Diam. Aku sama sekali tak menanggapi pertanyaan Mas Arfen. Memangnya penting sekali ya, kalau Mas Arfen tahu aku sebenarnya merindukan dia atau tidak? Berpengaruh apa kalau dia tahu tentang semua yang terjadi kepadaku? Tidak akan berpengaruh apa-apa, kan? "Sayang, kok malah diam gitu, sih?" Mas Arfen menggapai puncak kepalaku dengan bibirnya namun sayangnya, aku malah menjauh secara otomatis. "Lho, kenapa, Sayang?" Menggeleng. Itu yang kulakukan sebagai jawaban lalu menunduk sebagai bentuk kesempurnaan. Mas Arfen bukan orang yang mudah menyerah, aku tahu persis akan hal itu. Lihatlah, dia menggeser tubuh mendekat kepadaku. "Kamu marah sama aku, Sayang?" tanya Mas Arfen kemudian, sambil mendongakkan wajahku. "Maafkan aku ya, Sayang, kalau sudah buat kamu matahari? Emh, tapi kan, aku nikah sama Mourin karena kamu, Sayang?" Aku tahu. Tahu. Tahu. Tahu. "Sayang, please … Aku di sini kan, untuk menciptakan kebahagiaan bersama kamu, Sayang? Ya, masa, kamu malah begini? Aku kan, kangen b
Mas Arfen belum bangun, saat Mourin meneleponku dan menanyakan kenapa dia tak pulang semalam, walaupun hanya sebentar. Dia juga setengah marah kepadaku. Menuduh bahwa akulah yang sudah menahan Mas Arfen. "Bukan begitu, Mourin. Mas Arfen memang nggak mau pulang." "Halah, kayak aku nggak tahu saja gimana kamu?" bantah Mourin dengan ketegasan super. "Kamu pasti bermanja-manja kan, sama Mas Arfen, nggak mau ditinggal? Oh, aku tahu, kamu pasti sudah gatal bangat ya, pingin dicelup?"Klik!Ha, apa?Oh, my God! Kata-kata macam apa itu, murahan sekali? Mourin pasti lupa, Bahasa menunjukkan Bangsa. Kata-kata adalah cerminan dari pemiliknya. Satu lagi, pasti dia tak paham tentang ilmu tuding menuding. Di mana satu jari terarah kepada orang lain, maka empat jari menunjuk kepada diri sendiri. So, untuk apa aku meladeninya? Buang-buang energi![Kamu takut ya, Mirah?] Namanya juga Mourin, bukannya malu atau bagaimana, dia malah menyerangku di chat room. Baik, baik. Cukup abaikan saja, tak perl
Dengan berat hati, akhirnya aku mengikuti perkataan Mas Arfen, memenuhi permintaan Mama. Anggap saja ini sebagai bonus karena Mas Arfen sudah baik budi, baik hati selama di rumah. Bonus juga untuk Mama karena---walaupun belum mencair di hadapan Mourin---tetapi setidaknya tidak menolak kehadirannya. Bukankah semua kebaikan pantas untuk mendapatkan apresiasi?"Kita mau ke pantai mana, Arfen?" penuh semangat petualang, Mama bertanya saat sudah duduk di mobil, di samping Mas Arfen. "Mirah, makasih ya, sudah ngajak Mama jalan-jalan?" "Ke pantai Parangtritis, Mama." Mas Arfen menjawab dengan suara standar untuk Mama. "Iya, sama-sama, Mama." kataku kemudian, sambil mengangsurkan ubi ungu rebus kepadanya. "Mirah juga senang kok, kita jalan-jalan bareng. Sekali-kali, Mama, buat refreshing. Mumpung Mas Arfen sempat juga. Dimakan, Mama, ubinya. Mama yang merebus tadi."Mama menerima kotak makan berisi ubi ungu rebus dariku, tertawa ringan tetapi lalu menangis, tidak tahu mengapa. Mungkin terh
Tidak. Aku tidak lantas tersanjung, walaupun Mas Arfen memuji sampai setinggi puncak langit. Bukan juga aku mau mengatakan kalau semua itu gombal. Tahu kan, maksudku? Mas Arfen pasti sedang dalam proyek mengambil hati terdalamku. Supaya aku tetap love, care dan asyik saat bermain di atas trampolin. Eh, maksudku, tempat tidur. Iya, kam? "Ah, kamu bisa saja, Mas?" akhirnya aku berkilah. "Perasaan aku biasa saja sih, Mas. Kamunya saja kali yang berlebihan. Mana ada di dunia ini manusia yang sempurna, Mas? No body is perfect!"Bukannya mundur atau bagaimana, Mas Arfen malah beringsut turun dari tempat tidur, berjalan mendekatiku. Saat ini mimik wajahnya terlihat seperti seseorang yang berada di bawah tekanan alias stressed. Kesedihan sangat kentara dalam sorot matanya. "Aku tahu, Sayang, tak ada kita yang sempurna. Emh, ya, sudah. Nggak perlu dibahas lagi, Sayang. Aku juga minta maaf ya, karena gagal mengendalikan Mourin tadi."Aku mengangguk mantap. Memejamkan mata rapat-rapat, menghela
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Mourin, tentu saja sudah menunggu di teras rumah sewaktu kami pulang. Jangan tanyakan lagi bagaimana ekspresi wajahnya. Lebih menyeramkan dari pada Vampire, percayalah! "Hai, Mourin, sudah lama?" Mas Arfen mengerling sayang kepadaku. "Maaf banget ya, kami ada acara mendadak tadi."Mourin semakin memberengut, membuang muka. Bersedekap, menggoyang-goyangkan kaki pertanda sudah tidak sabar lagi menunggu. "Ya sudah, Mas, kalau mau pulang sekarang?" aku menjauh dari Mas Arfen, berdiri di samping Mourin. "Emh, atau kalian mau masuk dulu sebentar? Aku bisa buatkan minuman hangat, mumpung tadi beli martabak te---""Oh, nggak. Terima kasih." Mourin menyambar tawaranku, mematah-matahkan sampai remuk. "Yuk, Mas, kita pulang? Aku sudah siapkan makan malam untuk kita di rumah. Sayang banget kan, kalau sampai terlewatkan begitu saja hanya gara-gara …?""Ya, sebentar ya, aku masuk dulu? Yuk, Sayang?" Mas Arfen menarik tanganku masuk ke ruang tamu. Sebenarnya tidak enak sekali dengan Mourin tetapi
Kami masih di supermarket sewaktu Mama menelepon minta ditemani minum teh. Sudah ada Mourin sih, tetapi nggak sreg, katanya. Terus terang inilah yang kadang-kadang aku pusingkan. Bukan berarti tidak senang hati menemani Mama atau bagaimana, lho. Ya, aku kan, harus mengurus rumah dan anak-anak juga? Bingung deh, dengan Mama! "Maaf, Mama, ini Mirah baru belanja kebutuhan bulanan di supermarket. Sebentar lagi pulang." aku memilih untuk berterus terang. Semenjak Mas Arfen menikah dengan Mourin satu bulan yang lalu, aku membuat resolusi menjadi menantu. Sedikit lucu sih, sebenarnya tetapi harus. Agar apa? Bisa tersenyum manis terus untuk orang-orang terdekat yang aki sayangi. "Mama mau dibelikan apa, Ma?""Oh, iya?" Mama terdengar senang lagi di sini. "Mau dong, Mirah, Mama dibelikan bakpia kukus isi kacang ijo, kacang merah sama keju. Emh, terus kalau kamu nggak repot banget, sekalian belikan Mama serabi, ya?"Waduh, semangat sekali Mama, manja sekali dengan menantu yang tak diharapkan i
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap