Selesai makan siang, Alfa pamit lebih dulu karena ada meeting dadakan dengan bosnya yang baru kembali dari liburan di luar negeri. "Mau aku antar sekalian?" Alfa menawarkan diri untuk mengantar Bestari pulang sekalian balik ke kantor. "Nggak usah, takut nanti Kak Alfa malah telat sampai ke kantornya," tolak Bestari. "Aku pulang sama Sandra dan Jihan saja, ini juga masih ada yang ingin dibeli." "Ya sudah kalau begitu aku duluan. Ingat jangan pulang kesorean, sekarang musim hujan. Bahaya kalau nyetir saat hujan." Sebelum pergi Alfa mengelus kepala Bestari. "Siap Kak," sahut ketiganya kompak. Baru lima menit Alfa pergi, sebuah pesan masuk ke ponsel Sandra. Gadis itu langsung cemberut karena harus pergi lebih dulu. Ada urusan yang harus dia kerjakan dan itu berhubungan dengan usaha yang ingin dirintisnya. "Udah gak papa. Biar Tari pulang sama aku," ujar Jihan. "Padahal kan belum puas main," keluh Sandra manyun. "lain kali kan bisa, yang penting sekarang kerjaan dulu."
Pov Abisatya Siang ini aku ada meeting dengan wakil dengan rekan bisnisku di sebuah restoran yang ada di Mall pusat kota. Baru aku masuk area parkiran, tanpa sengaja aku melihat Alfa keluar dari mobilnya. Kulihat jam di pergelangan tangan, ada sedikit waktu. Kuputuskan untuk menuntaskan rasa penasaran dengan mengikutinya. Ternyata Alfa tidak sendiri, seorang wanita menunggunya di pintu masuk lantai tiga. Melihat Afa, wanita itu tersenyum dan mereka berjalan beriringan. Nampak sesekali berbincang selayaknya teman. Mungkin mereka rekan kerja atau teman lama. Aku mengenal Alfa cukup lama, sedikit banyak aku tahu sifatnya. Pendiam dan sulit ditebak. Kami mulai berteman sejak kecil. Pastinya sejak aku tinggal di rumah pemberian Tante Farah. Rumah yang berada tepat di sebelah rumah mewah keluarga Rahardian. Dan setelah bisnis Papa sukses, kami pindah ke rumah yang sekarang kami tempati Mengingat kenangan itu aku jadi menyesal ikut pindah. Seandainya tetap di sana mungkin hub
Bugh... Bugh.... Tubuhku tersengkur ke aspal jalan. Rasa nyeri di rahang membuatku pusing. "Astaga.... Kak...hentikan," teriak Bestari disusul tangisan Sabia. Meski tertatih aku berusaha bangun. Bestari berdiri di depanku. Dia menolehku sebentar lalu kembali menghadap kakaknya Sempat kulihat ibu dari putriku itu menatapku khawatir. Tiba-tiba rasa bahagia itu menyeruak di dalam dada. Meski hanya ekspresi tapi setidaknya dia masih peduli padaku. "Tari minggir! Biar aku hajar pria brengs*k itu. Berani-beraninya membawamu paksa." Suara Ganendra kera dan makin membuat tangis putriku pecah. "Jangan Kak, dia gak salah." Ganendra tergelak, "Ada apa denganmu, kenapa membelanya?" Bestari terlihat bingung apalagi suara Ganendra yang keras membuat putri kami menangis ketakutan. "Ganendra, kecilkan suaramu! Kau menakuti putriku," ujarku menahan diri untuk tidak meninggikan suara. Bestari menoleh, ekspresinya terlihat serba salah. "Putriku? Ha ha...." Ganendra terta
"Ya... biar Papa gak salah faham seperti Kak Ganendra." Bestari salah tingkah. "Apa Ganendra memukulmu lagi?" "Iya, Om. Tadi dia salah faham, dia kira saya memaksa Tari......." Aku menjelaskan semuanya secara detail. Om Ibra tidak hanya mendengarkan, dia juga mengonfirmasi kebenarannya pada Bestari. "Sudah kan?" tanyanya yang membuatku bingung. "Maksudnya Om?" "Sudah kan, ganti baju dan ngobatin lukanya?" Aku spontan mengangguk. "Kalau begitu silahkan pergi," Aku cukup kaget dengan kalimat terakhir Om Ibra. Suami istri sama saja, sukanya php-in orang. Tadi istri menyuruh masuk untuk ganti baju tapi tidka mengizinkanku menggendong putriku. Dan sekarang suaminya, bertanya ini itu tapi pada akhirnya mengusir. "Iya, Om. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucapku lalu berjalan menuju pintu keluar. Om Ibra mengikutiku sampai depan. "Satya," panggilnya dan aku langsung menoleh. "Iya Om," "Dengar, Sabia memang putrimu dan kamu punya hak untuk dekat
Seperti yang sudah direncanakan, siang ini Abisatya dan seluruh keluarganya datang ke rumah Bestari untuk pertemuan keluarga untuk kedua kalinya. Dengan Dirga sebagai penengah. "Ingat, nanti kamu harus minta maaf yang benar. Jangan bikin malu Mama di depan Pakde Dirga. " Aisyah menoleh pada Anindya. "Pakde sudah bolak balik dari solo kesini cuma buat bantu kita. Jadi, jangan bikin kecewa," "Iya Ma," jawab Anindya lalu mendengus. Sudah sepuluh kali dia mendengar kalimat itu. Sejak mobil keluar dari pelataran rumah mereka sampai detik ini. Setelah mendapat nasihat dari Papanya dan Satya kemarin malam Anindya sudah benar-benar menyadari kesalahannya dan hari ini siap untuk meminta maaf pada Bestari dan semua keluarga Rahardian tak terkecuali Jihan, istri Ganendra. "Mama tahu ini pasti berat untuk kamu, tapi yang namanya cinta itu gak bisa dipaksakan." Aisyah mengelus kepala putrinya. "Jadikan kisah hidup kakakmu sebagai pelajaran. Jangan sampai kamu menyesal seumur hidupmu,"
Farah yang dari tadi diam tak bisa menahan diri. Dengan ketus dia mengeluarkan unek-uneknya. Selama dua tahun Anindya tidak pernah sekalipun mencoba datang untuk meminta maaf atas semua fitnahnya pada Bestari. "Saya benar-benar menyesal Tante, saya minta maaf." Kembali Anindya mengucapkan permintaan maafnya. "Anindya benar-benar sudah menyesal dan menyadari semua kesalahannya, Farah. Tolong maafkan dia." Aisyah ikut meminta maaf. Jika di dalam rumahnya Aisyah tak segan memarahi bahkan mengusir Anindya namun, disaat putrinya itu terpojok Aisyah tidak tega dan berusaha membelanya meski dia tahu anaknya itu bersalah. Ya, itulah kasih sayang seorang ibu yang kadang tidak disadari oleh anak-anaknya. "Jika Anindya yang difitnah wanita liar, murahan, tidak perawan, keluar masuk hotel dan gonta-ganti pacar. Apa kamu terima?" Farah balik bertanya dan Aisyah terdiam tak bisa menjawab. Jangankan anaknya dibilang liar, dikatakan jelek saja hatinya sakit. "Untuk masalah ini, anakm
Pertemuan telah selesai dan diakhiri dengan saling memaafkan. Semua orang bersalaman dan berpelukan. Aisyah dan Farah, Ibra dan Farhan. Begitu juga dengan Anindya, dia menyalami Bestari dan meminta maaf. Mereka juga berpelukan. Tak ketinggalan dengan Ganendra pun menyambut uluran tangan Abisatya. "Maaf untuk semuanya," ucap Abisatya dan Ganendra hanya mengangguk. Ketika semua orang sudah saling bersalaman Bestari terus menghindari Abisatya. Wanita berparas cantik itu melangkah mundur dan malah bersembunyi dibalik punggung ayahnya ketika Abisatya mengulurkan tangan ke depannya. Rasa takut dan trauma itu masih membekas. Setiap kali melihat tangan besar Satya ingatannya akan kejadian buruk itu tiba-tiba muncul. Bayangan tangan Satya menariknya paksa dan menjamahnya dengan brutal tidak bisa hilang dari ingatannya. "Luka yang kamu berikan tak semudah itu sembuh hanya dengan kata maaf." Ibra merentangkan tangannya. "Putriku bisa berbicara denganmu tapi tidak dengan bersentuha
Pagi ini Bestari berniat untuk menjenguk ayah Jihan yang masih dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan tiga hari yang lalu. Sebelumnya Bestari memberi asi Sabia supaya bayinya itu tidak rewel saat dia pergi. "Ma, nitip Sabia sebentar ya! Hari ini aku jadi jenguk ayahnya Jihan." Bestari menyerahkan putrinya yang sudah mulai mengantuk setelah diberi asi itu. "Iya, sini cucu kesayangan Oma di rumah aja, diluar panas." Dengan gemas Farah mencium pipi Sabia. "Agak lama juga gak papa, kasihan Jihan dari kemarin gak ada yang gantikan jaga Ayahnya." Farah sedih teringat saat menjenguk besannya semalam. Banyaknya masalah membuat Farah baru sempat menjenguk besannya itu setelah dua hari mendengar kabar kecelakaan. "Loh, ibunya kemana, Ma?" "Ibunya sudah kembali ke ke rumahnya di jogja. Adiknya kan harus sekolah. Kemarin Mama sudah tawarin buat sewa perawat tapi Jihan nolak. Kayaknya dia lagi marahan sama Kakakmu," cerita Farah. "Ck... salah Kak Ganendra juga. Jadi orang negati