"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ...."
"Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.
Waduh!
Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?
"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.
Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu.
"Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."
Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.
Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istrinya yang badung.
"Jadi, bagaimana, Theodora? Kamu sanggup? Sanggup dong, kamu mencintai Xander 'kan, sayang?" Wanita berambut cokelat itu tersenyum lembut. Sorot matanya menunggu dengan penuh harap. Ia belum menyerah.
Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Yah, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin tetap bungkam, bila terus didesak seperti ini. Justru semakin cepat masalah ini dibicarakan dengan mereka akan semakin baik.
"Soal itu ...," ucapku hati-hati. Kulirik Xander yang juga tengah menatapku penuh antisipasi. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepercayaannya.
Kumantapkan hatiku untuk memberikan jawaban sebijaksana mungkin, tanpa perlu berdusta ataupun menyakiti pihak manapun.
"Kami baru memulainya, Ma, bahkan persiapannya begitu mendadak. Jadi ... biarkan kami menjalaninya mengalir apa adanya," jawabku diplomatis.
Kuhembuskan napas perlahan, sembari menilai suasana di sekitarku. Walaupun aku tak mampu mengiyakan permintaan ibu mertuaku, setidaknya jawabanku masih positif.
Xander dan kedua orang tuanya tak melepaskan pandangan mereka dariku sedari tadi. Bisa kulihat sekilas suamiku mengangguk puas, sementara reaksi dari mertuaku masih tertahan.
Hatiku sangat lega tatkala kulihat senyuman hangat mengembang di bibir ibu mertuaku. "Baiklah, Mama serahkan kebahagiaan Xander ke tanganmu, menantuku sayang," katanya dengan wajah berseri-seri.
Aku meringis tanpa bisa berkata iya atau tidak. Diriku sendiri saja masih belum yakin apakah hidupku akan bahagia bersamanya, eh, aku malah diminta untuk membahagiakan suami gadunganku.
"Mamaku tersayang," Xander kembali buka suara. "Mama tidak perlu khawatir. Kami berdua pasti bahagia, karena aku akan membahagiakan istriku. Dan kebahagiaan Theodora adalah kebahagiaanku."
Xander mengatakannya sembari melemparkan senyuman serta tatapan yang begitu mesra kepadaku, hingga jantungku mulai berdesir aneh.
"Lihatlah, honey. Theodora, tersipu malu," celetuk ayah mertuaku tiba-tiba. Sedari tadi pria itu hanya diam dan mengamati, tetapi sekali ia berucap dampaknya nggak kira-kira.
"Benar, honey," kekeh sang istri penuh semangat.
Waduh! Bahaya! Aku jadi salah tingkah dan mengipasi wajahku yang tiba-tiba panas.
"Oh, ya. Kamu adik Theodore bukan?" Ibu mertuaku tiba-tiba menyebutkan kakak lelakiku.
"Benar, Ma."
"Bagaimana kabarnya? Sekarang tinggal di mana dia?" tanyanya lagi penuh minat.
Kututurkan bahwa kakakku, Theodore, telah menikah, dan tinggal di kota lain bersama istri dan anaknya. Selama beberapa saat kami berbicara tentang kakakku.
Memang sebenarnya Xander bukanlah orang yang sama sekali asing. Jauh sebelum aku mengenalnya sebagai sepupu Alex, kami pernah bertemu di masa lalu. Ia adalah teman kakakku semasa kuliah dulu.
Kala itu aku diam-diam menyukainya, tetapi sebelum ada kemajuan apapun pria itu menghilang. Dan perjumpaan kami kembali sebulan lalu cukup mengagetkan, apalagi penampilan Xander sekarang sangat berbeda dari saat kuliah dulu.
"Mama dengar, kalian pernah naksir-naksiran, ya, bahkan Xander itu cinta pertamamu. Betul begitu, sayang?" Suara ibu mertuaku menyadarkanku dari lamunan.
Mataku seketika melotot sempurna, akibat ucapan tak terduga itu. Gawat! Mengapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul?
"Eh, itu ... anu ... ahahahaha." Aku gelagapan, dan tak sanggup membentuk kalimatku, hingga akhirnya aku hanya bisa tertawa canggung.
Ibu Xander semakin bersemangat menggodaku, sedangkan Xander menatapku dengan senyuman misterius yang membuatku semakin salah tingkah.
Putus asa karena terpojok dan bahkan untuk menjerit pun aku tak bisa, tanganku secara spontan bergerak ke bawah meja dan mencubit paha Xander sebagai pelampiasan.
Ini benar-benar berbeda dari janjinya tadi, katanya ia akan membelaku, tetapi sekarang Xander malah ikut merundung istrinya sendiri?
"Theodora!" Pria itu meringis kesakitan, tetapi matanya berkilat kesenangan, hingga aku gemas dan mengulangi cubitan itu sekali lagi.
"Sekarang mereka malah cubit-cubitan di bawah meja," seru ibu mertuaku bersemangat. Wanita itu bertepuk tangan heboh, hingga orang-orang memandang kami.
Waduh! Situasi malah semakin gawat. Malu-malu kutarik tanganku, tapi tangan Xander bergerak lebih cepat dan berhasil menggenggamnya.
Aku memprotes dengan mataku, tetapi pria itu malah tersenyum culas.
"Mama, Theodora ini love language-nya memang physical touch seperti ini, Ma, sedikit menganiaya, tapi menggoda. Mama sudah lihat sendiri 'kan tadi siang. Tenang saja, Ma, sebelum pahaku membiru, hatiku sudah lebih dahulu mengharu biru."
Apa lagi ini? Ucapan pria ini membuat emosiku campur aduk hingga aku speechless.
Ibu mertuaku terkekeh. "Kalau kamu sendiri, apa love language-mu, Nak?"
"Aku, Ma? Sudah jelas dong ... membalas love language istriku dengan lebih mesra," jawabnya kalem.
Lantas tanpa aba-aba Xander menarik tanganku agar mendekat ke bibirnya, dan mendaratkan satu kecupan di sana.
Tidak! Kutarik paksa tanganku, kali ini Xander tak menahannya lebih lama. Segera kututupi mukaku, bisa kurasakan permukaannya yang memanas. Hukuman macam inikah yang Xander maksudkan?
"Kalian berdua lucu sekali, sih? Di depan kami saja kalian bisa semesra ini, apalagi saat kalian hanya berdua ...."
'Oh, tidaaaak!' jeritku dalam hati. Saat ini aku berharap bisa menjadi kapal Titanic, dan tenggelam di laut, agar tak perlu menunjukkan mukaku di hadapan mertuaku.
Kesal, malu, tak tahu harus bagaimana lagi. Setidaknya untuk malam ini akting mesra kami sudah lebih dari cukup, karena kedua orang tuanya sudah berhasil diyakinkan.
Satu hal yang jelas, aku memiliki mertua yang sangat baik, meskipun aku tak tahu berapa lama pernikahan ini akan bertahan.
"Terima kasih, sayang. Mama senang kamu menjadi menantu Mama. Kami berdoa untuk kebahagiaan kalian," pesan ibu mertuaku sebelum akhirnya kami berpisah karena malam semakin larut.
"Terima kasih, Ma," sahutku singkat sembari membalas pelukannya. Dalam hati aku bersyukur, mama mertuaku tak menyampaikan pesan agar kami cepat memiliki anak. Horor!
Setelah sampai di hotel, satu hal yang kupikirkan hanyalah segera tidur. Baru siang ini kami tiba di sini setelah melalui perjalanan selama berjam-jam, dan sama sekali belum beristirahat.
"Ah, capeknya," desahku sembari tersenyum ke arah ranjang nyaman yang telah dirapikan kembali oleh petugas hotel.
Sayangnya aku tak bisa segera menuntaskan kantukku. Sebelum aku mencapai ranjang, Xander telah terlebih dahulu melempar tubuhnya sendiri ke atas tempat tidur empuk itu.
Mataku melotot, senyumanku menghilang. Astaga! Aku nyaris lupa dengan permasalahan ranjang ini.
"Xander, tolong, aku tak ingin ribut. Biarkan aku tidur di ranjang malam ini, aku sangat lelah," ucapku antara memohon dan memaksa.
Namun, pria itu tak berniat untuk berpindah tempat.
Dengan tatapan mesra dan suara yang begitu dalam, pria itu berkata kepadaku, "Kenapa, Theodora? Kau bisa menyerangku lagi, kok. Ayolah, kita lanjutkan yang tadi siang, sampai tuntas."
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S
"Kemarin kau bilang Vanessa orangnya perhitungan, sekarang malah justru aku menyaksikan kakak lelaki Vanessa bersikap jauh lebih perhitungan. Benar-benar, ya, kakak adik sama saja!" Kulirik Xander dengan apa yang orang sebut sebagai bombastic side eye.Xander tertawa, lalu dengan liciknya menyahut, "Kalau kau tidak suka kita bisa langsung pulang -""Eh, jangan! Sudah sampai sini masa langsung pulang sih?" Sebelum didahului oleh suamiku yang selalu bertindak ala seorang gentleman, aku bergegas membuka pintu mobil, keluar, dan berjalan mendahuluinya ke rumah yang kami tuju sambil cengar-cengir.Lebih baik melarikan diri sebelum Xander menggangguku lebih lanjut, atau malah betulan membawa kami pergi dari tempat ini.Suamiku memang se-sweet itu sampai-sampai saat kami pergi berdua dirinya selalu membukakan serta menutupkan pintu mobil untukku. Di dalam rumah pun kadang ia masih membukakan pintu untukku, sampai aku memarahinya karena ia ingin membukakan pintu toilet juga sewaktu aku kebelet
"Memangnya apa lagi? Sudah jelas karena Xander adalah pria yang lebih baik dari Alex; tampan, kaya, mandiri, bertanggung jawab, dan yang pasti menyayangimu," cerocos ibuku. "Bahkan Ibu sudah melihat sendiri sekarang kau juga ....""Ibu, tolong!" Kuhardik ibuku dengan mata melotot, ia membalas dengan lirikan masam. Biar saja masam, yang penting Bu Agatha Wilson tak melanjutkan omong kosongnya itu."Ibu," panggilku lebih lembut, "aku tahu ibuku ini adalah wanita yang keras, galak, suka mengomel, atau apalah.""Enak saja kau menyebut Ibu seperti itu." Ibuku bersungut dengan bibir komat-kamit."Tapi aku tahu," potongku tak mengalah, "Ibu adalah ibu terbaik yang kumiliki, yang menyayangi serta mendidik anak-anak untuk menjadi orang yang jujur."Kuingatkan dirinya tentang nilai-nilai luhur yang selalu ia ajarkan kepadaku dan Theo agar tidak menyontek, tidak mengganggu teman, dan tidak berbohong."Iya, aku memang telah menikah dengan Xander, dan benar, kami telah menemukan kebahagiaan dalam
"Mengapa kita ke mari, Xander? Kau mau kita membeli oleh-oleh untuk Ayah Ibu? Atau ... membelikanku lebih banyak kukis dan kue?" Mataku berbinar senang sekaligus penasaran saat mendapati mobil yang membawa kami berdua berhenti di depan Whatever Bakery, toko kue dan kukis favoritku.Siang ini kami berencana mengunjungi orang tuaku di Hazelton. Selama ini kami berkomunikasi lewat telepon atau panggilan video. Sudah lama aku ingin menengok mereka, tetapi Xander baru sempat sekarang. Suamiku melarangku pergi sendirian, dengan dalih aku tengah hamil, makanya aku harus menunggu sampai Xander punya waktu untuk pergi."Dua-duanya boleh," sahut Xander sembari membukakan pintu mobil untukku."Terima kasih." Kubalas kebaikannya dengan senyuman manis. Bergandengan tangan kami berjalan menuju toko.Aroma kue yang menyenangkan menyapa penciuman kami begitu kami memasuki bangunan itu. Serta merta waitress yang bertugas menyambut kami dengan keramahan luar biasa. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Smith
"Awalnya aku tidak mau," ucapnya terus terang. Sebagai seorang pebisnis yang memiliki citra bersih, serta selalu bermain adil, Xander menolak tawaran untuk menikahi calon istri sang sepupu. Namun, pada akhirnya ia merasa kasihan kepadaku."Kasihan?" tanyaku sedikit bingung. "Jika kau merasa kasihan, harusnya kau tak perlu menikahiku. Lunasi saja utang Alex, lalu kau buat perhitungan dengannya, seumur hidup, bila perlu."Meskipun pada akhirnya pernikahan kami telah mencapai titik sepakat, dan kami bahagia bisa hidup bersama, kemungkinan semacam itu lebih masuk akal. Toh mereka masih kerabat, orang tua mereka pun bisa dilibatkan.Xander tersenyum sedih. "Masalahnya tak sesederhana itu, sayang." Dengan lembut dibelainya pipiku. "Aku juga menyarankan agar dirinya membatalkan pernikahan itu, tetapi Alex terus mendesakku untuk menikahimu. Ketika akhirnya sepupuku berhenti memaksa, ia mengatakan bahwa kalian akan tetap menikah seperti rencana semula."Xander panik, pendiriannya goyah. Ia tahu
"Xander, tak bisakah kau melihat perasaanku dari perhatian yang kuberikan kepadamu selama ini? Juga bagaimana wajahku tersipu-sipu karena rayuan gombalmu, tak bisakah kau lihat itu?" Mataku menatapnya dengan perasaan terluka yang kurekayasa agar terkesan dramatis.Namun, Xander menanggapinya dengan serius. Ia mendesah berat, seolah hidupnya penuh dengan masalah pelik. Aku jadi sedikit merasa bersalah, tapi lagi-lagi ia terlihat menggemaskan, sampai-sampai aku nyaris gagal berakting."Thea, bahkan seorang pria paling percaya diri sekalipun perlu diyakinkan bahwa wanita yang dicintainya memiliki perasaan yang sama. Kau sendiri sering menggerutu bahwa aku ini kurang peka," keluh Xander dengan wajah semakin murung.Oh, tidak! Ini terlalu lucu. Kami seakan mengulang percakapan beberapa menit lalu di saat Xander menanyakan perasaanku. Interaksinya mirip, hanya saja fakta bahwa Xander menyebutkan ketidakpekaan di pihaknya membuat keseriusan pembicaraan ini buyar."Ahahahaha!" Aku tertawa terb
"Begitu, begini! Kalau bicara tuh yang jelas, jangan membuat orang bingung dan menerka-nerka," gerutuku, melirik Xander dari ekor mataku.Walaupun masih menerka-nerka, aku bisa melihat arah omongannya itu; ke arah yang 'berbahaya' ..., berbahaya untuk jantungku.Xander meringis. "Ah, kau sungguh menggemaskan!" desahnya putus asa. "Kalau saja aku tak punya urusan penting siang ini, aku akan menyampaikannya sekarang. Namun, istriku kau harus bersabar, tunggu sore ini, aku akan memasak untukmu, kita bisa makan bersama, dan bicara lebih banyak.""Memasak?" Sontak aku berdiri. Kupandang Xander setengah tak percaya."Kenapa? Kau tak mau aku memasak untukmu?" Ia meraih tanganku."Bukan begitu, aku hanya bertanya apa kau sudah mampu melakukannya. Tangan kirimu memang handal, tapi kau butuh dua tangan untuk memasak."Di dunia nyata memang ada orang yang hanya memiliki satu lengan, dan bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan.Akan tetapi, kasus Xander jelas berbeda. Sepanjang hidupny
"Hari ini akan ada beberapa rapat yang harus kuikuti. Bila aku belum keluar saat makan siang, kau bisa makan duluan." Tergesa Xander membenahi penampilannya.Pagi itu suamiku mengatakan bahwa jadwal kerjanya cukup padat dari pagi hingga siang atau bahkan sore hari."Aku akan meminta Julia untuk menyiapkan makan siang untukmu, atau ....""Iya, iya. Aku sendiri yang akan mengurusnya nanti, kau tak perlu mengkhawatirkanku, fokus saja pada pekerjaanmu," sergahku sebelum Xander bersikap cerewet seperti ibuku.Kudorong punggungnya agar ia segera memasuki ruang kerjanya, lalu kututup pintunya.Aku tersenyum. Suamiku sedang sangat semangat bekerja, katanya ini demi masa depan anak kami. Selama ini ia memang sudah rajin bekerja, tetapi kali ini berbeda, sikapnya sungguh mencerminkan tanggung jawab sebagai seorang suami.Oleh sebab itu, sebagai istri yang baik aku berusaha menunjukkan dukungan sebisaku.Meskipun Xander telah mengatakan bahwa dirinya akan sibuk, dan tak bisa makan siang bersamaku
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan
Xander tak setengah-setengah dalam melaksanakan niatya untuk menjagaku. Ia memasang CCTV di sekeliling rumah, juga menambahkan lebih banyak kamera di area perkebunan."Xander, apakah ini tidak sedikit berlebihan?" Keheranan kupandang para pekerja yang memasang kamera pemantau itu. "Mata-mata Mr. Foster telah ditangkap, dan dikembalikan ke bosnya, yang masih tersisa di sini hanyalah para pekerja setia yang telah menunjukkan dedikasi mereka ke perusahaan.""Sedia payung sebelum hujan." Acuh tak acuh Xander menjawab sembari mengarahkan para tukang. Pria tampan itu menunjukkan sikap keras kepalanya.Tak hanya sampai di situ. Xander juga merenovasi satu ruangan yang selama ini kosong menjadi ruang kerja."Mulai sekarang aku akan WHF, memantau perusahaan dari sini. Selama Papa sakit kemarin ia juga melakukan hal serupa," ungkapnya taktis, khas sang businessman handal."Bagaimana dengan perkebunan?" tanyaku sangsi."Sesekali aku masih bisa menengok, toh ada Charles dan mandor lainnya." Elah,