memangnya penting sekali ya, kalau Mas Arfen tahu aku sebenarnya merindukan dia atau tidak? Berpengaruh apa kalau dia tahu tentang semua yang terjadi kepadaku? Tidak akan berpengaruh apa-apa, kan? "Sayang, kok malah diam gitu, sih?" Mas Arfen menggapai puncak kepalaku dengan bibirnya namun sayangnya, aku malah menjauh secara otomatis. "Lho, kenapa, Sayang?" Menggeleng. Itu yang kulakukan sebagai jawaban lalu menunduk sebagai bentuk kesempurnaan. Mas Arfen bukan orang yang mudah menyerah, aku tahu persis akan hal itu. Lihatlah, dia menggeser tubuh mendekat kepadaku. "Kamu marah sama aku, Sayang?" tanya Mas Arfen kemudian, sambil mendongakkan wajahku. "Maafkan aku ya, Sayang, kalau sudah buat kamu matahari? Emh, tapi kan, aku nikah sama Mourin karena kamu, Sayang?" Aku tahu. Tahu. Tahu. Tahu. "Sayang, please … Aku di sini kan, untuk menciptakan kebahagiaan bersama kamu, Sayang? Ya, masa, kamu malah begini? Aku kan, kangen b
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap