"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ...."
"Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.
Waduh!
Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?
"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.
Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu.
"Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."
Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.
Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istrinya yang badung.
"Jadi, bagaimana, Theodora? Kamu sanggup? Sanggup dong, kamu mencintai Xander 'kan, sayang?" Wanita berambut cokelat itu tersenyum lembut. Sorot matanya menunggu dengan penuh harap. Ia belum menyerah.
Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Yah, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin tetap bungkam, bila terus didesak seperti ini. Justru semakin cepat masalah ini dibicarakan dengan mereka akan semakin baik.
"Soal itu ...," ucapku hati-hati. Kulirik Xander yang juga tengah menatapku penuh antisipasi. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepercayaannya.
Kumantapkan hatiku untuk memberikan jawaban sebijaksana mungkin, tanpa perlu berdusta ataupun menyakiti pihak manapun.
"Kami baru memulainya, Ma, bahkan persiapannya begitu mendadak. Jadi ... biarkan kami menjalaninya mengalir apa adanya," jawabku diplomatis.
Kuhembuskan napas perlahan, sembari menilai suasana di sekitarku. Walaupun aku tak mampu mengiyakan permintaan ibu mertuaku, setidaknya jawabanku masih positif.
Xander dan kedua orang tuanya tak melepaskan pandangan mereka dariku sedari tadi. Bisa kulihat sekilas suamiku mengangguk puas, sementara reaksi dari mertuaku masih tertahan.
Hatiku sangat lega tatkala kulihat senyuman hangat mengembang di bibir ibu mertuaku. "Baiklah, Mama serahkan kebahagiaan Xander ke tanganmu, menantuku sayang," katanya dengan wajah berseri-seri.
Aku meringis tanpa bisa berkata iya atau tidak. Diriku sendiri saja masih belum yakin apakah hidupku akan bahagia bersamanya, eh, aku malah diminta untuk membahagiakan suami gadunganku.
"Mamaku tersayang," Xander kembali buka suara. "Mama tidak perlu khawatir. Kami berdua pasti bahagia, karena aku akan membahagiakan istriku. Dan kebahagiaan Theodora adalah kebahagiaanku."
Xander mengatakannya sembari melemparkan senyuman serta tatapan yang begitu mesra kepadaku, hingga jantungku mulai berdesir aneh.
"Lihatlah, honey. Theodora, tersipu malu," celetuk ayah mertuaku tiba-tiba. Sedari tadi pria itu hanya diam dan mengamati, tetapi sekali ia berucap dampaknya nggak kira-kira.
"Benar, honey," kekeh sang istri penuh semangat.
Waduh! Bahaya! Aku jadi salah tingkah dan mengipasi wajahku yang tiba-tiba panas.
"Oh, ya. Kamu adik Theodore bukan?" Ibu mertuaku tiba-tiba menyebutkan kakak lelakiku.
"Benar, Ma."
"Bagaimana kabarnya? Sekarang tinggal di mana dia?" tanyanya lagi penuh minat.
Kututurkan bahwa kakakku, Theodore, telah menikah, dan tinggal di kota lain bersama istri dan anaknya. Selama beberapa saat kami berbicara tentang kakakku.
Memang sebenarnya Xander bukanlah orang yang sama sekali asing. Jauh sebelum aku mengenalnya sebagai sepupu Alex, kami pernah bertemu di masa lalu. Ia adalah teman kakakku semasa kuliah dulu.
Kala itu aku diam-diam menyukainya, tetapi sebelum ada kemajuan apapun pria itu menghilang. Dan perjumpaan kami kembali sebulan lalu cukup mengagetkan, apalagi penampilan Xander sekarang sangat berbeda dari saat kuliah dulu.
"Mama dengar, kalian pernah naksir-naksiran, ya, bahkan Xander itu cinta pertamamu. Betul begitu, sayang?" Suara ibu mertuaku menyadarkanku dari lamunan.
Mataku seketika melotot sempurna, akibat ucapan tak terduga itu. Gawat! Mengapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul?
"Eh, itu ... anu ... ahahahaha." Aku gelagapan, dan tak sanggup membentuk kalimatku, hingga akhirnya aku hanya bisa tertawa canggung.
Ibu Xander semakin bersemangat menggodaku, sedangkan Xander menatapku dengan senyuman misterius yang membuatku semakin salah tingkah.
Putus asa karena terpojok dan bahkan untuk menjerit pun aku tak bisa, tanganku secara spontan bergerak ke bawah meja dan mencubit paha Xander sebagai pelampiasan.
Ini benar-benar berbeda dari janjinya tadi, katanya ia akan membelaku, tetapi sekarang Xander malah ikut merundung istrinya sendiri?
"Theodora!" Pria itu meringis kesakitan, tetapi matanya berkilat kesenangan, hingga aku gemas dan mengulangi cubitan itu sekali lagi.
"Sekarang mereka malah cubit-cubitan di bawah meja," seru ibu mertuaku bersemangat. Wanita itu bertepuk tangan heboh, hingga orang-orang memandang kami.
Waduh! Situasi malah semakin gawat. Malu-malu kutarik tanganku, tapi tangan Xander bergerak lebih cepat dan berhasil menggenggamnya.
Aku memprotes dengan mataku, tetapi pria itu malah tersenyum culas.
"Mama, Theodora ini love language-nya memang physical touch seperti ini, Ma, sedikit menganiaya, tapi menggoda. Mama sudah lihat sendiri 'kan tadi siang. Tenang saja, Ma, sebelum pahaku membiru, hatiku sudah lebih dahulu mengharu biru."
Apa lagi ini? Ucapan pria ini membuat emosiku campur aduk hingga aku speechless.
Ibu mertuaku terkekeh. "Kalau kamu sendiri, apa love language-mu, Nak?"
"Aku, Ma? Sudah jelas dong ... membalas love language istriku dengan lebih mesra," jawabnya kalem.
Lantas tanpa aba-aba Xander menarik tanganku agar mendekat ke bibirnya, dan mendaratkan satu kecupan di sana.
Tidak! Kutarik paksa tanganku, kali ini Xander tak menahannya lebih lama. Segera kututupi mukaku, bisa kurasakan permukaannya yang memanas. Hukuman macam inikah yang Xander maksudkan?
"Kalian berdua lucu sekali, sih? Di depan kami saja kalian bisa semesra ini, apalagi saat kalian hanya berdua ...."
'Oh, tidaaaak!' jeritku dalam hati. Saat ini aku berharap bisa menjadi kapal Titanic, dan tenggelam di laut, agar tak perlu menunjukkan mukaku di hadapan mertuaku.
Kesal, malu, tak tahu harus bagaimana lagi. Setidaknya untuk malam ini akting mesra kami sudah lebih dari cukup, karena kedua orang tuanya sudah berhasil diyakinkan.
Satu hal yang jelas, aku memiliki mertua yang sangat baik, meskipun aku tak tahu berapa lama pernikahan ini akan bertahan.
"Terima kasih, sayang. Mama senang kamu menjadi menantu Mama. Kami berdoa untuk kebahagiaan kalian," pesan ibu mertuaku sebelum akhirnya kami berpisah karena malam semakin larut.
"Terima kasih, Ma," sahutku singkat sembari membalas pelukannya. Dalam hati aku bersyukur, mama mertuaku tak menyampaikan pesan agar kami cepat memiliki anak. Horor!
Setelah sampai di hotel, satu hal yang kupikirkan hanyalah segera tidur. Baru siang ini kami tiba di sini setelah melalui perjalanan selama berjam-jam, dan sama sekali belum beristirahat.
"Ah, capeknya," desahku sembari tersenyum ke arah ranjang nyaman yang telah dirapikan kembali oleh petugas hotel.
Sayangnya aku tak bisa segera menuntaskan kantukku. Sebelum aku mencapai ranjang, Xander telah terlebih dahulu melempar tubuhnya sendiri ke atas tempat tidur empuk itu.
Mataku melotot, senyumanku menghilang. Astaga! Aku nyaris lupa dengan permasalahan ranjang ini.
"Xander, tolong, aku tak ingin ribut. Biarkan aku tidur di ranjang malam ini, aku sangat lelah," ucapku antara memohon dan memaksa.
Namun, pria itu tak berniat untuk berpindah tempat.
Dengan tatapan mesra dan suara yang begitu dalam, pria itu berkata kepadaku, "Kenapa, Theodora? Kau bisa menyerangku lagi, kok. Ayolah, kita lanjutkan yang tadi siang, sampai tuntas."
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan
Xander tak setengah-setengah dalam melaksanakan niatya untuk menjagaku. Ia memasang CCTV di sekeliling rumah, juga menambahkan lebih banyak kamera di area perkebunan."Xander, apakah ini tidak sedikit berlebihan?" Keheranan kupandang para pekerja yang memasang kamera pemantau itu. "Mata-mata Mr. Foster telah ditangkap, dan dikembalikan ke bosnya, yang masih tersisa di sini hanyalah para pekerja setia yang telah menunjukkan dedikasi mereka ke perusahaan.""Sedia payung sebelum hujan." Acuh tak acuh Xander menjawab sembari mengarahkan para tukang. Pria tampan itu menunjukkan sikap keras kepalanya.Tak hanya sampai di situ. Xander juga merenovasi satu ruangan yang selama ini kosong menjadi ruang kerja."Mulai sekarang aku akan WHF, memantau perusahaan dari sini. Selama Papa sakit kemarin ia juga melakukan hal serupa," ungkapnya taktis, khas sang businessman handal."Bagaimana dengan perkebunan?" tanyaku sangsi."Sesekali aku masih bisa menengok, toh ada Charles dan mandor lainnya." Elah,
"Kamu serius bertanya kepadaku, Xander?" Kutatap Xander tepat di mata, mencari tahu jika ucapannya hanyalah basa-basi."Apakah aku terlihat sedang bercanda?" Ia bertanya balik. Raut wajahnya tenang, tak sedikit pun menyiratkan kesembronoan.Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Xander serius, sungguh tak terduga. "Jadi ...?" tanyaku lagi, bukan karena tak mengerti, tapi lebih tepatnya untuk mengetahui jawaban macam apa yang Xander harapkan dariku.Pria itu mengangkat bahu. "Simple saja, James memang menaruh dendam kepadaku, tapi kamu adalah korbannya secara langsung, objek yang tak seharusnya menderita."Dalam kasus bisnis ataupun kasus hukum secara umum Xander akan langsung membuat tindakan tegas. Akan tetapi kasus ini pengecualian. Bagi Xander pendapatku akan menjadi bahan pertimbangan utama."Apapun keputusanmu aku akan mengikutinya. Katakan saja kalau kau ingin mereka dibebaskan," tandas Xander tanpa mengurangi keseriusan, hingga aku makin terpana dibuatnya.Dengan niat final dari Xa
Bayanganku ketika pulang adalah segera berendam air hangat, makan kenyang, lalu tidur nyenyak di tempat tidurku yang nyaman. Tak hanya kurang makan, aku juga kurang tidur.Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, bila pikiranku dipenuhi kecemasan?Namun, keinginanku tak berjalan sesuai angan-angan. Sesampainya di rumah aku disambut layaknya tawanan perang yang kembali ke tanah air."Theodora sayang, syukurlah kau sudah kembali. Aduh, bagaimana ini, kamu jadi kurus sekali? Kau harus segera makan." Ibu mertuaku menyerocos tanpa jeda sembari memeriksa kondisiku dari atas hingga bawah.Berulang-ulang ia mengucap syukur, sebab aku bisa kembali dalam kondisi selamat, dan tak lupa merutuki Mr. Foster yang telah menculikku. Omelannya terdengar lucu.Setidaknya ia mengkhawatirkanku, dan segera bergegas datang bersama ayah mertuaku ke rumah kami begitu mendengar berita kepulanganku."Kau sudah mandi, 'kan? Ayo cepat makan sup ini," desaknya sembari mendorongku pelan agar duduk di kursi."Iya, Ma." Aku
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar, sebab kamar yang kutempati berada di lantai atas paling pojok. Hanya saja aku mulai gelisah ketika waktu makan siang tiba, dan tak ada orang yang mengantarkan makanan untukku.Sejak hamil aku lebih cepat merasa lapar, mungkin karena aku harus memberi makan dua orang. Sepertinya Baby Hope hobi makan juga seperti kedua orang tuanya."Brak!" Suara pintu yang didorong dengan keras membuatku kaget. Aku ketakutan dan mengira itu adalah Mr. James yang mengamuk. Namun, sosok yang berdiri di pintu membuat mulutku ternganga, dan dadaku bergejolak."Thea!" panggilnya dengan suara bergetar. Dalam sekejap ia berlari ke arahku, dan memelukku begitu erat."Xander." Untuk kali pertama nama itu kuucapkan dengan penuh rasa syukur dan kelegaan mendalam. Akhirnya suamiku datang untuk membebaskanku."Bagaimana ini? Kau jadi begitu kurus. Apakah mereka tidak memberimu makan?" Dipegangnya kedua pipiku, diperiksanya diriku dari atas hingga bawah. Sorot matanya pen
"Duduklah, Theodora. Mengapa kau tak makan? Anakmu pasti lapar sekarang." Ah, wanita ini mengetahui namaku.Perlahan ia menuangkan air ke gelas kosong yang telah disiapkan. Makanan yang dibawanya berupa dua bungkus sandwich yang cukup besar, dan beberapa buah jeruk. Hanya ada sebotol air minum disertai satu cangkir porselain.Tak ada sendok, garpu, apalagi pisau. Rupanya mereka waspada, kalau-kalau aku melakukan tindakan yang membahayakan. Mereka pikir aku ini siapa? Wonder woman? Atau Charlie's angel? Hah!Dengan enggan aku mengambil tempat duduk di seberangnya. "Tolong katakan saja sekarang, siapa kalian sebenarnya dan apa maksud kalian mengurungku di sini," ucapku setenang mungkin, meskipun hatiku kecut.Aku tak bermaksud untuk menunjukkan perlawanan, sebab orang yang kuhadapi, sepertinya, bukan penjahat keji. Siapa tahu mereka bisa diajak kompromi, dan mau membebaskanku.Aku bukannya tak lapar, malahan sangat lapar, tetapi aku tak bisa tenang sebelum mengetahui permasalahan yang te
"Baby Hope benar-benar membawa harapan bagi kedua orang tuanya, tak ada yang menduga kehidupan kalian bisa seindah sekarang," komentar Judith atas masa bahagia yang kualami dalam pernikahanku saat ini.Benar, aku tengah merasakan sukacita tak terkira bukan hanya karena anugerah kehidupan yang tengah bertumbuh di dalam perutku, tapi juga limpahan perhatian dari orang-orang yang menyayangiku.Susu hamil, sayuran, buah, telur, daging, ikan, dan segala bahan makanan segar yang bisa didapatkan di sini selalu tersedia. Tak ketinggalan juga kue, kukis, keripik, dan camilan yang bisa kumakan secara bersahaja.Sangat menyenangkan, apalagi setelah tiga bulan pertama terlewati aku merasa sangat sehat, dan tak lagi mual-mual.Masalah yang semula membuat runyam satu perusahaan kini telah terselesaikan dengan baik. Rencana untuk membuka pasar saham pun terlaksana tanpa kendala. Alhasil, ada banyak tambahan tenaga profesional yang mengelola perusahaan, Xander bisa kembali ke perkebunan, dan secara ot
"Sungguh tak kusangka, hamil akan begitu menyenangkan: dapat banyak hadiah dari mertua, dimanja suami, semua keinginan dituruti, dimasakin, ditemani jalan-jalan tiap pagi, ditemani ke dokter ....""Ah, kau 'kan cuma melihat enaknya saja, tak tahu sulitnya hamil di trimester pertama, dan tak merasakannya sendiri," sanggahku cepat. Kupukul manja lengan orang yang menganggap kehamilanku ini enteng.Dialah kakak kandungku, Theodore. Setelah sekian bulan sejak hari pernikahanku aku berjumpa dengannya lagi. Ia melakukan kunjungan singkat, katanya mumpung dirinya tengah menengok orang tua kami di kota sebelah.Kami melepas rindu, duduk sambil mengobrol di tempat favoritku, di mana lagi kalau bukan balkon rumah. Xander bahkan memberi kami kesempatan untuk berdua saja."Begitukah?" Theo meluruskan punggung, dan sikapnya yang santai berubah serius. "Katakanlah kepada kakakmu ini, bila suamimu itu tak mampu membuatmu bahagia."Dengan gaya bak seorang preman, Theo menelengkan kepalanya, dan merema
"Adakah yang tidak beres di perusahaan, Xander?" Hati-hati aku bertanya kepada suamiku yang masih duduk dengan raut muka super serius.Semenjak kami sepakat untuk berdamai demi calon bayi kami, Xander lebih terbuka tentang masalah yang tengah dihadapi perusahaan keluarga Smith. Itulah sebabnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun aku tak bisa membantu setidaknya aku bisa mendengarkan keluh kesahnya.Namun, ternyata aku tak perlu khawatir lebih lanjut. Xander tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Pasti mukaku kelihatan serius sehingga kamu khawatir. Maafkan aku, Thea. Justru sekarang keadaan tengah membaik di perusahaan."Xander menuturkan bahwa orang yang selama ini mengkhianati mereka dengan membocorkan tender sudah ketahuan identitasnya. Sedikit mengecewakan karena pengkhianat tersebut adalah Helen Moss, salah satu sekretaris, orang yang sudah lama bergabung dengan perusahaan, dan menjadi orang kepercayaan ayah mertuaku.Katanya ia terlilit utang, dan didekati oleh salah