Hari minggu pagi, Abisatya mengajak kedua orang tuanya untuk mendatangi kediaman keluarga Rahardian yang baru diketahuinya dua hari yang lalu. "Kamu sudah tahu rumah baru mereka?" tanya Farhan di tengah perjalanan. "Setahu Papa, Ibra dan Ganendra tinggal di apartemen dekat kantor mereka tapi selama ini tidak pernah terlihat ada Farah ataupun Bestari." Lanjutnya sembari memandang ke arah jalanan yang dia rasa berbeda dengan jalanan menuju apartemen yang barusan dia katakan. "Kemarin orangku sudah mendapatkan alamat mereka yang baru. Aku susupkan dua orang di acara pernikahan Ganendra untuk mengikuti Tari selesai acara," jelas Abisatya. "Kok bisa? Memangnya kamu tahu tempat pernikahannya?" Farhan cukup terkejut dan memberondong sang putra dengan pertanyaan. "Mama gak cerita?" tanya Satya melirik Aisyah yang duduk di kursi belakang. Aisyah pun membuang muka. "Tidak," jawab Farhan lalu melirik istrinya yang masih setia dengan kediamannya. "Papa juga nggak nanya." "Aku
"Kita tunggu Mas Dirga baru bicara," ucap Ibra saat Abisatya hendak membuka mulut. Dan pria itu pun menurut. Sama sekali tak membantah. Hanya matanya yang sesekali mengarah ke dalam rumah, berharap retina matanya bisa menangkap keberadaan Tari dan putrinya. "Iya, baik. Kita tunggu Mas Dirga saja. Biar dia yang menengahi." Farhan menyetujui ucapan Ibra. Namun Ibra yang masih sakit hati tak menyahut, sibuk dengan layar ponselnya. Mengirim pesan pada Ganendra supaya mengirim beberapa bodyguard ke rumah untuk berjaga-jaga. Farhan menoleh pada istrinya. "Kamu yang meminta Mas Dirga datang?" bisiknya di telinga Aisyah. "Hemm..." Aisyah mengangguk tapi tak ingin menjelaskan. Sehari sebelum pernikahan Ganendra, Aisyah memutuskan untuk meminta bantuan saudara yang mereka tua-kan. Menceritakan awal mula permasalahan dan meminta untuk ditengahi." Dan saat suami dan putranya turun untuk berbicara pada Security Aisyah menelpon sepupu tertua mereka dari sang nenek itu, sudah sampa
"Lalu Danisa? Bukankah dia hamil anakmu?" Tari menatap tajam Abisatya. Kesal bercampur marah menggunung di dadanya. Bagaimana tidak marah? Di saat dirinya berjuang antara hidup dan mati di atas ranjang operasi untuk melahirkan Sabia tapi Abisatya malah merancang pernikahannya dengan Danisa. "Tidak, aku tidak pernah menikahinya." Abisatya membantah dengan tegas. "Periksalah ktp-ku, statusku masih duda," tambahnya meletakkan dompetnya di atas meja. Nampak ekspresi keterkejutan di wajah Bestari dan detik berikutnya menatapnya nyalang. "Dasar lelaki tidak bertanggung jawab," cibirnya lalu membuang muka. Abisatya menarik nafas panjang, benar kata orang wanita memang mahluk Tuhan yang paling istimewa. "Sudah-sudah, sebaiknya kalian pulang dulu saja." Melihat situasi yang mulai memanas, Dirga memutuskan untuk menghentikan pembicaraan siang ini. "Maaf, bolehkah saya minya izin bertemu cucu sebentar, untuk memberikan sedikit hadiah," mohon Aisyah. Farah melirik paper bag de
Pukul sepuluh siang, Sandra menjemput Bestari untuk jalan-jalan sekalian makan siang di luar. "Sabia biar di rumah aja sama Mama. Kamu pergilah berdua sama Sandra," kata Farah saat Bestari izin hendak keluar. "Nggak ah Ma, Sabia biar aku ajak saja. Ntar malah nangis nyariin aku. Malah rewel nyusahin Mama." "Ngomong apa kamu itu, mana ada cucu secantik ini nyusahin Mama. Yang ada malah bikin kangen terus..." Farah menciumi bayi yang baru merayakan ulang tahunnya sebulan yang lalu itu. "Loh Te.... aku juga mau ngajak Sabia... mau tak belikan baju Tante buat hadian ulang tabunya kemarin. Kan aku gak bisa dateng karena wisuda." Sandra mengerucutkan bibirnya. "Bolehlah Tante, aku ajakin cucunya yang cantik ini keluar. Lagian kita nanti makannya di kafe khusus ibu-ibu muda. Jadi, ada area untuk bayinya." Sandra memeluk Farah dari samping, berusaha merayu kakak ipar dari mamanya itu. "Boleh, tapi..... jaga baik-baik anak dan cucu Tante ya..." "Siap laksanakan," ucap Sandra m
Selesai makan siang, Alfa pamit lebih dulu karena ada meeting dadakan dengan bosnya yang baru kembali dari liburan di luar negeri. "Mau aku antar sekalian?" Alfa menawarkan diri untuk mengantar Bestari pulang sekalian balik ke kantor. "Nggak usah, takut nanti Kak Alfa malah telat sampai ke kantornya," tolak Bestari. "Aku pulang sama Sandra dan Jihan saja, ini juga masih ada yang ingin dibeli." "Ya sudah kalau begitu aku duluan. Ingat jangan pulang kesorean, sekarang musim hujan. Bahaya kalau nyetir saat hujan." Sebelum pergi Alfa mengelus kepala Bestari. "Siap Kak," sahut ketiganya kompak. Baru lima menit Alfa pergi, sebuah pesan masuk ke ponsel Sandra. Gadis itu langsung cemberut karena harus pergi lebih dulu. Ada urusan yang harus dia kerjakan dan itu berhubungan dengan usaha yang ingin dirintisnya. "Udah gak papa. Biar Tari pulang sama aku," ujar Jihan. "Padahal kan belum puas main," keluh Sandra manyun. "lain kali kan bisa, yang penting sekarang kerjaan dulu."
Pov Abisatya Siang ini aku ada meeting dengan wakil dengan rekan bisnisku di sebuah restoran yang ada di Mall pusat kota. Baru aku masuk area parkiran, tanpa sengaja aku melihat Alfa keluar dari mobilnya. Kulihat jam di pergelangan tangan, ada sedikit waktu. Kuputuskan untuk menuntaskan rasa penasaran dengan mengikutinya. Ternyata Alfa tidak sendiri, seorang wanita menunggunya di pintu masuk lantai tiga. Melihat Afa, wanita itu tersenyum dan mereka berjalan beriringan. Nampak sesekali berbincang selayaknya teman. Mungkin mereka rekan kerja atau teman lama. Aku mengenal Alfa cukup lama, sedikit banyak aku tahu sifatnya. Pendiam dan sulit ditebak. Kami mulai berteman sejak kecil. Pastinya sejak aku tinggal di rumah pemberian Tante Farah. Rumah yang berada tepat di sebelah rumah mewah keluarga Rahardian. Dan setelah bisnis Papa sukses, kami pindah ke rumah yang sekarang kami tempati Mengingat kenangan itu aku jadi menyesal ikut pindah. Seandainya tetap di sana mungkin hub
Bugh... Bugh.... Tubuhku tersengkur ke aspal jalan. Rasa nyeri di rahang membuatku pusing. "Astaga.... Kak...hentikan," teriak Bestari disusul tangisan Sabia. Meski tertatih aku berusaha bangun. Bestari berdiri di depanku. Dia menolehku sebentar lalu kembali menghadap kakaknya Sempat kulihat ibu dari putriku itu menatapku khawatir. Tiba-tiba rasa bahagia itu menyeruak di dalam dada. Meski hanya ekspresi tapi setidaknya dia masih peduli padaku. "Tari minggir! Biar aku hajar pria brengs*k itu. Berani-beraninya membawamu paksa." Suara Ganendra kera dan makin membuat tangis putriku pecah. "Jangan Kak, dia gak salah." Ganendra tergelak, "Ada apa denganmu, kenapa membelanya?" Bestari terlihat bingung apalagi suara Ganendra yang keras membuat putri kami menangis ketakutan. "Ganendra, kecilkan suaramu! Kau menakuti putriku," ujarku menahan diri untuk tidak meninggikan suara. Bestari menoleh, ekspresinya terlihat serba salah. "Putriku? Ha ha...." Ganendra terta
"Ya... biar Papa gak salah faham seperti Kak Ganendra." Bestari salah tingkah. "Apa Ganendra memukulmu lagi?" "Iya, Om. Tadi dia salah faham, dia kira saya memaksa Tari......." Aku menjelaskan semuanya secara detail. Om Ibra tidak hanya mendengarkan, dia juga mengonfirmasi kebenarannya pada Bestari. "Sudah kan?" tanyanya yang membuatku bingung. "Maksudnya Om?" "Sudah kan, ganti baju dan ngobatin lukanya?" Aku spontan mengangguk. "Kalau begitu silahkan pergi," Aku cukup kaget dengan kalimat terakhir Om Ibra. Suami istri sama saja, sukanya php-in orang. Tadi istri menyuruh masuk untuk ganti baju tapi tidka mengizinkanku menggendong putriku. Dan sekarang suaminya, bertanya ini itu tapi pada akhirnya mengusir. "Iya, Om. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucapku lalu berjalan menuju pintu keluar. Om Ibra mengikutiku sampai depan. "Satya," panggilnya dan aku langsung menoleh. "Iya Om," "Dengar, Sabia memang putrimu dan kamu punya hak untuk dekat
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuru
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba
"Wah..... bagus banget rumahnya," seru Anindya begitu keluar dari mobil. Matanya langsung disambut oleh pemandangan rumah dengan desain modern farmhouse American yang membuatnya tan henti-hentinya berdecak kagum. Ini kali pertama dirinya datang ke rumah kakak iparnya itu. "Semoga kamu betah di sini ya," ucap Tari sambil menggendong Sabia yang terlelap. Sementara Satya mengeluarkan koper dan tas mereka yang ada di dalam bagasi mobil. "Pasti, aku pasti akan betah." Anindya mengurai senyum lebar. "Ingat jangan kecewakan Tari," ujar Satya setelah meletakkan koper dan tas di di teras rumah yang langsung di ambil alih bibi dan pak sopir. "InsyaAllah, aku tidak akan mengecewakan semua orang lagi." Entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu Anindya. Sejak kemarin kakak laki-lakinya juga kedua orang tuanya terus mengingatkannya sehingga membuatnya harus mengulangi janjinya. "Sudah gak usah di dengerin," bisik Tari menggamit lengannya. "Ayo masuk," ajaknya mengajak adik ipar