Ciittttt..... Suara decitan ban mobil beradu dengan aspal depan lobby rumah sakit. "Awas...." Suara teriakan dari beberapa orang membuat suasana riuh. "Astaghfirullah..." Seorang security berlari mendekati Bestari yang tersungkur. "Mbak, ayo bangun." Security itu membantu Bestari bangun dan membawanya duduk di anak tangga. Beruntung pengendara mobil sempat menginjak rem tepat waktu. Sehingga tak sampai menabrak Bestari. "Mbak gak papa?" tanya security itu memastikan. "Kepalanya sakit?" tanyanya melihat goresan di kening Bestari. Bestari yang masih Shock hanya menggeleng lalu menoleh ke atas. Dansia tak ada lagi, entah kemana wanita itu pergi. "Maaf permisi, bisa kasih jalan?" Seorang pria berusaha membelah kerumunan orang-orang yang mengelilingi Bestari. Ada yang memberi minum, ada memeriksa kaki dan tangan Bestari yang lecet. "Ya Allah, tadi itu ada yang dorong Mbak-nya. Wanita tapi langsung kabur," cerita seorang ibu-ibu sambil memberi minum kepada Bestari. "
"Pilih, suruh dia pergi atau aku yang pergi?!!" Kembali Alfa meminta Bestari memilih. Bestari membuang nafas kasar. Tak menyangka Alfa akan bersikap seperti itu. Ternyata umur hanya sebuah angka. Tidak menjamin kedewasaan seseorang. Tidak Satya, tidak Ganendra, Alfa juga sama. Seperti anak kecil. Dan kenapa dengan Sandra? Kenapa tiba-tiba pergi begitu saja hanya karena masalah Bestari memanggil Reyhan dengan sebutan Kak. Lalu tadi dua orang itu muncul dari halaman samping. Itu artinya mereka sudah datang sebelum dirinya pulang. Kenapa datang ke rumah tanpa memberi kabar dulu? Kalau tahu Bestari pasti akan menolak diantar Reyhan. Alfa kembali menghujaninya dengan tatapan tajam, meminta Bestari segera memutuskan. Sangat tidak sabaran. Tanpa sadar Bestari menghela nafas, menahan kesal. "Ma..." Baru saja Bestari membuka mulut Reyhan sudah berdiri. "Saya pamit," ucap Reyhan memandang Tari datar. "Semoga cepat sembuh." "Terima kasih sudah anterin aku pulang. Emm... Ma
"Ternyata benar kamu orangnya," ucap Satya dengan tatapan tajamnya. Percakapan yang tadinya santai berubah serius da suasana mendadak mencekam. Rendra tersenyum tipis. "Kau menuduhku?" "Apa kamu merasa dituduh? Kupikir kau sedang mengakuinya." Satya masih tetap tenang meski tatapannya sudah seperti mata elang yang ingin menerkam mangsanya. "Kau masih tetap Abisatya yang dulu." Rendra tersenyum sinis, lalu dengan santainya menyandarkan punggungnya. "Kau tidak pernah mau mengakui kesalahanmu dan sibuk mencari kambing hitam." Satya mengangkat satu alisnya. Mencoba menebak maksud ucapan Rendra. Pria itu bukan tipe orang yang suka asal bicara untuk membela diri. "Aku masih ingat dengan jelas. Sama seperti hari ini kau juga menyalahkanku untuk kegagalanmu mendapatkan nilai cumlaude saat ujian akhir S1-mu." "Bukannya memang kamu yang menghapus datanya di laptopku? Dan kamu sendiri mengakuinya dan meminta maaf," sahut Satya. Rendra mendengus kasar, teringat kejadian dimana
"Maaf Om, kalau boleh tahu ada perlu apa Om memanggil saya datang?" tanya Satya pada Ibra pagi ini di kantornya. Pagi-pagi Satya datang ke kantor pusat perusahaan milik keluarga Rahardian setelah semalam menerima pesan dari mantan mertuanya yang memintanya datang. Dia bahkan sampai menunda meeting penting dengan calon investor yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. Bukan tak profesional tapi baginya urusan yang bisnis tidak lebih penting dari Bestari dan Sabia. Dan dia yakin tujuan Ibra memintanya datang berhubungan dengan Bestari dna Sabia. "Seperti yang pernah aku katakan. Aku tidak. segan menyingkirkan orang-orang yang mengusik putriku." Ibra menatap datar Satya yang terlihat kaget. "Bisa perjelas, siapa orangnya?" pinta Satya. Ibra mengangguk. Karena ini berhubungan dengan Satya jadi pria itu juga harus tahu dan mengambil sikap tegas. "Mantan kekasihmu," jawab Ibra lalu menunjukkan sebuah rekaman di ponselnya pada Satya. "Video itu diambil dari rekaman CCTV rumah saki
Pukul sepuluh malam kediaman Aditama kedatangan tamu. Anindya yang baru hendak tidur setelah selesai mengerjakan tugas kuliahnya ikut turun saat mendengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya mereka. Tak hanya satu, terdengar ada lebih dari dua mobil. Gadis yang sudah memakai piyama tidur itu keluar dari kamarnya. "Siapa Ma yang datang?" tanya Anindya pada sang Mama yang hendak menuruni tangga. "Eyang Baskara. Tadi habis telpon Papa," jawab Aisyah lalu mulai menuruni tangga. "Emangnya ada apa, Ma?" Anindya ikut menyusul sang Mama turun ke lantai bawah. "Sepertinya ada perlu sama Satya." Wajah Aisyah terlihat khawatir. "Entah apalagi yang dilakukan kakakmu itu. Gak ada kapoknya bikin Eyangmu marah." "Pasti ada hubungannya sama Mbak Danisa," tebak Anindya. **** "Langsung saja, kedatanganku karena ulah putramu," Aisyah dan Farhan kompak mengerutkan dahinya, apalagi yang dilakukan Satya sampai membuat Eyang Baskara datang malam-malam, pikir keduanya. Pria tua i
aku," ancam Danisa sambil mengacungkan pisau tajam ke depan Satya. Sontak semua wanita menjerit. Firman, Radit dan Farhan langsung berdiri. "Danisa, hentikan!!" teriak Miranda, tangannya langsung dicekal Radit begitu ingin mendekati putrinya. Berbeda dengan yang lain Satya malah tersenyum memberi kode pada dua bodyguardnya untuk mundur. Dengan tenang Satya melangkah maju. "Kamu mau apa? Melukaiku? Lakukan," katanya menantang Danisa. Aisyah panik, ingin menahan Satya namun tubuhnya dihalangi tubuh kekar Farhan. Semua orang menatap Danisa ngeri. Istri Firman bahkan sudah bersembunyi dibalik punggung suaminya. Sedang Eyang Baskara bersandar sambil menghela nafas panjang. Mendadak kepalanya pusing melihat tingkah Danisa. "Clarissa itu tidak pernah mencintaimu. Akulah mencintaimu. Tapi....." Danisa menatap Satya sendu. "Aku sudah menyuruhnya menerima cintamu tapi dia tidak mau. Dia bilang kamu lebih cocok dengan Tari." Sambungnya dengan sorot mata berubah tajam. "Semuanya
"Besok-besok kalau datang kesini gak perlu bawa apa-apa!" ketus Farah melirik barang bawaan Satya. Ada tiga kantong plastik besar dengan logo minimarket dan sebuah paper bag berlogo merk ternama. "Kamu pikir rumah kami gudang penyimpanan kebutuhan bayi?" tambahnya lantas menyerahkan Sabia ke Satya. "Jangan bikin cucuku nangis! Mamanya masih ganti baju," katanya lagi sebelum meninggalkan Satya dan Sabia di ruang keluarga. Satya yang mendapat omelan malah tersenyum senang. Pria itu mengangkat putrinya itu ke atas kepalanya yang bersandar di sofa. "Cantiknya Papa, kenapa ketawa-ketawa? Seneng lihat papa dimarahi Oma? Emmm....?" gemas Satya melihat putrinya yang sejak tadi tertawa riang. Pagi-pagi sekali Satya sudah berangkat ke rumah keluarga Rahardian. Rindu katanya, kemarin dia Tidak sempat datang karena mengurus masalah Danisa. Dan sebagai gantinya pagi ini dia datang lebih awal dari biasanya. "Gemes banget sih anak Papa," ucap Satya menciumi pipi gembul Sabia. Bayi cantik
"Mau makan dimana?" tanya Satya saat mereka dalam berjalan. Pria itu meminta untuk memangku Sabia. "Di kafe dekat taman kota," jawab Bestari menoleh sebentar lalu kembali sibuk dengan layar ponselnya. "Cuma mau ketemuan sama Sandra atau ada orang lain?" tanya Satya menatap Bestari. Dua orang itu duduk di kursi penumpang. Sedangkan kursi depan ada dua bodyguard yang di sewa Farhan. Bestari menoleh, ada rasa segan untuk menjawab. "Sama Alfa?" tebak Satya. Meski ragu Bestari akhirnya mengangguk. "Nanti nyusul katanya," jawab Bestari lalu mengambil alih Sabia karena bayi kecil itu mulai rewel. "Anak Mama haus?" Bestari menimang Sabia. "Bentar ya, Mama ambilin dotnya." "Biar aku yang saja." Dengan sigap Satya langsung mengambil tas bayi yang di pangku salah satu bodyguard di kursi depan. "Sini!" Seperti sudah hafal Satya langsung tahu dimana letak dot berisi susu yang tadi sudah disiapkan Bi Tutik. Setelah membuka penutup botol itu pun langsung diarahkannya ke
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuru
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba
"Wah..... bagus banget rumahnya," seru Anindya begitu keluar dari mobil. Matanya langsung disambut oleh pemandangan rumah dengan desain modern farmhouse American yang membuatnya tan henti-hentinya berdecak kagum. Ini kali pertama dirinya datang ke rumah kakak iparnya itu. "Semoga kamu betah di sini ya," ucap Tari sambil menggendong Sabia yang terlelap. Sementara Satya mengeluarkan koper dan tas mereka yang ada di dalam bagasi mobil. "Pasti, aku pasti akan betah." Anindya mengurai senyum lebar. "Ingat jangan kecewakan Tari," ujar Satya setelah meletakkan koper dan tas di di teras rumah yang langsung di ambil alih bibi dan pak sopir. "InsyaAllah, aku tidak akan mengecewakan semua orang lagi." Entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu Anindya. Sejak kemarin kakak laki-lakinya juga kedua orang tuanya terus mengingatkannya sehingga membuatnya harus mengulangi janjinya. "Sudah gak usah di dengerin," bisik Tari menggamit lengannya. "Ayo masuk," ajaknya mengajak adik ipar