Di sisi lain, Alfa pergi menemui Rendra untuk yang kedua kalinya. Setelah sebelumnya bersama Ganendra dan Satya. Namun kali ini dia membawa Sandra, berharap adiknya itu sadar dengan kebodohannya. "Kak Alfa bohong kan, Pak? Gak mungkin Pak Rendra meminta syarat itu," tanya Sandra dengan wajah sendunya. Hatinya kekeh tak percaya saat diberitahu oleh Alfa tentang permintaan Rendra sebagai syarat untuk menikahinya. "Tidak. Itu memang benar." Sandra membelalak tak. percaya. "Aku akan menikahimu dengan satu kesepakatan, Tari dan Satya tidak boleh kembali bersama." Begitu ringannya Satya berbicara tanpa memikat perasaan Sandra yang tiba-tiba porak-poranda oleh kalimatnya itu. Sandra menahan nafas, dadanya mendadak terasa sesak. Harukah dirinya bersaing dengan sepupunya sendiri demi cinta Rendra? "Ma-maksud Pak Rendra apa?" tanya Sandra dengan mata yang sudah dipenuhi dengan air mata yang siap meluber hanya dengan satu kedipan. "Aku punya alasan untuk hal itu dan kamu harus b
Setelah acara mengharu biru semua keluarga makan malam bersama. Tadi Satya dan Tari juga belum sempat makan malam karena setelah lamaran diterima Satya sibuk dengan persiapan akad nikah. Sedang Tari telah kehilangan rasa laparnya karena rasa bahagia. "Sini biar Sabia sama Oma dan Uti saja." Aisyah mengambil alih bayi cantik itu tadinya di pangku Satya. "Pengantin baru nikmati moment berdua saja, silahkan bermesraan. Anggap saja kami tak ada," tambah Farah menarik pasangan pengantin baru untuk duduk di kursi yang bersebelahan. Tak menolak Tari dan Satya menurut saja. Satya menarik kursi untuk Tari lebih dulu setelahnya baru duduk. Sikapnya langsung mendapat satu senyuman bangga dari sang Mama. Betapa lega Aisyah melihat perubahan sikap Satya. Pria dingin itu mulai bisa bersikap lembut dan penuh perhatian. "Ayo semuanya duduk," ucap Farah memberi aba-aba. Untuk makan malam, Satya memesan meja panjang agar semua orang bisa duduk dan makan satu meja. Ada enam belas
"Tari," panggil Satya. "Bolehkah aku tidur di sebelahmu?" tanyanya menoleh. Tatapan itu langsung bertabrakan. Posisi Tari juga sesang menatap Satya. Dua wajah itu berhadapan meski terpisah ada jarak yang kurang darinsatu meter. "Jantungku berdegup kencang, Tari. Apa kamu jiga merasakannya?" tanya Satya. "Hem..." jawab Tari malu. "Berarti kamu masih mencintaiku." Satya tersenyum lebar. "Kalau begitu bolehkan aku tidur sambil memelukmu?" tanyanya lagi. "Hanya memeluk," tambah Satya berusaha meyakinkan Tari. Takut Tari masih merasa trauma. "Hemm...." Kembali Tari hanya menjawab dengan deheman tanpa berani menatap lansung mata Satya. "Benarkah?" "Iya," jawab Tari mengizinkan. Tak. mungkinnuga dia menolak. Sekarang status meraj usah kemabli sebagai suami istri. Pasti Dosa jika Tari menolak. Satya langsung beranjak bangun. Diletakkan guking di samping Sabia. Setelahnya segera pindah tempat di belakang tubuh Tari. Pelan tangannya dilingkarkan di perut rata Tari. Ta
Pagi ini untuk pertama kalinya Satya dan Tari sholat berjamaah shubuh berdua. Hati Satya bergetar hebat saat terdengar kata amin dibelakangnya sesaat selesai membaca surat Al-Fatihah. Akhirnya setelah sekian purnama saat yang paling ditunggunya bisa terjadi. Dan InshaAllah untuk selamanya. Selesai salam dan berdoa sang imam berbalik kebelakang. Mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Tari dan diciumnya dengan takdim. Sekali lagi rasa haru itu menyusup kedalam dadanya. Rasa syukur tak henti ia ucapan salam hati. "I love you.." ucapnya lalu mengecup puncak kepala sang istri. "Makasih untuk semuanya sayang," ucapnya sambil menakup wajah cantik yang masih memakai mukena. "Boleh aku cium?" tanyanya yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Tari. Tak menunggu lama Satya langsung mendaratkan kecupan di pipi kanan kiri, dahi, hidung, dagu dan terakhir di bibir Tari. Meski hanya menempel tapi cukup lama. Tak ayal memicu detak jantung keduanya jadi tak beraturan. "
Seperti isi pesan Sandra melalui ponsel pelayan hotel, pagi-pagi Tari dan Jihan mendatangi kamar Sandra. Namun saat diketuk yang keluar malah Tante Nura, mamanya Sandra. "Mau kemana?" tanya Tante Nura lembut seperti biasa. Wanita jalem dan murah senyum itu mengekus kepala Tari sayang. "Mau beli roti di depan Tante," jawab Tari. "Habis itu duduk di taman hotel dekat kolam renang. Nggak lama kok Te, cuma ngobrol sebentar." "Iya Te, cuma mau kangen-kangenan sebentar." Jihan ikut menambahi. Setelah berbagai pertanyaan akhirnya mereka bisa juga membawa Sandra keluar. "Sebenarnya apa sih yang sudah kamu lakukan, sampai Tante Nura segitunya?" tanya Jihan saat ketiga sahabat itu berjalan menuju toko roti yang ada seberang Hotel. "Entar aja ceritanya sekarang kita beli dulu roti dan segera balik," jawab Sandra masuk lebih dulu ke dalam toko. Tari dan Jihan saling pandang, "Lama-lama dia kok jadi nyebelin sih," ujar Jihan sedikit kesal. "Sudah jangan diambio hati, kayak g
Yang terjadi sebelum menghadiri makan malam setelah acara akad nikah Satya dan Tari. "Gugurkan kandunganmu!!!" "Ma, plis....bantu aku Ma," ucap Sandra memohon pada sang mama yang duduk tenang di ujung tempat tidur. Tak ada ekspresi sedih ataupun iba melihat putrinya ditampar oleh suaminya sendiri "Memang apa yang harus Mama lakukan?" tanya Nura menatap putrinya itu datar dan terkesan cuek. "Haruskah Mama melawan Papamu untuk membela kamu yang sudah jelas-jelas mempermalukan keluarga kita?" "Aku mencintainya, Ma..tolong mengertilah,.." rengek Sandra putus asa, persis anak kecil yang takut kehilangan maianannya. "Bod*h!!!" bentak Nura keras sampai membuat Sandra berjingkat karena kaget. Dia tahu mamanya itu keras, namun dia tidak menyangka mamanya akan semarah ini. "Cinta katamu?" katanya lagi lalu melangkah mendekati Sandra yang bersimpuh di lantai. "Apa kamu pikir cinta bisa membuatmu bahagia, bisa membuatmu memiliki segalanya? Katakan!! Apa kamu bisa kenyang hanya d
Selesai sarapan seperti rencana awal Satua memboyong keluarga besarnya untuk mengunap di villa yang baru dibelinya. "Besok hari minggu Sayang... Anggap saja untuk menghilangkan penat. Seninnya kembali pada rutinitas semula," ucap Satya saat diperjalanan. Satya dan Tari satu mobil dengan Andra sebagai sopir. Tadi pagi Andra menyusul. Sabtu-minggu kantor libur jadi asisten pribadi Satya itu bisa menyusul. "Tadi kamu sudah ajak Sandra?" tanya Satya kembali berbicara sambil memegangi Sabia yang sedang aktif-aktifnya. "Nggak, kan sudah diajak Mama tapi gak mau." Tari terlihat cuek malah asyik dengan ponselnya. Satya tersenyum tipis, memang sejak dulu istrinya itu paling tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Jika marah atau kesal kepada seseorang, dia tidak akan mau berbicara dengan orang tersebut. "Kamu marah sama Sandra karena cerita Jihan?" tanya Satya lagi. Tari melipat bibirnya kedalam, seolah tak ingin menjawab. Matanya masih tertuju pada layar ponsel dengan tang
"Sayang...." panggil Satya dari dalam kamar. "Tolong bantu pakai dasi," pinta Satya dengan kepala melongok keluar pintu dari dalam kamar. Tari yang sedang membantu Bibi menyiapaka makanan di buat malu dengan sikap maja Satya. "Iya," jawabnya lalu beepamitan pada Bibi. "Saya tinggal sebentar ya Bik, sekalian mandiin Sabia," katanya lalu berlalu masuk ke dalam kamar. Wanita parih baya itu tersenyum, meski masoh sedikit ada rasa tak suka pada Satya namun melihat kebahagiaan di wajah Tari membuat wanita yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Rahardian itupun turut berbahagia dan mulai bersikap lebih ramah pada majikan barunya itu. "Iya, Mbak. Dapur biar saya yang urus," jawbanya mengulum senyum. Sejak mereka kembali dari Malang, Satya berubah jadi sangat manja dan bergantung pada Tari. Hampir smeua hal yang biasanya dilakukan sendiri kini harua melibatkan Tari. "Dasinya cuma ada tiga, mau aku belikan lagi atau mau ambil yang di rumah kontrakan?" Sambil sibuk me
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s