Bugh... Bugh.... Tubuhku tersengkur ke aspal jalan. Rasa nyeri di rahang membuatku pusing. "Astaga.... Kak...hentikan," teriak Bestari disusul tangisan Sabia. Meski tertatih aku berusaha bangun. Bestari berdiri di depanku. Dia menolehku sebentar lalu kembali menghadap kakaknya Sempat kulihat ibu dari putriku itu menatapku khawatir. Tiba-tiba rasa bahagia itu menyeruak di dalam dada. Meski hanya ekspresi tapi setidaknya dia masih peduli padaku. "Tari minggir! Biar aku hajar pria brengs*k itu. Berani-beraninya membawamu paksa." Suara Ganendra kera dan makin membuat tangis putriku pecah. "Jangan Kak, dia gak salah." Ganendra tergelak, "Ada apa denganmu, kenapa membelanya?" Bestari terlihat bingung apalagi suara Ganendra yang keras membuat putri kami menangis ketakutan. "Ganendra, kecilkan suaramu! Kau menakuti putriku," ujarku menahan diri untuk tidak meninggikan suara. Bestari menoleh, ekspresinya terlihat serba salah. "Putriku? Ha ha...." Ganendra terta
"Ya... biar Papa gak salah faham seperti Kak Ganendra." Bestari salah tingkah. "Apa Ganendra memukulmu lagi?" "Iya, Om. Tadi dia salah faham, dia kira saya memaksa Tari......." Aku menjelaskan semuanya secara detail. Om Ibra tidak hanya mendengarkan, dia juga mengonfirmasi kebenarannya pada Bestari. "Sudah kan?" tanyanya yang membuatku bingung. "Maksudnya Om?" "Sudah kan, ganti baju dan ngobatin lukanya?" Aku spontan mengangguk. "Kalau begitu silahkan pergi," Aku cukup kaget dengan kalimat terakhir Om Ibra. Suami istri sama saja, sukanya php-in orang. Tadi istri menyuruh masuk untuk ganti baju tapi tidka mengizinkanku menggendong putriku. Dan sekarang suaminya, bertanya ini itu tapi pada akhirnya mengusir. "Iya, Om. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucapku lalu berjalan menuju pintu keluar. Om Ibra mengikutiku sampai depan. "Satya," panggilnya dan aku langsung menoleh. "Iya Om," "Dengar, Sabia memang putrimu dan kamu punya hak untuk dekat
Seperti yang sudah direncanakan, siang ini Abisatya dan seluruh keluarganya datang ke rumah Bestari untuk pertemuan keluarga untuk kedua kalinya. Dengan Dirga sebagai penengah. "Ingat, nanti kamu harus minta maaf yang benar. Jangan bikin malu Mama di depan Pakde Dirga. " Aisyah menoleh pada Anindya. "Pakde sudah bolak balik dari solo kesini cuma buat bantu kita. Jadi, jangan bikin kecewa," "Iya Ma," jawab Anindya lalu mendengus. Sudah sepuluh kali dia mendengar kalimat itu. Sejak mobil keluar dari pelataran rumah mereka sampai detik ini. Setelah mendapat nasihat dari Papanya dan Satya kemarin malam Anindya sudah benar-benar menyadari kesalahannya dan hari ini siap untuk meminta maaf pada Bestari dan semua keluarga Rahardian tak terkecuali Jihan, istri Ganendra. "Mama tahu ini pasti berat untuk kamu, tapi yang namanya cinta itu gak bisa dipaksakan." Aisyah mengelus kepala putrinya. "Jadikan kisah hidup kakakmu sebagai pelajaran. Jangan sampai kamu menyesal seumur hidupmu,"
Farah yang dari tadi diam tak bisa menahan diri. Dengan ketus dia mengeluarkan unek-uneknya. Selama dua tahun Anindya tidak pernah sekalipun mencoba datang untuk meminta maaf atas semua fitnahnya pada Bestari. "Saya benar-benar menyesal Tante, saya minta maaf." Kembali Anindya mengucapkan permintaan maafnya. "Anindya benar-benar sudah menyesal dan menyadari semua kesalahannya, Farah. Tolong maafkan dia." Aisyah ikut meminta maaf. Jika di dalam rumahnya Aisyah tak segan memarahi bahkan mengusir Anindya namun, disaat putrinya itu terpojok Aisyah tidak tega dan berusaha membelanya meski dia tahu anaknya itu bersalah. Ya, itulah kasih sayang seorang ibu yang kadang tidak disadari oleh anak-anaknya. "Jika Anindya yang difitnah wanita liar, murahan, tidak perawan, keluar masuk hotel dan gonta-ganti pacar. Apa kamu terima?" Farah balik bertanya dan Aisyah terdiam tak bisa menjawab. Jangankan anaknya dibilang liar, dikatakan jelek saja hatinya sakit. "Untuk masalah ini, anakm
Pertemuan telah selesai dan diakhiri dengan saling memaafkan. Semua orang bersalaman dan berpelukan. Aisyah dan Farah, Ibra dan Farhan. Begitu juga dengan Anindya, dia menyalami Bestari dan meminta maaf. Mereka juga berpelukan. Tak ketinggalan dengan Ganendra pun menyambut uluran tangan Abisatya. "Maaf untuk semuanya," ucap Abisatya dan Ganendra hanya mengangguk. Ketika semua orang sudah saling bersalaman Bestari terus menghindari Abisatya. Wanita berparas cantik itu melangkah mundur dan malah bersembunyi dibalik punggung ayahnya ketika Abisatya mengulurkan tangan ke depannya. Rasa takut dan trauma itu masih membekas. Setiap kali melihat tangan besar Satya ingatannya akan kejadian buruk itu tiba-tiba muncul. Bayangan tangan Satya menariknya paksa dan menjamahnya dengan brutal tidak bisa hilang dari ingatannya. "Luka yang kamu berikan tak semudah itu sembuh hanya dengan kata maaf." Ibra merentangkan tangannya. "Putriku bisa berbicara denganmu tapi tidak dengan bersentuha
Pagi ini Bestari berniat untuk menjenguk ayah Jihan yang masih dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan tiga hari yang lalu. Sebelumnya Bestari memberi asi Sabia supaya bayinya itu tidak rewel saat dia pergi. "Ma, nitip Sabia sebentar ya! Hari ini aku jadi jenguk ayahnya Jihan." Bestari menyerahkan putrinya yang sudah mulai mengantuk setelah diberi asi itu. "Iya, sini cucu kesayangan Oma di rumah aja, diluar panas." Dengan gemas Farah mencium pipi Sabia. "Agak lama juga gak papa, kasihan Jihan dari kemarin gak ada yang gantikan jaga Ayahnya." Farah sedih teringat saat menjenguk besannya semalam. Banyaknya masalah membuat Farah baru sempat menjenguk besannya itu setelah dua hari mendengar kabar kecelakaan. "Loh, ibunya kemana, Ma?" "Ibunya sudah kembali ke ke rumahnya di jogja. Adiknya kan harus sekolah. Kemarin Mama sudah tawarin buat sewa perawat tapi Jihan nolak. Kayaknya dia lagi marahan sama Kakakmu," cerita Farah. "Ck... salah Kak Ganendra juga. Jadi orang negati
Ciittttt..... Suara decitan ban mobil beradu dengan aspal depan lobby rumah sakit. "Awas...." Suara teriakan dari beberapa orang membuat suasana riuh. "Astaghfirullah..." Seorang security berlari mendekati Bestari yang tersungkur. "Mbak, ayo bangun." Security itu membantu Bestari bangun dan membawanya duduk di anak tangga. Beruntung pengendara mobil sempat menginjak rem tepat waktu. Sehingga tak sampai menabrak Bestari. "Mbak gak papa?" tanya security itu memastikan. "Kepalanya sakit?" tanyanya melihat goresan di kening Bestari. Bestari yang masih Shock hanya menggeleng lalu menoleh ke atas. Dansia tak ada lagi, entah kemana wanita itu pergi. "Maaf permisi, bisa kasih jalan?" Seorang pria berusaha membelah kerumunan orang-orang yang mengelilingi Bestari. Ada yang memberi minum, ada memeriksa kaki dan tangan Bestari yang lecet. "Ya Allah, tadi itu ada yang dorong Mbak-nya. Wanita tapi langsung kabur," cerita seorang ibu-ibu sambil memberi minum kepada Bestari. "
"Pilih, suruh dia pergi atau aku yang pergi?!!" Kembali Alfa meminta Bestari memilih. Bestari membuang nafas kasar. Tak menyangka Alfa akan bersikap seperti itu. Ternyata umur hanya sebuah angka. Tidak menjamin kedewasaan seseorang. Tidak Satya, tidak Ganendra, Alfa juga sama. Seperti anak kecil. Dan kenapa dengan Sandra? Kenapa tiba-tiba pergi begitu saja hanya karena masalah Bestari memanggil Reyhan dengan sebutan Kak. Lalu tadi dua orang itu muncul dari halaman samping. Itu artinya mereka sudah datang sebelum dirinya pulang. Kenapa datang ke rumah tanpa memberi kabar dulu? Kalau tahu Bestari pasti akan menolak diantar Reyhan. Alfa kembali menghujaninya dengan tatapan tajam, meminta Bestari segera memutuskan. Sangat tidak sabaran. Tanpa sadar Bestari menghela nafas, menahan kesal. "Ma..." Baru saja Bestari membuka mulut Reyhan sudah berdiri. "Saya pamit," ucap Reyhan memandang Tari datar. "Semoga cepat sembuh." "Terima kasih sudah anterin aku pulang. Emm... Ma
"Jujur sama Mama, sebenarnya tadi kamu tiba-tiba menghilang karena kamu ingin kabur kan? Kamu sudah tidak tahan dengan sikap kasar Gibran kan?" Anindya menggelengkan kepalanya, "Nggak seperti itu Ma?" "Gak usah bohong sama Mama. Mama sudah tahu semuanya," kekeh Aisya pada pendiriannya. Anindya memandang Jihan yang juga memandangnya dengan tatapa sendu. Ada rasa bersalah tersirat dalam tatapan wanita cantik itu. Karena dirinya yang cemburu buta Anindya dipaksa menikahi Gibran. "Ini salah faham Ma, Mas Gibran tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia memang kaku dan tegas tapi dia baik. Mas Gibran yang menolongku saat aku dibully di kampus. Bahkan dia menolak untuk damai," terang Anindya. Aisyah memcingkan matanya. Wanita yang telah melahirkan Anindya itu tidak serta merta mempercayai ucapan putrinya itu. Dia tahu betul seperti apa Anindya. Dia pandai berbohong. "Aku nggak bohong Ma," kekeh Anindya berusaha meyakinkan sang Mama. "Kalau Mama tidak percaya Mama bisa telp
"Satu... dua... ti...." Anindya sontak menutup matanya, jantungnya berdegup kencang membayangkan rasa sakit yang akan dirasakannya saat cairan keras itu mengenai kulit mulusnya. 'Yaa Allah..... Hanya Enkaulah penolongku dan hanya pada-Mu aku bersandar.' Dalam hati Anindya terus Metapalk doa meminta pertolongan dari Tuhan. Namun sampai beberapa menit tidak ada yang terjadi, suasana mendadak hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang berjalan. Tangan yang memeganginya juga mengendur. Perlahan Anindya membuka matanya. Nampak dua orang disamping kanan kirinya menatapnya lekat. "Takut?" ucap Danisa yang di sambut decak tawa dua orang teman Danisa. "Sepertinya dia penasaran dengan rasa sakitnya?" sahut seseorang yang duduk dibalik kemudi. "Rasa sangat panas dan menyakitkan. Kulitmu akan melepuh dan terasa perih. Rasa sakitnya masih terasa meski lukanya sudah kering. Kamu mau lihat?" Danisa memegangi maskernya seolah akan melepaskan kain penutup itu. "A-aku minta maa
Anindya tertegun, lidahnya kelu dan pikirannya tiba-tiba kosong. Pandangannya menatap Gibran dengan tatapan tak percaya. "Kamu tidak salah dengar, Ayra anak haram papa dengan selingkuhan." Gibran memperjelas pernyataan sebelumnya. "Oh astaga...." ucap Anindya shock. "Jadi, maksudnya kamu mencintai saudara tiri kamu?" tanya Anindya dengan mata melebar. Dia benar-benar tidak pernah mengira akan akan bertemu dengan orang yang mencintai saudara sendiri. "Ini nyata kah? Bukan cerita novel?" tanyanya lagi. "Iya, benar." Gibran mendengus kasar, sedikit kesal karena merasa reaksi Anindya terlalu berlebihan. "Astaghfirullah...." pekik Anindya lalu membekap mulutnya sendiri. Tiba-tiba gadis itu teringat dengan ucapan Atika yang menunjukkan penolakan hubungan Gibran dna Ayra. "-----mereka tidak boleh bersama----" Ucapan Atika waktu itu terngiang kembali di telinga Anindya. Kini Anindya mengerti kenapa Atika berusaha membujuk dirinya untuk tetap bersama Gibran. Anindya semakin bin
Malam ini Anindya dan Gibran pergi makan malam di rumah orang tua Gibran. Seperti biasanya, setiap satu bulan sekali mereka diharuskan ikut makan malam di rumah keluarga Gibran. Dan satu kali makan malam bersama keluarga besar dari kakek Gibran. Anindya memakai dress putih bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink senada dengan renda yang menghiasai bagian lengan dan perut juga bagian bawah dress. Sedangkan Gibran memakai kemeja putih lengan pendek dan celana kain berwarna krem. Untuk pertama kalinya sepasang suami istri itu datang bersama dengan pakaian yang senada. Hal itu membuat Atika terkejut juga terharu. Wanita yang telah membesarkan Gibran itu terlihat sangat bahagia melihat kemajuan hubungan Anindya dna Gibran. Saat Gibran dan Anindya datang Atika dan Ayra yang menyambut dan membukakan pintu. "Astaga.... kalian kompak sekali. Mama senang lihatnya," ucap Atika terlihat sangat bahagia. Dipeluknya Anindya sayang. Berbeda dengan sang mama, Ayra kakak kedua Gibran te
"Nanti pulangnya di jemput sopir. Langsung pulang," ucap Gibran setelah menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan kampus. "Iya," jawab Anindya. "Pak Johan dan Pak Rudi akan mengawsimu dari jauh. Ada apa-apa langsung telpon. Jang sok menghadapi sendiri," tambah Gibran lagi yang dijawab anggukan oleh gadis manis di sebelahnya. "Sudah turun sana," perintahnya. "Assalamu'alaikum," ucap Anindya membuka pintu mobil namun tak bisa. Diulangi lagi tetap tak bisa. Doa pun menoleh pada Gibran yang menatap lurus ke depan. "Oh... maaf lupa," katanya meringis lalu mengulurkan tangannya mencium punggung tangan suaminya. "Ck... Apa otak kecilmu itu terlalu penuh dengan Ganendra sampai tidak bisa mengingat hal lain?" omel Gibran terlihat kesal. "Kan sudah minta maaf, kenapa bawa-bawa Kak Ganendra sih?" gerutu Anindya. "Kenapa gak terima?" balas Ganendra mendelik. "Ck... kamu jadi mirip Mbak Ayra kalau lagi datang bulan. Marah-marah gak jelas," "Emang kami tahu kapan Ayra datang b
"Jangan mengujiku, berhenti bicara atau......" "Apa? Kamu mau menjambakku, memukulku? Silahkan, pu..." Dengan cepat Gibran menarik tangan Anindya sampai membuat tubuh ramping itu merapat ke dada bidangnya. Satu tangannya melingkar di pinggang dan satunya memegangi tengkuk gadis itu. "Gib... Mmmm.." Mata Anindya melebar dengan tubuh mematung. Tanpa di duga Gibran mencium bibir Anindya dengan kasar. Seperti orang kelaparan dilum*tnya benda kenyal itu dengan rakus. Setelah beberapa detik Anindya mulai sadar dan berusaha memberontak. Tubuh kecilnya menggeliat meminta dilepaskan. "Emmmm....." Gadis itu mengerang sambil tangannya memukuli punggung dan tangan Gibran namun tenaga tak berarti apa-apa untuk pria bertubuh tinggi dan kekar seperti Gibran. Tak putus asa, Anindya menggigit bibir Gibran kuat sampai membuat pria itu mengerang kesakitan. "Akh.... apa kamu sudah gila?" sentak Gibran sambil memegangi bibirnya yang berdarah. "Kamu yang gila," sentak balik Anindya.
Hari sabtu, hari tenang bagiku. Tak ada kelas jadi tak perlu ke kampus. Jadwal les kepribadian juga libur. Aku hanya perlu mengikuti bimbingan belajar saja. Dan mulai hari ini dilakukan di rumah. Senang sekali rasanya karena aku tidak perlu datang ke tempat bimbel tapi gurunya yang datang ke rumah untuk mengajariku. Aku tak perlu menahan rasa malu pada adik-adik yang ada di tempat bimbel. Dan semua itu atas perintah Gibran. Tidak tahu apa alasan pastinya, tapi yang pasti itu sebuah keberuntungan untukku. Bicara tentang Gibran, sekarang pria itu sudah berubah. Dia tak suka membentak dan sikapnya tak sekasar biasanya. Entah kapan pastinya, tapi seingatku sejak kembalinya Ayra dan Kak Guntur perlahan perubahan itu mulai terlihat. Kata-katanya masih pedas tapi tidak lagi bernada tinggi. Sikapnya juga lebih lembut. Tak pernah menjambak dan mencengkeram wajahku. Gibran yang biasa cuek juga lebih perhatian. Kadang dia mengantarku ke kampus dan menjemputku dari tempat les. Jik
Brakkk...... Suara pintu terbuka dengan paksa dari luar. "Apa yang kalian lakukan padanya ?" Suara yang tak asing ditelingaku terdengar menggema di raungan ini. Sambil menahan perih di salah satu sisi wajahku aku mendongak, melihat sosok yang berdiri angkuh di tengah pintu. Gibran Narendra? Kenapa pria itu ada di sini? "Lepaskan tangan kalian dari tubuh istriku!!!" sentaknya keras. Begitu mengagetkan sampai membuatkj tertegun. Bukan suaranya naman kalimatnya. Istriku? Pak Jodi, bodyguard yang ditugaskan menjagaku mendekat dan menyingkirkan tangan Renata juga Cicilia dari tubuhku. Dua orang itu langsung bergambung bersama Sifa dan yang lainnya. "Maaf, saya datang terlambat Non," ucap Pak Jodi terlihat menyesal. "Nggak papa Pak," kataku lalu beranjak bangun dengan bantuannya. "Si-siapa kalian?" tanya Sifa panik. "Siapa? Apa kau tuli?" ujar Gibran dengan tatapan dinginnya. "Benar kamu suaminya?" tanya Sifa namun tak dihiraukan oleh Gibran. Pria itu m
Pagi ini aku bangun dengan tubuh terasa sakit semua. Takut Gibran tiba-tiba masuk ke dalam kamar seperti beberapa hari yang lalu, jadinya aku berjaga semalaman dibalik pintu sampai ketiduran. Dan hasilnya paginya pagi ini tubuh sakit semua. Beruntung hari ini kuliahku dimulai jam setengah sembilan jadinya aku punya waktu tidur sebentar setelah sholat shubuh. Pukul tujuh pagi aku sudah selesai mandi namun aku menahan diri untuk tetap di dalam kamar. Baru setelah mendengar suara mobil Gibran keluar rumah barulah aku turun untuk sarapan. "Selamat pagi Non," ucap Bibi mengurai senyum saat aku mendekati meja makan. "Dari tadi bibi tunggu kok baru turun, Non?" tanyanya sambil merapikan piring bekas makan Gibran. "Kecapean Bi, jadi tadi bangunnya kesiangan." Aku menjawab sambil mendudukan diri di salah satu kursi. Begitu aku duduk bibi langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng serta telur mata sapi. "Aku sarapan roti aja Bik," kataku menolak saat piring