Pukul sepuluh malam kediaman Aditama kedatangan tamu. Anindya yang baru hendak tidur setelah selesai mengerjakan tugas kuliahnya ikut turun saat mendengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya mereka. Tak hanya satu, terdengar ada lebih dari dua mobil. Gadis yang sudah memakai piyama tidur itu keluar dari kamarnya. "Siapa Ma yang datang?" tanya Anindya pada sang Mama yang hendak menuruni tangga. "Eyang Baskara. Tadi habis telpon Papa," jawab Aisyah lalu mulai menuruni tangga. "Emangnya ada apa, Ma?" Anindya ikut menyusul sang Mama turun ke lantai bawah. "Sepertinya ada perlu sama Satya." Wajah Aisyah terlihat khawatir. "Entah apalagi yang dilakukan kakakmu itu. Gak ada kapoknya bikin Eyangmu marah." "Pasti ada hubungannya sama Mbak Danisa," tebak Anindya. **** "Langsung saja, kedatanganku karena ulah putramu," Aisyah dan Farhan kompak mengerutkan dahinya, apalagi yang dilakukan Satya sampai membuat Eyang Baskara datang malam-malam, pikir keduanya. Pria tua i
aku," ancam Danisa sambil mengacungkan pisau tajam ke depan Satya. Sontak semua wanita menjerit. Firman, Radit dan Farhan langsung berdiri. "Danisa, hentikan!!" teriak Miranda, tangannya langsung dicekal Radit begitu ingin mendekati putrinya. Berbeda dengan yang lain Satya malah tersenyum memberi kode pada dua bodyguardnya untuk mundur. Dengan tenang Satya melangkah maju. "Kamu mau apa? Melukaiku? Lakukan," katanya menantang Danisa. Aisyah panik, ingin menahan Satya namun tubuhnya dihalangi tubuh kekar Farhan. Semua orang menatap Danisa ngeri. Istri Firman bahkan sudah bersembunyi dibalik punggung suaminya. Sedang Eyang Baskara bersandar sambil menghela nafas panjang. Mendadak kepalanya pusing melihat tingkah Danisa. "Clarissa itu tidak pernah mencintaimu. Akulah mencintaimu. Tapi....." Danisa menatap Satya sendu. "Aku sudah menyuruhnya menerima cintamu tapi dia tidak mau. Dia bilang kamu lebih cocok dengan Tari." Sambungnya dengan sorot mata berubah tajam. "Semuanya
"Besok-besok kalau datang kesini gak perlu bawa apa-apa!" ketus Farah melirik barang bawaan Satya. Ada tiga kantong plastik besar dengan logo minimarket dan sebuah paper bag berlogo merk ternama. "Kamu pikir rumah kami gudang penyimpanan kebutuhan bayi?" tambahnya lantas menyerahkan Sabia ke Satya. "Jangan bikin cucuku nangis! Mamanya masih ganti baju," katanya lagi sebelum meninggalkan Satya dan Sabia di ruang keluarga. Satya yang mendapat omelan malah tersenyum senang. Pria itu mengangkat putrinya itu ke atas kepalanya yang bersandar di sofa. "Cantiknya Papa, kenapa ketawa-ketawa? Seneng lihat papa dimarahi Oma? Emmm....?" gemas Satya melihat putrinya yang sejak tadi tertawa riang. Pagi-pagi sekali Satya sudah berangkat ke rumah keluarga Rahardian. Rindu katanya, kemarin dia Tidak sempat datang karena mengurus masalah Danisa. Dan sebagai gantinya pagi ini dia datang lebih awal dari biasanya. "Gemes banget sih anak Papa," ucap Satya menciumi pipi gembul Sabia. Bayi cantik
"Mau makan dimana?" tanya Satya saat mereka dalam berjalan. Pria itu meminta untuk memangku Sabia. "Di kafe dekat taman kota," jawab Bestari menoleh sebentar lalu kembali sibuk dengan layar ponselnya. "Cuma mau ketemuan sama Sandra atau ada orang lain?" tanya Satya menatap Bestari. Dua orang itu duduk di kursi penumpang. Sedangkan kursi depan ada dua bodyguard yang di sewa Farhan. Bestari menoleh, ada rasa segan untuk menjawab. "Sama Alfa?" tebak Satya. Meski ragu Bestari akhirnya mengangguk. "Nanti nyusul katanya," jawab Bestari lalu mengambil alih Sabia karena bayi kecil itu mulai rewel. "Anak Mama haus?" Bestari menimang Sabia. "Bentar ya, Mama ambilin dotnya." "Biar aku yang saja." Dengan sigap Satya langsung mengambil tas bayi yang di pangku salah satu bodyguard di kursi depan. "Sini!" Seperti sudah hafal Satya langsung tahu dimana letak dot berisi susu yang tadi sudah disiapkan Bi Tutik. Setelah membuka penutup botol itu pun langsung diarahkannya ke
"Maaf, aku sudah salah bicara." Satya langsung menutup mulutnya setelah selesai mengucap maaf. Kepalanya menunduk fokus pada kaki putrinya, mengelusnya pelan. Terdengar desahan berat dari mulut Bestari. Ingin kembali mengomel namun tak jadi. Diam-diam Satya melirik Bestari lalu mendesah pelan, wanita dengan rambut dikuncir kuda itu sudah tak lagi melototi dirinya meski masih bermuka masam. Detik itu juga Satya yakin dan percaya, kalau nasihat dari Derry asisten pribadinya seratus persen benar. "Wanita itu suka tiba-tiba marah karena alasan yang tidak jelas. Jika itu terjadi pada pasangan Anda, apapun masalahnya cukup ucapkan saja, 'Maaf aku salah,' masalah akan langsung selesai. Jangan membantah apalagi berusaha menjelaskan. Karena satu penjelasan akan dibalas sepuluh bantahan. Dan masalahnya akan semakin panjang." Kata-kata Derry beberapa hari yang lalu saat Satya meminta nasihat. "Semua wanita sama, jika sudah memiliki anak maka sifatnya akan berubah seperti singa saat
"Kamu anggap aku apa?" geram Alfa. Wajahnya sudah memerah meski mimik wajahnya terlihat tenang. Sedikitpun matanya tidak melotot. Itilah Alfa, semarah apapun ekspresinya tetap tenang dan datar. "Ini tadi..." Tari terlihat bingung. Mau menjelaskan tapi putrinya menangis meminta digendong. Jadilah dia lebih dulu menggendong putrinya itu. "Maaf Kak bisa bantu ambilkan empeng Sabia," pinta Tari pada Satya. Sepertinya Sabia lapar dan haus jadi mau dikasih empeng dulu sembari dibikinkan susu formula. Untuk memberi Asi tempatnya tidak tepat. "Tari, bisa jelasin sedang apa kamu sama Satya?" Karena kesal dan merasa diabaikan Alfa pun meninggikan suaranya. Rasa emosi telah menutup rasa empatinya. Satya yang hendak mengambil tas bayi langsung tersulut emosi. "Kecilkan suaramu, kau menakuti putriku." Bestari tak tahu harus bagaimana, putrinya menangis sedangkan tubuhnya terjebak di tengah-tengah dua pria yang sedang adu mulut. "Putrimu?" Alfa terkekeh..."Putri yang lahir kare
"Boleh Tante masuk?" Aisyah berdiri di tengah pintu kamar saat Bestari menidurkan bayinya. "Iya, silakan Tante." Bestari tersenyum lalu bangkit dari tidurannya. "Sudah tidur?" tanya Aisyah setengah berbisik. "Sudah," "Apa Tante ganggu?" Pelan, Aisyah duduk di sisi ranjang yang kosong. "Sama sekali tidak. Tante ada perlu?" Aisyah menggelengkan kepalanya. "Tante cuma mau bicara sebentar, boleh?" Bestari mengangguk tak lupa seuntas senyum tipis ia berikan pada mantan mertuanya itu. Aisyah menghela nafas sebelum berbicara. Wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Dan hal itu membuat Bestari penasaran. "Tadi siang mamamu telpon, katanya Sabia sudah mulai belajar jalan. Mamamu juga mengirimkan videonya. Ya Alloh... seneng banget liatnya... jadi pengen bisa ikut ngajarin jalan." Bestari tersenyum, " Iya, tadi baru belajar jalan lagi. Sebenarnya sebelumnya Sabia sudah bisa jalan selangkah dua langkah Te, waktu awal umur sepuluh bulan. Tapi karena belum bisa jaga keseimbangan sab
"Kenapa? Apa kamu ingin kembali pada Satya?" tanya Alfa masih dengan wajah tenangnya. Pria itu memang sangat pandai menyembunyikan ekspresinya kemarahannya. Sedang di tempatnya Satya sedang menahan diri untuk tidak bersorak karena jawaban Bestari. "Jawablah, apa dia alasannya?" Alfa kembali bertanya. Kali ini nada suaranya mulai meninggi menunjukkan emosi sudah mulai mengikis ketenangannya. Alfa tipe orang yang suka memendam perasaannya. Menahan diri dan menumpuk kekesalannya. Namun ketika sudah tak sanggup mehanan emosi bisa meledak tanpa memikirkan tempat kondisi. "Alfa, tenanglah. Jangan memberondong Tari dengan pertanyaanmu." Nura meremas lengan putranya. "Tari, bolehkah kami tahu alasannya? Sebelumnya kamu sudah menerima lamaran Alfa, kenapa sekarang tiba-tiba berubah?" tanya Nura dengan suara lembut. Tak ada sedikitpun nada marah dari suaranya. Reaksi Nura membuat Tari tambah merasa bersalah. Meski merasa kecewa tapi tantenya itu masih bersikap lembut dan sabar.