Beranda / Romansa / Mempelai yang Tak Diharapkan / Satu buah yang busuk, kamu tidak boleh menebang pohonnya....

Share

Satu buah yang busuk, kamu tidak boleh menebang pohonnya....

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Lalu Danisa? Bukankah dia hamil anakmu?" Tari menatap tajam Abisatya. Kesal bercampur marah menggunung di dadanya.

Bagaimana tidak marah? Di saat dirinya berjuang antara hidup dan mati di atas ranjang operasi untuk melahirkan Sabia tapi Abisatya malah merancang pernikahannya dengan Danisa.

"Tidak, aku tidak pernah menikahinya." Abisatya membantah dengan tegas. "Periksalah ktp-ku, statusku masih duda," tambahnya meletakkan dompetnya di atas meja.

Nampak ekspresi keterkejutan di wajah Bestari dan detik berikutnya menatapnya nyalang. "Dasar lelaki tidak bertanggung jawab," cibirnya lalu membuang muka.

Abisatya menarik nafas panjang, benar kata orang wanita memang mahluk Tuhan yang paling istimewa.

"Sudah-sudah, sebaiknya kalian pulang dulu saja." Melihat situasi yang mulai memanas, Dirga memutuskan untuk menghentikan pembicaraan siang ini.

"Maaf, bolehkah saya minya izin bertemu cucu sebentar, untuk memberikan sedikit hadiah," mohon Aisyah.

Farah melirik paper bag de
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Langit
kocak bener2 kocak nih si dirga
goodnovel comment avatar
chan 2407
lah enak banget si satya kalo balikan sama Tari.... penengah sih penengahan pak Dirga tapi jangan minta Tari kembali ke Satya lah kasian Tari. kalo apa yg di alami Tari terjadi di anaknya pak Dirga kira² gimana tuh
goodnovel comment avatar
Masniah K Abdullah
lanjut thor ceritany menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Apapun hasilnya aku tidak akan melepasmu.

    Pukul sepuluh siang, Sandra menjemput Bestari untuk jalan-jalan sekalian makan siang di luar. "Sabia biar di rumah aja sama Mama. Kamu pergilah berdua sama Sandra," kata Farah saat Bestari izin hendak keluar. "Nggak ah Ma, Sabia biar aku ajak saja. Ntar malah nangis nyariin aku. Malah rewel nyusahin Mama." "Ngomong apa kamu itu, mana ada cucu secantik ini nyusahin Mama. Yang ada malah bikin kangen terus..." Farah menciumi bayi yang baru merayakan ulang tahunnya sebulan yang lalu itu. "Loh Te.... aku juga mau ngajak Sabia... mau tak belikan baju Tante buat hadian ulang tabunya kemarin. Kan aku gak bisa dateng karena wisuda." Sandra mengerucutkan bibirnya. "Bolehlah Tante, aku ajakin cucunya yang cantik ini keluar. Lagian kita nanti makannya di kafe khusus ibu-ibu muda. Jadi, ada area untuk bayinya." Sandra memeluk Farah dari samping, berusaha merayu kakak ipar dari mamanya itu. "Boleh, tapi..... jaga baik-baik anak dan cucu Tante ya..." "Siap laksanakan," ucap Sandra m

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Di tengah hujan.

    Selesai makan siang, Alfa pamit lebih dulu karena ada meeting dadakan dengan bosnya yang baru kembali dari liburan di luar negeri. "Mau aku antar sekalian?" Alfa menawarkan diri untuk mengantar Bestari pulang sekalian balik ke kantor. "Nggak usah, takut nanti Kak Alfa malah telat sampai ke kantornya," tolak Bestari. "Aku pulang sama Sandra dan Jihan saja, ini juga masih ada yang ingin dibeli." "Ya sudah kalau begitu aku duluan. Ingat jangan pulang kesorean, sekarang musim hujan. Bahaya kalau nyetir saat hujan." Sebelum pergi Alfa mengelus kepala Bestari. "Siap Kak," sahut ketiganya kompak. Baru lima menit Alfa pergi, sebuah pesan masuk ke ponsel Sandra. Gadis itu langsung cemberut karena harus pergi lebih dulu. Ada urusan yang harus dia kerjakan dan itu berhubungan dengan usaha yang ingin dirintisnya. "Udah gak papa. Biar Tari pulang sama aku," ujar Jihan. "Padahal kan belum puas main," keluh Sandra manyun. "lain kali kan bisa, yang penting sekarang kerjaan dulu."

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Satu mobil.

    Pov Abisatya Siang ini aku ada meeting dengan wakil dengan rekan bisnisku di sebuah restoran yang ada di Mall pusat kota. Baru aku masuk area parkiran, tanpa sengaja aku melihat Alfa keluar dari mobilnya. Kulihat jam di pergelangan tangan, ada sedikit waktu. Kuputuskan untuk menuntaskan rasa penasaran dengan mengikutinya. Ternyata Alfa tidak sendiri, seorang wanita menunggunya di pintu masuk lantai tiga. Melihat Afa, wanita itu tersenyum dan mereka berjalan beriringan. Nampak sesekali berbincang selayaknya teman. Mungkin mereka rekan kerja atau teman lama. Aku mengenal Alfa cukup lama, sedikit banyak aku tahu sifatnya. Pendiam dan sulit ditebak. Kami mulai berteman sejak kecil. Pastinya sejak aku tinggal di rumah pemberian Tante Farah. Rumah yang berada tepat di sebelah rumah mewah keluarga Rahardian. Dan setelah bisnis Papa sukses, kami pindah ke rumah yang sekarang kami tempati Mengingat kenangan itu aku jadi menyesal ikut pindah. Seandainya tetap di sana mungkin hub

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Mendadak canggung

    Bugh... Bugh.... Tubuhku tersengkur ke aspal jalan. Rasa nyeri di rahang membuatku pusing. "Astaga.... Kak...hentikan," teriak Bestari disusul tangisan Sabia. Meski tertatih aku berusaha bangun. Bestari berdiri di depanku. Dia menolehku sebentar lalu kembali menghadap kakaknya Sempat kulihat ibu dari putriku itu menatapku khawatir. Tiba-tiba rasa bahagia itu menyeruak di dalam dada. Meski hanya ekspresi tapi setidaknya dia masih peduli padaku. "Tari minggir! Biar aku hajar pria brengs*k itu. Berani-beraninya membawamu paksa." Suara Ganendra kera dan makin membuat tangis putriku pecah. "Jangan Kak, dia gak salah." Ganendra tergelak, "Ada apa denganmu, kenapa membelanya?" Bestari terlihat bingung apalagi suara Ganendra yang keras membuat putri kami menangis ketakutan. "Ganendra, kecilkan suaramu! Kau menakuti putriku," ujarku menahan diri untuk tidak meninggikan suara. Bestari menoleh, ekspresinya terlihat serba salah. "Putriku? Ha ha...." Ganendra terta

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ancaman Danisa.

    "Ya... biar Papa gak salah faham seperti Kak Ganendra." Bestari salah tingkah. "Apa Ganendra memukulmu lagi?" "Iya, Om. Tadi dia salah faham, dia kira saya memaksa Tari......." Aku menjelaskan semuanya secara detail. Om Ibra tidak hanya mendengarkan, dia juga mengonfirmasi kebenarannya pada Bestari. "Sudah kan?" tanyanya yang membuatku bingung. "Maksudnya Om?" "Sudah kan, ganti baju dan ngobatin lukanya?" Aku spontan mengangguk. "Kalau begitu silahkan pergi," Aku cukup kaget dengan kalimat terakhir Om Ibra. Suami istri sama saja, sukanya php-in orang. Tadi istri menyuruh masuk untuk ganti baju tapi tidka mengizinkanku menggendong putriku. Dan sekarang suaminya, bertanya ini itu tapi pada akhirnya mengusir. "Iya, Om. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucapku lalu berjalan menuju pintu keluar. Om Ibra mengikutiku sampai depan. "Satya," panggilnya dan aku langsung menoleh. "Iya Om," "Dengar, Sabia memang putrimu dan kamu punya hak untuk dekat

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pertemuan dua keluarga yang ke dua.

    Seperti yang sudah direncanakan, siang ini Abisatya dan seluruh keluarganya datang ke rumah Bestari untuk pertemuan keluarga untuk kedua kalinya. Dengan Dirga sebagai penengah. "Ingat, nanti kamu harus minta maaf yang benar. Jangan bikin malu Mama di depan Pakde Dirga. " Aisyah menoleh pada Anindya. "Pakde sudah bolak balik dari solo kesini cuma buat bantu kita. Jadi, jangan bikin kecewa," "Iya Ma," jawab Anindya lalu mendengus. Sudah sepuluh kali dia mendengar kalimat itu. Sejak mobil keluar dari pelataran rumah mereka sampai detik ini. Setelah mendapat nasihat dari Papanya dan Satya kemarin malam Anindya sudah benar-benar menyadari kesalahannya dan hari ini siap untuk meminta maaf pada Bestari dan semua keluarga Rahardian tak terkecuali Jihan, istri Ganendra. "Mama tahu ini pasti berat untuk kamu, tapi yang namanya cinta itu gak bisa dipaksakan." Aisyah mengelus kepala putrinya. "Jadikan kisah hidup kakakmu sebagai pelajaran. Jangan sampai kamu menyesal seumur hidupmu,"

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permohonan maaf Anindya.

    Farah yang dari tadi diam tak bisa menahan diri. Dengan ketus dia mengeluarkan unek-uneknya. Selama dua tahun Anindya tidak pernah sekalipun mencoba datang untuk meminta maaf atas semua fitnahnya pada Bestari. "Saya benar-benar menyesal Tante, saya minta maaf." Kembali Anindya mengucapkan permintaan maafnya. "Anindya benar-benar sudah menyesal dan menyadari semua kesalahannya, Farah. Tolong maafkan dia." Aisyah ikut meminta maaf. Jika di dalam rumahnya Aisyah tak segan memarahi bahkan mengusir Anindya namun, disaat putrinya itu terpojok Aisyah tidak tega dan berusaha membelanya meski dia tahu anaknya itu bersalah. Ya, itulah kasih sayang seorang ibu yang kadang tidak disadari oleh anak-anaknya. "Jika Anindya yang difitnah wanita liar, murahan, tidak perawan, keluar masuk hotel dan gonta-ganti pacar. Apa kamu terima?" Farah balik bertanya dan Aisyah terdiam tak bisa menjawab. Jangankan anaknya dibilang liar, dikatakan jelek saja hatinya sakit. "Untuk masalah ini, anakm

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Saling memaafkan.

    Pertemuan telah selesai dan diakhiri dengan saling memaafkan. Semua orang bersalaman dan berpelukan. Aisyah dan Farah, Ibra dan Farhan. Begitu juga dengan Anindya, dia menyalami Bestari dan meminta maaf. Mereka juga berpelukan. Tak ketinggalan dengan Ganendra pun menyambut uluran tangan Abisatya. "Maaf untuk semuanya," ucap Abisatya dan Ganendra hanya mengangguk. Ketika semua orang sudah saling bersalaman Bestari terus menghindari Abisatya. Wanita berparas cantik itu melangkah mundur dan malah bersembunyi dibalik punggung ayahnya ketika Abisatya mengulurkan tangan ke depannya. Rasa takut dan trauma itu masih membekas. Setiap kali melihat tangan besar Satya ingatannya akan kejadian buruk itu tiba-tiba muncul. Bayangan tangan Satya menariknya paksa dan menjamahnya dengan brutal tidak bisa hilang dari ingatannya. "Luka yang kamu berikan tak semudah itu sembuh hanya dengan kata maaf." Ibra merentangkan tangannya. "Putriku bisa berbicara denganmu tapi tidak dengan bersentuha

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kondisi Tari yang sebenarnya.

    Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terpaksa jujur

    Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Makin rumit.

    Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejujuran Anindya pada Bestari.

    Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memendam

    "Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Tari.

    "Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan maaf Satya pada Ibra

    Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan cerai Jihan

    Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perjodohan.

    "Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga

DMCA.com Protection Status