“Tunggu dulu!” Amber menghalangi Adam yang hendak membuka pintu. Sedetik kemudian, telunjuknya mengarah pada sweater yang menggulung di dada suaminya. “Betulkan dulu pakaianmu! Aku tidak mau si Rambut Mencolok itu memandangi otot-otot itu.” Sambil mendesah tak percaya, Adam mematuhi perintah sang istri. Begitu sweater terpasang sempurna di tubuhnya, ia merentangkan tangan. “Sekarang, apakah sudah boleh?” Tanpa terduga, Amber mengaitkan tangan pada sebelah lengannya. “Sudah.” Seraya tersenyum simpul, Adam pun membuka pintu. Dua detik kemudian, Ruby telah berdiri dengan tangan menggenggam ponsel di hadapan mereka. “Maaf mengganggu. Tapi, bolehkah aku meminta password wifi?” “Memangnya kau ingin menghubungi siapa? Bukankah kau tidak punya teman? Kau bahkan harus menumpang di rumah mantan karena tidak ada yang mau berbagi tempat tinggal denganmu,” balas Amber ketus. Melihat Adam tidak merespon apa-apa, Ruby tersenyum kecut. “Ada beberapa orang teman yang jarang kuhubungi. Kupikir,
“Keluar kau!” hardik Adam menggetarkan nyali Ruby. Baru kali ini sang pria berteriak sekencang itu tepat di depan mukanya. “Kau membentakku?” gumamnya kebingungan. Keringat dingin tanpa sadar mulai keluar dari pori-pori. “Aku sudah cukup sabar menghadapimu. Tapi kau masih saja berusaha merusak hubungan kami. Sekali lagi kau menghasut istriku, aku tidak akan segan menendangmu keluar dari pondok ini!” Dengan gerak cepat, Adam membuka pintu lebih lebar. Telunjuknya meruncing ke arah luar. “Sekarang juga, tinggalkan kami!” Ruby bergeming menatap sang mantan. Wajahnya memucat, sedangkan matanya memerah. Ia masih tidak percaya bahwa pria yang dulu selalu lembut kepadanya bisa bersikap sekasar itu. “Cepat!” Adam menggertak lebih kencang. Sambil menyeka air mata yang lolos dari batas, Ruby berlari keluar ruangan. Ia tidak tahu apakah rencananya berhasil atau tidak. Ia tidak peduli lagi dengan respon Amber. Hatinya terlampau perih mengetahui Adam sudah benar-benar berubah. Sementara
“Adam?” desah Ruby seolah terkejut. Tanpa menutupi satu pun bagian dari tubuhnya, ia berjalan mendekat. “Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku ingin ganti baju, tapi ternyata, pakaian dalamku terselip entah di mana.” “Kenapa kau tidak mencarinya dulu sebelum membuka baju? Kau sengaja ingin menggodaku, hmm?” bisik Adam penuh penekanan. Matanya melotot dan tangannya terkepal erat. Ia takut, dirinya lepas kendali melihat keindahan itu. “Oh, itu ....” Tiba-tiba saja, Ruby menggenggam tangan Adam dan memasang tampang memelas. “Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Ini musim dingin. Mana mungkin aku berlama-lama melepas pakaian?” Sambil mengalihkan pandangan, Adam menyentak tangannya lolos dari sang mantan. Ia benar-benar risih dengan kelakuan Ruby. “Apa pun rencanamu, kau tidak akan bisa menyingkirkan posisi Amber. Dan asal kau tahu, tubuhmu ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan istriku.” Sedetik kemudian, pria itu bergegas menuju dapur. Bisa gawat jika Amber tiba-tiba kelu
Melihat Adam sibuk memindahkan potongan kayu ke dalam tas, Ruby tanpa sadar melebarkan senyum. Ia tidak pernah menduga bahwa mantan kekasihnya bisa berubah sedrastis itu. Adam kini jauh lebih kekar dari Ed, jauh lebih dewasa, dan juga jauh lebih menggoda. Poin terakhir itu membuat Ruby tak segan mendekat dan menyentuh lengannya. “Apa kau butuh bantuan?” Adam spontan berbalik dan terbelalak. Ia tidak percaya bahwa sang mantan berani mengikutinya. “Ruby, apa yang kau lakukan di sini?” bisiknya seolah Amber berada di dekat mereka. “Aku merasa tidak berguna jika duduk diam saja. Jadi, bukankah lebih baik kalau aku membantumu?” Dengan santai, Ruby berjalan menuju tumpukan kayu. Namun, sebelum ia sempat menyentuh, Adam sudah lebih dulu menyentaknya mundur. “Cepat keluar dari sini! Aku tidak butuh bantuanmu. Amber bisa salah paham kalau melihatmu di sini bersamaku, sekalipun niatmu memang membantu.” Alih-alih menanggapi, Ruby malah memperhatikan tangan yang masih menggenggam lengan
“Ini sungguh tidak adil,” desah Ruby sebelum tertunduk dan menggenggam kemarahan seerat-eratnya. “Aku selalu mencintai dengan tulus. Tapi mengapa kalian tidak pernah menghargaiku.” “Jangan memutarbalikkan fakta, Perempuan Gila. Kau tidak mencintai suamiku dengan tulus. Yang kau inginkan hanya perlindungan,” sanggah Amber diiringi tawa remeh. Tiba-tiba, Ruby kembali menegakkan kepala dan berteriak. “Diam! Kau tidak tahu apa-apa tentang kami!” “Kaulah yang tidak mengerti kebenaran. Kau mengatakan kalau aku hanyalah pelarian Adam. Padahal kenyataannya, kau sendiri yang berlari kepadanya untuk bersembunyi dari kenyataan.” Tangan Ruby sontak melayang menuju pipi Amber. Namun, sebelum jemari itu mendarat, Adam sudah lebih dulu menepisnya. Pria itu memang sudah bersiaga sejak awal. “Beraninya kau menyakiti istriku! Kau sudah melewati batas, Ruby. Sekarang juga, kemas semua barang-barangmu! Aku tidak bisa membiarkanmu tinggal di sini lagi.” “Tapi Adam—” “Sekarang!” sela sang pria den
Amber memeriksa tubuhnya sendiri dengan raut bingung. “Bukankah ini normal? Orang-orang sering demam saat menyambut musim semi.” “Ini masih musim dingin dan suhu belum naik. Kau pasti kelelahan karena Ruby. Sekarang juga, kau harus istirahat.” Adam membantu sang istri berdiri dan memandunya berjalan menuju kamar. “Aku hanya demam, Jewel. Kenapa kau memperlakukanku seperti nenek berusia 90 tahun?” “Jangan banyak protes! Beristirahat saja di kamar. Aku akan membawakanmu teh hangat dan apel. Kau harus segera mengisi tenaga.” Mendapat perhatian sebesar itu, Amber pun mengulum senyum. Sambil memeluk sang suami, ia menyandarkan kepala di pundak bidangnya. “Kau tidak perlu membawakan itu. Cukup temani aku saja. Aku pasti langsung sembuh.” “Tidak. Kau butuh teh hangat dan apel. Aku akan menemanimu setelah menyiapkannya.” Begitu pintu ditutup, mata Ruby perlahan membuka. Setelah menoleh ke arah kamar si tuan rumah, ia mendengus kesal. “Aku hampir saja mati. Tapi, kenapa malah perempuan
“Apa itu?” tanya Adam dengan alis berkerut. Sebelum kecurigaan sang pria membeludak, Ruby cepat-cepat menjawab. “Bukankah ini minuman favoritmu? Aku mencoba mengikuti resep dari internet. Kuharap rasanya sama dengan yang diseduh oleh istrimu.” Sama sekali tidak ada beban dari nada bicara Ruby. Namun, hal itu belum cukup untuk meyakinkan Adam. Pria itu masih bergeming dengan tatapan terkunci pada uap tipis yang timbul dari permukaan teh. “Kenapa kau diam saja? Apakah kau keberatan meminumnya? Kau mengira aku tega memasukkan racun ke dalam sini?” tanya Ruby dengan nada kecewa. Keputusasaan kembali mewarnai wajahnya. Khawatir jika sang mantan bertindak nekat lagi, Adam cepat-cepat mengambil cangkir itu. “Tidak, aku hanya ... senang karena kau sudah berniat baik untuk memperbaiki hubungan denganku dan Amber.” Si perempuan pucat sontak melengkungkan bibir lebih lebar. “Kalau begitu, cepat diminum. Teh itu tidak akan terasa nikmat kalau sudah dingin.” Sembari mendesah samar, Adam m
"Amber, tolong keluar sebentar! Kita harus bicara." Mendengar seruan dari luar pintu itu, Amber pun terbelalak. Dengan penuh tanya, ia mengamati mata suaminya. "Ruby mencariku? Bukan mencarimu? Apa yang dia inginkan?" Alis Adam mulai berkerut tak senang. Kekhawatiran telah menambah gerah tubuhnya. Ia yakin, mantan kekasihnya itu masih mengenakan pakaian tipis tadi. Pertengkaran pasti akan terjadi jika sampai Amber melihatnya. "Abaikan saja. Dia pasti sengaja ingin mengganggu kita," gumam Adam sebelum menyunggingkan senyum dan membelai lembut wajah istrinya. Namun, tepat ketika ia hendak merapat, suara ketukan kembali mencuri perhatian. "Amber, apa kau tidak dengar? Kita harus bicara. Ada yang perlu kau ketahui tentang Adam." Keresahan sang pria tidak bisa lagi diredam. Sembari menggertakkan geraham, ia meraih ponsel dan memasang lagu dengan volume maksimal. "Kau sungguh tidak ingin diganggu, rupanya," ujar Amber yang terbaca lewat gerak mulut. "Ya, aku ingin melahapmu sekar