Halo, pembaca! Simak dan dukung kisah Xander dan Theodora, ya. Tinggalkan komentar dan vote Anda. Terima kasih ^^
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S
"Selamat, Nyonya Xander! Anda telah memiliki saingan dalam merebut hati suami Anda! Hahaha." Judith tertawa mengejekku dengan begitu puasnya. Dua pekan semenjak pulang dari Makarelia, akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengan sahabatku ini, di tempat tinggalku yang baru pula. Bisa dibilang ia sangat pemberani. Xander bisa saja melakukan hal mengerikan, bila bertemu dengan perempuan yang sempat 'menculik' pengantinnya dulu. Syukurlah Xander tak bereaksi macam-macam saat bertemu Judith sebentar tadi pagi. Ini adalah kesempatanku untuk curhat sepuas-puasnya. "Nggak lah! Gabby bukan apa-apa, ia hanya gadis pekerja yang diam-diam menyukai atasannya. Xander tak memiliki rasa kepadanya," ujarku tanpa menunjukkan ekspresi apapun, padahal di dalam hati aku tidak senang mengetahui ada wanita lain yang terobsesi pada suamiku. "Maksudku bukan Gabby, Thea, tapi Bianca. Hahahahaha." Kali ini Judith tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar, dan perutnya sakit. "Ah, sialan kau!" Temanku
"Aku ... tidak tahu. Aku tidak paham dengan perasaanku sendiri, Jud. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu ..., maaf." Dengan lesu kutundukkan kepalaku.Urusan perasaan dan percintaan sebulan terakhir ini terasa terlalu rumit untukku. Dimulai dari plot twist di hari pernikahanku, dan berujung pada kebingungan tentang bagaimana aku bisa menempatkan hatiku dalam perkawinan di luar perkiraan ini.Dia bukan orang yang sama sekali asing, tetapi Xander bukan orang yang seharusnya kunikahi. Dan kini semua menjadi aneh, karena kepura-puraan di depan khalayak itu terasa alami bagiku."Hmm, berarti sudah jelas jawabannya. Kamu memang mencintai Xander." Judith berujar dengan nada suara yang begitu yakin, seolah tak terbantahkan.Kudongakkan kepala, dan kulihat senyuman penuh kepercayaan dirinya, mungkin lebih tepatnya senyuman sok tahu. Nah, mulai lagi si para-tidak-normal satu ini!"Apa maksudmu, Jud? Nggak bisa begitu dong! Bagaimana kamu bisa menyimpulkannya semudah itu, sementara aku sendiri yan
"Jangan underestimate terhadap Elowen, ya! Meskipun lebih banyak area pedesaan di sini, orang-orangnya tidak udik, tahu," ucapku sewot, setengah bercanda menanggapi ucapan Judith."Ceileh! Yang sudah jadi nyonya di Elowen nih, ye, siap pasang badan ngebelain." Ledekan Judith belum berhenti. Perempuan itu cengar-cengir seperti tapir.Eh, tapir bisa cengar-cengir kah?"Jelas dong! Katanya don't judge the book by its cover, so kalau kamu belum benar-benar mengenal Elowen, jangan menilai hanya dari penampilannya yang sederhana ini," imbuhku yakin."Ampun deh! Baiklah, Bu Xander yang telah menjadi duta pariwisata Elowen.""Apaan sih?""Hahaha."Baik aku maupun Judith memang tinggal di Hazelton, sebuah kota yang cukup modern. Semenjak kecil kami terbiasa dengan suasana kota yang ramai, dan menikmati kemudahan hidup di sana."Jadi apa yang spesial di Elowen, khususnya di tempat ini, yang membuatmu betah? Selain karena ada Xander tentunya. Hihi," tanya Judith dengan bumbu kepo yang sedikit kur
"Enak saja! Buat apa?!""Eh, kok kamu tahu sih?"Setengah tak percaya kutolehkan kepala ke samping, dan menatap Judith dengan mulut menganga. Demi menjaga harga diri, aku menyangkal tuduhan Xander, eh, di saat bersamaan Judith malah sebegitu gampangnya mengiyakannya sambil bersikap centil.Dia ini benar-benar kawan yang tidak setia kawan.Tak dinyana, sedang seru-serunya kami membicarakan Xander, eh, objek yang kami omongin malah muncul. Inilah satu alasan mengapa kita tidak boleh membicarakan orang lain di belakangnya, ya, pembaca!"Eh ..., maksudku ... hehe ... itu ...." Terbata-bata sambil garuk-garuk kepala, Judith mencoba menganulir ucapannya."Kalian sudah makan? Sepertinya belum." Dengan sikap yang sangat santai Xander mengambil air mineral dan meminumnya. Gibahan kami tadi seakan telah dilupakannya.Di hari Sabtu Xander hanya bekerja setengah hari, jadi ia bisa pulang relatif siang. Peluh membasahi baju yang dikenakannya, anehnya di mataku dia terlihat seksi.Entah CEO macam ap
"Wuah! Ayam, sosis, daging, sayuran, jagung, cumi, udang! Aku sangat bahagia hari ini!!!"Judith berteriak kegirangan sambil menari-nari sewaktu menyaksikan berlimpah hidangan yang tengah disiapkan oleh orang-orang di rumah besar sore ini. Bahkan daftar makanan yang disebutkannya baru mencakup setengahnya, masih banyak yang lain.Sebagai nyonya rumah, istri dari bos perkebunan, aku juga tak mengetahuinya, dan dibuat terperangah dengan berbagai macam makanan yang tersaji.Ini bahkan lebih hebat daripada saat mereka membuat pesta penyambutan untukku, seakan mereka menjamu Judith sebagai seseorang yang sangat penting ... ah, mereka pasti tak tahu bahwa perempuan ini hanyalah 'penculik' mempelai wanita bos mereka."Makanlah sepuasmu, sayang. Jangan khawatirkan apapun, stok makanan sore ini cukup untuk mematahkan kaki meja," ujar Julia mempersilakan Judith untuk tidak menahan diri."Oh, Julia! Terima kasih!" Judith memeluk Julia dengan begitu erat hingga wanita itu kesulitan bernapas.Ada b
"Sakit! Aku nggak mau pulang." Penampilan kusut nan menyedihkan disertai rintih kesakitan menjadi senjata Judith untuk menolak pulang ke rumah orang tuanya malam itu.Air mata buaya! Hhh, tapi mau bagaimana lagi, ia terlihat kesakitan, dan keringat dingin membanjiri dahinya. Setelah meminum ramuan dari Julia, Judith meringkuk dan menolak untuk membuka matanya barang sekejap."Biarkan saja dia tidur di sini malam ini," saran Julia yang setia memantau keadaan Judith. Pun Rafael masih ikut menunggu.Kupandang Xander meminta pertimbangan, sekaligus izin yang diperlukan agar sahabatku diperbolehkan bermalam di sini. Bagaimanapun ini adalah rumahnya.Suamiku mengangguk setuju. "Hubungi saja orang tua Judith agar mereka tak cemas menanti," sarannya, yang segera kulakukan."Halo, Mrs. Kelly!" sapaku begitu panggilan suaraku dijawab."Hai, Theodora sayang! Apa kabar?" Respons hangat dari ibu Judith membawa kami ke obrolan pembuka yang menyenangkan.Seperti anak perempuannya, Mrs. Kelly berpemb
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan
Xander tak setengah-setengah dalam melaksanakan niatya untuk menjagaku. Ia memasang CCTV di sekeliling rumah, juga menambahkan lebih banyak kamera di area perkebunan."Xander, apakah ini tidak sedikit berlebihan?" Keheranan kupandang para pekerja yang memasang kamera pemantau itu. "Mata-mata Mr. Foster telah ditangkap, dan dikembalikan ke bosnya, yang masih tersisa di sini hanyalah para pekerja setia yang telah menunjukkan dedikasi mereka ke perusahaan.""Sedia payung sebelum hujan." Acuh tak acuh Xander menjawab sembari mengarahkan para tukang. Pria tampan itu menunjukkan sikap keras kepalanya.Tak hanya sampai di situ. Xander juga merenovasi satu ruangan yang selama ini kosong menjadi ruang kerja."Mulai sekarang aku akan WHF, memantau perusahaan dari sini. Selama Papa sakit kemarin ia juga melakukan hal serupa," ungkapnya taktis, khas sang businessman handal."Bagaimana dengan perkebunan?" tanyaku sangsi."Sesekali aku masih bisa menengok, toh ada Charles dan mandor lainnya." Elah,
"Kamu serius bertanya kepadaku, Xander?" Kutatap Xander tepat di mata, mencari tahu jika ucapannya hanyalah basa-basi."Apakah aku terlihat sedang bercanda?" Ia bertanya balik. Raut wajahnya tenang, tak sedikit pun menyiratkan kesembronoan.Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Xander serius, sungguh tak terduga. "Jadi ...?" tanyaku lagi, bukan karena tak mengerti, tapi lebih tepatnya untuk mengetahui jawaban macam apa yang Xander harapkan dariku.Pria itu mengangkat bahu. "Simple saja, James memang menaruh dendam kepadaku, tapi kamu adalah korbannya secara langsung, objek yang tak seharusnya menderita."Dalam kasus bisnis ataupun kasus hukum secara umum Xander akan langsung membuat tindakan tegas. Akan tetapi kasus ini pengecualian. Bagi Xander pendapatku akan menjadi bahan pertimbangan utama."Apapun keputusanmu aku akan mengikutinya. Katakan saja kalau kau ingin mereka dibebaskan," tandas Xander tanpa mengurangi keseriusan, hingga aku makin terpana dibuatnya.Dengan niat final dari Xa
Bayanganku ketika pulang adalah segera berendam air hangat, makan kenyang, lalu tidur nyenyak di tempat tidurku yang nyaman. Tak hanya kurang makan, aku juga kurang tidur.Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, bila pikiranku dipenuhi kecemasan?Namun, keinginanku tak berjalan sesuai angan-angan. Sesampainya di rumah aku disambut layaknya tawanan perang yang kembali ke tanah air."Theodora sayang, syukurlah kau sudah kembali. Aduh, bagaimana ini, kamu jadi kurus sekali? Kau harus segera makan." Ibu mertuaku menyerocos tanpa jeda sembari memeriksa kondisiku dari atas hingga bawah.Berulang-ulang ia mengucap syukur, sebab aku bisa kembali dalam kondisi selamat, dan tak lupa merutuki Mr. Foster yang telah menculikku. Omelannya terdengar lucu.Setidaknya ia mengkhawatirkanku, dan segera bergegas datang bersama ayah mertuaku ke rumah kami begitu mendengar berita kepulanganku."Kau sudah mandi, 'kan? Ayo cepat makan sup ini," desaknya sembari mendorongku pelan agar duduk di kursi."Iya, Ma." Aku
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar, sebab kamar yang kutempati berada di lantai atas paling pojok. Hanya saja aku mulai gelisah ketika waktu makan siang tiba, dan tak ada orang yang mengantarkan makanan untukku.Sejak hamil aku lebih cepat merasa lapar, mungkin karena aku harus memberi makan dua orang. Sepertinya Baby Hope hobi makan juga seperti kedua orang tuanya."Brak!" Suara pintu yang didorong dengan keras membuatku kaget. Aku ketakutan dan mengira itu adalah Mr. James yang mengamuk. Namun, sosok yang berdiri di pintu membuat mulutku ternganga, dan dadaku bergejolak."Thea!" panggilnya dengan suara bergetar. Dalam sekejap ia berlari ke arahku, dan memelukku begitu erat."Xander." Untuk kali pertama nama itu kuucapkan dengan penuh rasa syukur dan kelegaan mendalam. Akhirnya suamiku datang untuk membebaskanku."Bagaimana ini? Kau jadi begitu kurus. Apakah mereka tidak memberimu makan?" Dipegangnya kedua pipiku, diperiksanya diriku dari atas hingga bawah. Sorot matanya pen
"Duduklah, Theodora. Mengapa kau tak makan? Anakmu pasti lapar sekarang." Ah, wanita ini mengetahui namaku.Perlahan ia menuangkan air ke gelas kosong yang telah disiapkan. Makanan yang dibawanya berupa dua bungkus sandwich yang cukup besar, dan beberapa buah jeruk. Hanya ada sebotol air minum disertai satu cangkir porselain.Tak ada sendok, garpu, apalagi pisau. Rupanya mereka waspada, kalau-kalau aku melakukan tindakan yang membahayakan. Mereka pikir aku ini siapa? Wonder woman? Atau Charlie's angel? Hah!Dengan enggan aku mengambil tempat duduk di seberangnya. "Tolong katakan saja sekarang, siapa kalian sebenarnya dan apa maksud kalian mengurungku di sini," ucapku setenang mungkin, meskipun hatiku kecut.Aku tak bermaksud untuk menunjukkan perlawanan, sebab orang yang kuhadapi, sepertinya, bukan penjahat keji. Siapa tahu mereka bisa diajak kompromi, dan mau membebaskanku.Aku bukannya tak lapar, malahan sangat lapar, tetapi aku tak bisa tenang sebelum mengetahui permasalahan yang te
"Baby Hope benar-benar membawa harapan bagi kedua orang tuanya, tak ada yang menduga kehidupan kalian bisa seindah sekarang," komentar Judith atas masa bahagia yang kualami dalam pernikahanku saat ini.Benar, aku tengah merasakan sukacita tak terkira bukan hanya karena anugerah kehidupan yang tengah bertumbuh di dalam perutku, tapi juga limpahan perhatian dari orang-orang yang menyayangiku.Susu hamil, sayuran, buah, telur, daging, ikan, dan segala bahan makanan segar yang bisa didapatkan di sini selalu tersedia. Tak ketinggalan juga kue, kukis, keripik, dan camilan yang bisa kumakan secara bersahaja.Sangat menyenangkan, apalagi setelah tiga bulan pertama terlewati aku merasa sangat sehat, dan tak lagi mual-mual.Masalah yang semula membuat runyam satu perusahaan kini telah terselesaikan dengan baik. Rencana untuk membuka pasar saham pun terlaksana tanpa kendala. Alhasil, ada banyak tambahan tenaga profesional yang mengelola perusahaan, Xander bisa kembali ke perkebunan, dan secara ot
"Sungguh tak kusangka, hamil akan begitu menyenangkan: dapat banyak hadiah dari mertua, dimanja suami, semua keinginan dituruti, dimasakin, ditemani jalan-jalan tiap pagi, ditemani ke dokter ....""Ah, kau 'kan cuma melihat enaknya saja, tak tahu sulitnya hamil di trimester pertama, dan tak merasakannya sendiri," sanggahku cepat. Kupukul manja lengan orang yang menganggap kehamilanku ini enteng.Dialah kakak kandungku, Theodore. Setelah sekian bulan sejak hari pernikahanku aku berjumpa dengannya lagi. Ia melakukan kunjungan singkat, katanya mumpung dirinya tengah menengok orang tua kami di kota sebelah.Kami melepas rindu, duduk sambil mengobrol di tempat favoritku, di mana lagi kalau bukan balkon rumah. Xander bahkan memberi kami kesempatan untuk berdua saja."Begitukah?" Theo meluruskan punggung, dan sikapnya yang santai berubah serius. "Katakanlah kepada kakakmu ini, bila suamimu itu tak mampu membuatmu bahagia."Dengan gaya bak seorang preman, Theo menelengkan kepalanya, dan merema
"Adakah yang tidak beres di perusahaan, Xander?" Hati-hati aku bertanya kepada suamiku yang masih duduk dengan raut muka super serius.Semenjak kami sepakat untuk berdamai demi calon bayi kami, Xander lebih terbuka tentang masalah yang tengah dihadapi perusahaan keluarga Smith. Itulah sebabnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun aku tak bisa membantu setidaknya aku bisa mendengarkan keluh kesahnya.Namun, ternyata aku tak perlu khawatir lebih lanjut. Xander tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Pasti mukaku kelihatan serius sehingga kamu khawatir. Maafkan aku, Thea. Justru sekarang keadaan tengah membaik di perusahaan."Xander menuturkan bahwa orang yang selama ini mengkhianati mereka dengan membocorkan tender sudah ketahuan identitasnya. Sedikit mengecewakan karena pengkhianat tersebut adalah Helen Moss, salah satu sekretaris, orang yang sudah lama bergabung dengan perusahaan, dan menjadi orang kepercayaan ayah mertuaku.Katanya ia terlilit utang, dan didekati oleh salah