Bab 1.
"Kamu ..., apa yang kau lakukan di sini???"
Aku berseru kaget, saat melihat sosok pria di hadapanku.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Alex, kekasihku. Kepadaku, MC jelas-jelas menyatakan bahwa mempelai priaku telah menanti, tetapi, Alex tidak ada di panggung. Justru, saudara sepupunya lah yang berdiri dengan angkuh di sana.
"Di mana Alex?" tanyaku lagi ketika menyadari kealpaan calon suamiku.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ballroom, tetapi Alex sama sekali tak nampak batang hidungnya. Tiba-tiba aku mendapat firasat buruk akan hal ini.
Lalu dengan air muka datar, pria angkuh itu melangkah mendekatiku. Aroma maskulin yang memikat semerbak di udara.
"Kau mencari suamimu, Theodora?” ucapnya dengan wajah yang sinis. “Perkenalkan, Xander—Alexander Noah Smith, suamimu" lanjutnya dengan yakin.
"Apa???"
Ini pasti penipuan. Nama mereka memang sama, Alexander, tetapi calon suamiku bukanlah Alexander yang ini.
"Kau pasti bergurau, Xander.” Aku tertawa kosong. “Tolong, seriuslah! Aku hargai upayamu, tetapi ini tidak lucu," ujarku lagi setelah mampu menguasai diri. Ini sungguh di luar skenario.
Pria berjas hitam itu terkekeh. Sesaat ia memunggungiku, dan mengambil sesuatu dari atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri.
Xander mengacungkan secarik kertas yang diambilnya tadi ke hadapanku. "Kau tak bisa mengelak, Theodora. Kau sendiri telah setuju untuk menikah denganku," katanya arogan.
Mataku membulat, ketika melihat kertas yang diacungkan olehnya. Itu adalah dokumen pendaftaran pernikahan yang kutandatangani kemarin.
Dengan cepat kurebut kertas tadi. Gigiku gemeretak ketika melihat nama sang mempelai pria: Alexander Noah Smith, seperti kata Xander, bukan Alexander Noel Smith, nama panjang kekasihku.
Astaga! Hanya beda di nama tengahnya dan aku gagal memperhatikannya?
"Robek saja sesuka hatimu, Theodora," celetuknya sewaktu aku hendak mengoyak kertas tersebut. "Dokumen aslinya tersimpan dengan aman, kau tak perlu khawatir, istriku sayang."
"Aaarrkkkh! Xander ... kauu!!!" geramku penuh kemarahan sekaligus penyesalan.
Bisa-bisanya aku ditipu? Bahkan kekasihku turut serta dalam konspirasi ini.
Baru bulan lalu Alex memperkenalkan Xander sebagai kakak sepupunya. Tak dinyana, hari ini ia muncul sebagai mempelai pengganti kekasihku yang tak bertanggung jawab itu.
"Mengapa kau begitu ngotot untuk menikah denganku, Xander? Aku adalah kekasih sepupumu sendiri," kecamku tak terima.
"Very simple, Theodora! Aku harus mendapatkan pembayaran yang selayaknya kuterima," jawabnya kalem.
"Pembayaran? Apa maksudmu?" cicitku semakin tak paham.
Tanpa banyak kata Xander menyodorkan sebuah alat perekam audio, dan memainkannya.
"Dora!" Satu suara menyapa telingaku ... suara Alex. "Aku bisa membayangkan betapa cantiknya kamu hari ini."
Kata-kata Alex selanjutnya sudah bisa kutebak. Ia meminta maaf karena tak bisa memenuhi janjinya untuk menikah denganku. Alasannya sungguh memuakkan.
Alex telah menjual pernikahan kami kepada sepupunya, Xander, demi melunasi utangnya yang bertumpuk hingga ke langit, akibat kecanduan judi online, dan terlibat pinjol. Nyawanya hampir melayang di tangan para penagih utang, bila saja Xander tak menyelamatkannya.
"Alex yang berutang, mengapa aku yang jadi tumbal?" desisku putus asa.
Xander mengangkat bahu. "Itu bukan urusanku. Aku hanya berbaik hati membantu saudara sepupuku. Orang tuamu pun sudah setuju," sahutnya acuh tak acuh.
"Orang tuaku???" Sulit sekali aku mempercayai pendengaranku sendiri.
Kulirik ayah ibuku yang duduk di kursi tamu barisan depan. Di wajah mereka sama sekali tak tersirat kekagetan seperti yang kualami. Ayah memandangku sembari tersenyum lemah, sedangkan Ibu melirikku tajam.
Ah, benar! Mereka memang kurang menyukai Alex yang belum mandiri, sedangkan ibuku menyukai uang, sudah pasti ia menerima Xander yang mapan dan kaya raya, ketimbang Alex yang pengangguran, dan memiliki banyak utang.
"Theodora!" Xander memanggilku, kini ia meraih tanganku, dan menggenggamnya erat. Pria licik itu mengedikkan kepalanya sebagai tanda ia tak mau menunda lebih lama lagi.
Tanpa daya maupun perlawanan, aku mengikuti basa-basi pernikahan itu. Pun ketika kami saling memasangkan cincin, seperti robot aku melakukannya.
Namun, semua tak lagi sama ketika Xander menciumku.
"Mengapa mukamu memerah, Theodora? Mencium seorang perempuan bukanlah perkara sulit bagiku, bahkan rasanya tak jauh beda seperti saat aku mencium kucingku," bisiknya di telingaku.
"Kamu!!!" desisku sambil melotot, tak mampu membalas kata-katanya. Xander tersenyum manis dengan sorot mata meremehkan.
Bisa-bisanya ia berkata bahwa menciumku hanyalah seperti mencium seekor kucing? Hah! Padahal jantungku berdebar tak karuan, Xander malah tak merasakan apapun.
Aku sungguh membenci pria ini. Namun resepsi pernikahan kami terus berlanjut, dan berbagai hidangan disajikan untuk para tamu yang hadir. Lalu pesta dansa pun dimulai.
"Ada apa dengan matamu, Theodora? Lebarkanlah sedikit lagi, dan bola matamu yang indah itu akan terlepas dari rongganya," ejek Xander dengan begitu fasih, sembari memeluk pinggangku dengan posesif.
"Justru aku yang ingin bertanya, mengapa kau terus memandangku seperti itu," timpalku berterus terang.
Xander terkekeh. Masih dengan lihai ia memimpin kami di atas lantai dansa. Seharusnya kuinjak saja kakinya, tetapi ia terlalu mahir, dan membuatku terbuai dalam tariannya.
"Lalu bagaimana? Haruskah aku memandang wanita lain?” godanya dengan mata menyipit. “Aku pria berprinsip, Theodora. Mataku hanya tertuju kepada istriku," jawabnya dengan suara yang begitu manis.
Matanya tak henti menatapku mesra. Orang yang melihat pasti salah paham, dan berpikir bahwa kami adalah pasangan yang sedang dimabuk asmara. Sandiwara yang sempurna!
Setengah hati kulanjutkan dansa kami tanpa kata, dan berharap aku bisa segera lepas dari pelukan Xander. Beruntung, musik pertama berakhir, dan kulihat kedua orang tuaku yang sedang berdansa tak jauh dari kami.
"Sorry, aku mau berdansa dengan ayahku," lontarku cepat, dan melepaskan diri dari pelukan Xander. Ibu sedikit kaget, tetapi segera kuberi kode agar ia berdansa dengan menantu kaya raya kesayangannya.
Benar saja, ibuku langsung cekikikan, sewaktu Xander mengulurkan tangannya untuk meminta ibuku berdansa dengannya.
Kuraih tangan ayahku, dan kulemparkan senyuman kepadanya. Ia membalasnya dengan hangat.
"Hai, Ayah!" Aku bergerak seiras langkah kakinya.
"Theodora, selamat atas pernikahanmu, Nak. Ayah berdoa untuk kebahagiaanmu," ucap ayahku tulus.
"Ayah yakin aku akan bahagia?" tanyaku sedikit sinis.
Ayah tersenyum tenang. "Yakinlah, Nak, semua yang Ayah dan Ibu lakukan adalah untuk kebaikanmu," jawabnya tanpa banyak penjelasan.
Hah! Bisa-bisa Ayah berucap seperti itu? Aku tak henti menggerutu dalam hati. Ini tak bisa dibiarkan.
Otakku mulai sibuk membuat rencana darurat. Selama beberapa saat aku berdansa dengan Ayah, dan bergerak semakin menjauh dari panggung. Sekilas kulihat orang-orang sedang sibuk berdansa, atau menikmati hidangan yang tersaji.
Lalu kesempatan itu datang ... sekarang atau tidak sama sekali!
"Ayah, jaga dirimu baik-baik. Aku menyayangimu," ujarku sembari memeluk dan mencium pipi ayahku.
Sebelum Ayah merespons, aku melepaskan diri, dan berlari sekencang mungkin ke arah pintu keluar. Tak sia-sia aku pernah menjadi juara lari jarak pendek di kampus dahulu, jarak belasan meter pun bisa kujangkau dalam beberapa detik. Bahkan gaun panjangku tak menghalangi langkahku.
"Hey!"
"Theodora!"
Kudengar teriakan orang-orang yang terlambat bereaksi. Aku menertawakan mereka, dan berlari semakin jauh.
Seakan semesta mendukung, sewaktu aku mencapai area luar gedung, kulihat sebuah mobil bergerak lambat ke arahku. Bisa kulihat sosok yang mengemudikannya terbengong-bengong.
"Stop!" teriakku sambil merentangkan kedua lenganku. Mobil itu berhenti disertai suara rem yang cukup keras.
Tak membuang waktu, aku segera masuk dan duduk di kursi penumpang di sampingnya. Dengan suara penuh kepuasan, aku berseru lantang, "Tancap gas sekarang juga!!!"
Halo, pembaca! Selamat datang di buku keempat saya. Mohon dukungan dengan ulasan dan sumbangan gem-nya, ya., biar author tambah semangat. Terima kasih ^^
"Kamu pikir kamu hebat, Theodora?Apa yang kaulakukan ini sia-sia saja. Jika Xander mau, ia bisa dengan mudah menemukanmu, dan kau bisa bayangkan hal buruk apa yang bisa ia lakukan terhadapmu."Ucapan pedas itu terlontar dari seorang wanita muda yang di duduk di hadapan. Dialah Judith, sahabat sekaligus sosok yang membawaku lari dari pesta pernikahan sialan itu.Berkat bantuannya aku bisa bersembunyi di rumah mendiang neneknya di luar kota, yang kuyakin tak diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku."Jud, bagaimana bisa kau malah membela Xander ketimbang sahabatmu sendiri? Kau tidak lihat berita di televisi itu? Xander patut mendapatkannya, setelah apa yang dilakukannya kepadaku," gerutuku sedikit sewot.Padahal aku sedang tertawa puas, karena kekacauan di pesta pernikahan terkutuk itu. Xander pasti malu, sebab ada banyak kenalan dan rekan bisnisnya yang melihat. Bahkan para wartawan telah menjadikannya berita heboh di televisi maupun portal berita online. Aku sungguh puas, eh, Judi
"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku."Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan."Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya."Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!"
"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya."Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik."Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga."Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk
"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ....""Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.Waduh!Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu."Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istr
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan
Xander tak setengah-setengah dalam melaksanakan niatya untuk menjagaku. Ia memasang CCTV di sekeliling rumah, juga menambahkan lebih banyak kamera di area perkebunan."Xander, apakah ini tidak sedikit berlebihan?" Keheranan kupandang para pekerja yang memasang kamera pemantau itu. "Mata-mata Mr. Foster telah ditangkap, dan dikembalikan ke bosnya, yang masih tersisa di sini hanyalah para pekerja setia yang telah menunjukkan dedikasi mereka ke perusahaan.""Sedia payung sebelum hujan." Acuh tak acuh Xander menjawab sembari mengarahkan para tukang. Pria tampan itu menunjukkan sikap keras kepalanya.Tak hanya sampai di situ. Xander juga merenovasi satu ruangan yang selama ini kosong menjadi ruang kerja."Mulai sekarang aku akan WHF, memantau perusahaan dari sini. Selama Papa sakit kemarin ia juga melakukan hal serupa," ungkapnya taktis, khas sang businessman handal."Bagaimana dengan perkebunan?" tanyaku sangsi."Sesekali aku masih bisa menengok, toh ada Charles dan mandor lainnya." Elah,
"Kamu serius bertanya kepadaku, Xander?" Kutatap Xander tepat di mata, mencari tahu jika ucapannya hanyalah basa-basi."Apakah aku terlihat sedang bercanda?" Ia bertanya balik. Raut wajahnya tenang, tak sedikit pun menyiratkan kesembronoan.Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Xander serius, sungguh tak terduga. "Jadi ...?" tanyaku lagi, bukan karena tak mengerti, tapi lebih tepatnya untuk mengetahui jawaban macam apa yang Xander harapkan dariku.Pria itu mengangkat bahu. "Simple saja, James memang menaruh dendam kepadaku, tapi kamu adalah korbannya secara langsung, objek yang tak seharusnya menderita."Dalam kasus bisnis ataupun kasus hukum secara umum Xander akan langsung membuat tindakan tegas. Akan tetapi kasus ini pengecualian. Bagi Xander pendapatku akan menjadi bahan pertimbangan utama."Apapun keputusanmu aku akan mengikutinya. Katakan saja kalau kau ingin mereka dibebaskan," tandas Xander tanpa mengurangi keseriusan, hingga aku makin terpana dibuatnya.Dengan niat final dari Xa
Bayanganku ketika pulang adalah segera berendam air hangat, makan kenyang, lalu tidur nyenyak di tempat tidurku yang nyaman. Tak hanya kurang makan, aku juga kurang tidur.Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, bila pikiranku dipenuhi kecemasan?Namun, keinginanku tak berjalan sesuai angan-angan. Sesampainya di rumah aku disambut layaknya tawanan perang yang kembali ke tanah air."Theodora sayang, syukurlah kau sudah kembali. Aduh, bagaimana ini, kamu jadi kurus sekali? Kau harus segera makan." Ibu mertuaku menyerocos tanpa jeda sembari memeriksa kondisiku dari atas hingga bawah.Berulang-ulang ia mengucap syukur, sebab aku bisa kembali dalam kondisi selamat, dan tak lupa merutuki Mr. Foster yang telah menculikku. Omelannya terdengar lucu.Setidaknya ia mengkhawatirkanku, dan segera bergegas datang bersama ayah mertuaku ke rumah kami begitu mendengar berita kepulanganku."Kau sudah mandi, 'kan? Ayo cepat makan sup ini," desaknya sembari mendorongku pelan agar duduk di kursi."Iya, Ma." Aku
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar, sebab kamar yang kutempati berada di lantai atas paling pojok. Hanya saja aku mulai gelisah ketika waktu makan siang tiba, dan tak ada orang yang mengantarkan makanan untukku.Sejak hamil aku lebih cepat merasa lapar, mungkin karena aku harus memberi makan dua orang. Sepertinya Baby Hope hobi makan juga seperti kedua orang tuanya."Brak!" Suara pintu yang didorong dengan keras membuatku kaget. Aku ketakutan dan mengira itu adalah Mr. James yang mengamuk. Namun, sosok yang berdiri di pintu membuat mulutku ternganga, dan dadaku bergejolak."Thea!" panggilnya dengan suara bergetar. Dalam sekejap ia berlari ke arahku, dan memelukku begitu erat."Xander." Untuk kali pertama nama itu kuucapkan dengan penuh rasa syukur dan kelegaan mendalam. Akhirnya suamiku datang untuk membebaskanku."Bagaimana ini? Kau jadi begitu kurus. Apakah mereka tidak memberimu makan?" Dipegangnya kedua pipiku, diperiksanya diriku dari atas hingga bawah. Sorot matanya pen
"Duduklah, Theodora. Mengapa kau tak makan? Anakmu pasti lapar sekarang." Ah, wanita ini mengetahui namaku.Perlahan ia menuangkan air ke gelas kosong yang telah disiapkan. Makanan yang dibawanya berupa dua bungkus sandwich yang cukup besar, dan beberapa buah jeruk. Hanya ada sebotol air minum disertai satu cangkir porselain.Tak ada sendok, garpu, apalagi pisau. Rupanya mereka waspada, kalau-kalau aku melakukan tindakan yang membahayakan. Mereka pikir aku ini siapa? Wonder woman? Atau Charlie's angel? Hah!Dengan enggan aku mengambil tempat duduk di seberangnya. "Tolong katakan saja sekarang, siapa kalian sebenarnya dan apa maksud kalian mengurungku di sini," ucapku setenang mungkin, meskipun hatiku kecut.Aku tak bermaksud untuk menunjukkan perlawanan, sebab orang yang kuhadapi, sepertinya, bukan penjahat keji. Siapa tahu mereka bisa diajak kompromi, dan mau membebaskanku.Aku bukannya tak lapar, malahan sangat lapar, tetapi aku tak bisa tenang sebelum mengetahui permasalahan yang te
"Baby Hope benar-benar membawa harapan bagi kedua orang tuanya, tak ada yang menduga kehidupan kalian bisa seindah sekarang," komentar Judith atas masa bahagia yang kualami dalam pernikahanku saat ini.Benar, aku tengah merasakan sukacita tak terkira bukan hanya karena anugerah kehidupan yang tengah bertumbuh di dalam perutku, tapi juga limpahan perhatian dari orang-orang yang menyayangiku.Susu hamil, sayuran, buah, telur, daging, ikan, dan segala bahan makanan segar yang bisa didapatkan di sini selalu tersedia. Tak ketinggalan juga kue, kukis, keripik, dan camilan yang bisa kumakan secara bersahaja.Sangat menyenangkan, apalagi setelah tiga bulan pertama terlewati aku merasa sangat sehat, dan tak lagi mual-mual.Masalah yang semula membuat runyam satu perusahaan kini telah terselesaikan dengan baik. Rencana untuk membuka pasar saham pun terlaksana tanpa kendala. Alhasil, ada banyak tambahan tenaga profesional yang mengelola perusahaan, Xander bisa kembali ke perkebunan, dan secara ot
"Sungguh tak kusangka, hamil akan begitu menyenangkan: dapat banyak hadiah dari mertua, dimanja suami, semua keinginan dituruti, dimasakin, ditemani jalan-jalan tiap pagi, ditemani ke dokter ....""Ah, kau 'kan cuma melihat enaknya saja, tak tahu sulitnya hamil di trimester pertama, dan tak merasakannya sendiri," sanggahku cepat. Kupukul manja lengan orang yang menganggap kehamilanku ini enteng.Dialah kakak kandungku, Theodore. Setelah sekian bulan sejak hari pernikahanku aku berjumpa dengannya lagi. Ia melakukan kunjungan singkat, katanya mumpung dirinya tengah menengok orang tua kami di kota sebelah.Kami melepas rindu, duduk sambil mengobrol di tempat favoritku, di mana lagi kalau bukan balkon rumah. Xander bahkan memberi kami kesempatan untuk berdua saja."Begitukah?" Theo meluruskan punggung, dan sikapnya yang santai berubah serius. "Katakanlah kepada kakakmu ini, bila suamimu itu tak mampu membuatmu bahagia."Dengan gaya bak seorang preman, Theo menelengkan kepalanya, dan merema
"Adakah yang tidak beres di perusahaan, Xander?" Hati-hati aku bertanya kepada suamiku yang masih duduk dengan raut muka super serius.Semenjak kami sepakat untuk berdamai demi calon bayi kami, Xander lebih terbuka tentang masalah yang tengah dihadapi perusahaan keluarga Smith. Itulah sebabnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun aku tak bisa membantu setidaknya aku bisa mendengarkan keluh kesahnya.Namun, ternyata aku tak perlu khawatir lebih lanjut. Xander tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Pasti mukaku kelihatan serius sehingga kamu khawatir. Maafkan aku, Thea. Justru sekarang keadaan tengah membaik di perusahaan."Xander menuturkan bahwa orang yang selama ini mengkhianati mereka dengan membocorkan tender sudah ketahuan identitasnya. Sedikit mengecewakan karena pengkhianat tersebut adalah Helen Moss, salah satu sekretaris, orang yang sudah lama bergabung dengan perusahaan, dan menjadi orang kepercayaan ayah mertuaku.Katanya ia terlilit utang, dan didekati oleh salah