"Sayang...." panggil Satya dari dalam kamar. "Tolong bantu pakai dasi," pinta Satya dengan kepala melongok keluar pintu dari dalam kamar. Tari yang sedang membantu Bibi menyiapaka makanan di buat malu dengan sikap maja Satya. "Iya," jawabnya lalu beepamitan pada Bibi. "Saya tinggal sebentar ya Bik, sekalian mandiin Sabia," katanya lalu berlalu masuk ke dalam kamar. Wanita parih baya itu tersenyum, meski masoh sedikit ada rasa tak suka pada Satya namun melihat kebahagiaan di wajah Tari membuat wanita yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Rahardian itupun turut berbahagia dan mulai bersikap lebih ramah pada majikan barunya itu. "Iya, Mbak. Dapur biar saya yang urus," jawbanya mengulum senyum. Sejak mereka kembali dari Malang, Satya berubah jadi sangat manja dan bergantung pada Tari. Hampir smeua hal yang biasanya dilakukan sendiri kini harua melibatkan Tari. "Dasinya cuma ada tiga, mau aku belikan lagi atau mau ambil yang di rumah kontrakan?" Sambil sibuk me
"Maaf Bu, saya kesini untuk mengingatkan Bu Tari agar menjaga kesopanan dan norma-norma selama tinggal di sini. Jangan sampai berbuat nista yang dapat menyebabkan malapetaka di kompleks ini." "Astaghfirullah...." Tari mengelus dadanya. "Eh,...Bu dibilangin kok malah istighfar?" ujar salah satu ibu-ibu yang tadi menggunjing Tari. "Terus saya harus gimana? Berterima kasih atau meminta maaf karena dighibahin dan difitnah sama Ibu dan teman-teman Ibu?" Tari sudah tersulut emosinya. Dia bisa terima dibilang janda. Tapi, tidak untuk simpanan Om-om. Apalagi dibilang berbuat nista, kesabarannya mendadak lenyap menguap entah kemana? "Eh... ternyata nyolot juga, kelihatannya aja kalem dan lemah lembut. Ternyata pemain handal," cibir wanita yang Tari bahkan tidak tahu namanya. Wanita itu tinggal di deretan depan rumah Tari. Kalau tidak salah suaminya bernama Pak Rizal. Seorang tentara yang jarang pulang. Tari tahu juga karena wanita itu sendiri yang cerita saat awal-awal di pinda
Pukul lima sore Satya sampai di rumah. Sembari menunggu pria itu mandi dan sholat Tari membuatkan kopi juga sepiring camilan yang terbuat dari terigu yang dicampur sayuran dan bumbu, bakwan sayur kalah kata orang jakarta. Dijawabnya ke meja ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali diliriknya pintu kamar, menunggu Satay keluar. "Sini, aku buatkan kopi sama bakwan sayur." Tari melambaikan tangannya begitu pintu kamar terbuka. Sebuah senyum muncul di bibir Satya. Beban pekerjaan langsung hilang mendapat perhatian dari sang istri. "Sabia mana?" tanya Satya setelah mendaratkan pantatnya di atas sofa tepat disamping Tari. "Disuapi makan sama Bibi di depan." Mendengar jawaban Tari Satya mengerutkan dahinya. Tumben sekali istrinya itu menyerahkan tugas menyuapi pada sang asisten rumah tangga. "Cobalah," ucap Tari lagi sambil menyodorkan sepiring bakwan jagung yang masih hangat. Satya mengambil satu dan mencicipinya. "Enak, masih hangat lagi." Satya memuji dengan m
Sejak ada masalah dengan ibu-ibu komplek, Satya tidak mengizinkan Tari untuk keluar rumah. Walau hanya sekedar belanja di tukang sayur. Bahkan untuk mengantarnya berangkat kerja hanya sampai terasa saja. "Di rumah aja, kalau ada urusan dengan Kafe suruh karyawan perempuan yang datang ke sini," ucap Satya saat Tari menemaninya sarapan. Satya tipikal laki-laki yang mendominasi pasangannya. Semua hal yang dilakukan Tari harus sepengetahuan dan seizin dirinya. Satya juga tidak suka dibantah namun sangat perhatian dan sayang keluarga. Selesai sarapan Satya mencium pipi putrinya yang duduk anteng diatas kursi bayinya menikmati sarapannya. "Papa kerja dulu, ya sayang.... Jagain Mama dan jangan rewel." Sebuah kecupan didaratkan Satya di puncak kepala Sabia setelah melangkah keluar diikuti Tari dibelakangnya. "Aku berangkat ya," ucap Satya di depan pintu depan. "Iya, Kak." Tari mengambil tangan Satya lalu mencium punggung tangannya takdim. "Ada banyak pekerjaan. Mungkin nan
"Kak, di pabrik ada masalah?" tanya Tari setelah Satya meletakkan gelas yang bekas minumnya setelah makan malam. Jam sembilan malam Satya baru pulang. Dan saat sampai dia mengeluh sangat lapar karena bekum makan malam. Dengan hati yang sedikit dongkol tapi berusaha tetap tersenyum Tari pun menghangatkan makanan yang sudah dimasaknya sore tadi. Kari ayam dengan sambal goreng pedas ati ampela. "Masalah apa? Nggak ada kok," jawab Satya dengan senyum di wajahnya. "Aku pulang malam karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum peresmian." "Kak Satya yakin?" Tari menatap lekat wajah lelah suaminya. "Yakin. Hanya saja, sepertinya tidak bisa beroperasi sesuai jadwal. Bekum siap." "Belum siap atau dananya yang gak ada?" Satya menatap Tari yang juga menatapnya. "Erika membatalkan kontrak kerjaan sama kan?" tanya Tari lagi. Satya mendesah berat. "Pasti Jihan yang memberitahumu?" tebaknya. Ganendra pasti yang menyuruh istrinya untuk memberitahu Tari karena Sa
"Ma-maksudnya?" Tari memicingkan matanya. Satya tersenyum, tangannya bergerak menyentuh bibir sang istri yang terlihat memerah akibat ciumannya. "Dengerin baik-baik ya," katanya menakup wajah cantik yang sudah membuatnya tergila-gila itu. " Sebelum kamu lahir, aku adalah orang yang paling menantikan kehadiranmu setelah Papa Ibra. Aku orang pertama yang tahu kamu akan diberi nama Bestari Ayu dan akulah orang yang memberimu nama panggilan Tari." Sebuah kecupan Satya daratkan di bibir tipis yang begitu menggodanya. Dia selalu tak bisa mengendalikan diri jika menatap bibir merah muda itu lama-lama. Tari menggeliat dan mendorong dada Satya. "Ck, mau cerita nggak sih?" Tari sedikit kesal. "Iya... iya maaf. Aku tak bisa menahan diri kalau sama kamu." Satya menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Tarii menaikkan kakinya lalu bersila menghadap Satya. Memberi jarak agar pria itu tak lagi menciumnya sampai ceritanya selesai. Satya tersenyum lebar melihat tingkah istri kecilnya itu
"Bestari Ayu, katakan yang sebenarnya!!" Nada suara Satya berubah dingin. Pria itu menangkap ada yang tidak beres. "Ok baiklah aku akan jujur." Tari menyerah. "Tapi janji jangan marah sama Anindya, ya!!" pinta Tari dengan wajah memelas. Satu alis Satya terangkat, ada apa lagi dengan adiknya itu. "Iya," jawabnya singkat. "Aku ke hotel atas permintaan Anindya." Satya terdiam, meski begitu matanya melebar menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya. "Apa? bisa ulangi," "Anindya yang memintaku datang ke hotel." Tari mengulangi ucapannya. "Untuk apa dia memintamu ke hotel?" Wajah Satya langsung memerah. Mendadak otak dipenuhi banyak pertanyaan. Tari mulai ragu untuk jujur, ingin berbohong saja tapi sorot mata Satya membuatnya tak berani mengambil resiko ketahuan dan sudah dipastikan kemarahannya makin besar. Mau tak mau Tari memilih jujur. "Anindia memintaku mengantarkan baju ganti dan dalam untuknya. Kadang juga minta diantarkan seragam sekolah dan sepatu," jawab
Pagi ini seperti biasa, Tari menemani Satya sarapan sambil menyuapi Sabia. Bayi itu semakin aktif dan tidak bisa diam. Seperti pagi ini, saking aktifnya sampai menumpahkan bubur tim yang baru saja ditaruh. "Astaghfirullah...." pekik Tari panik. Karena takut nasi tim yang panas itu mengenai Sabia, tanpa pikir panjang Tari segera mengambil tumpahan nasi tim itu dengan tangan kosong memasukkan kembali di wadah makan. "Bik tolong angkat Sabia," pintanya pada Bibi. Dengan cepat Bibi berlari dari dapur. Namun kalah cepat dengan Satya. Dia sudah mengangkat Sabia dari kursinya. "Tolong Bik," Satya menyerahkan Sabia ke Bibi. "Jangan pakai tangan, nasi timnya panas." Satya menarik tangan Tari dan membawanya ke wastafel. Dikucurnya tangan Tari di bawah kran air. "Harusnya tadi kamu langsung angkat Sabia. Jangan pikirin nasi timnya," tutur Satya lagi. "Aku takut nasih timnya kena kaki Sabia kalau langsung aku angkat." Tari memberi alasan. Kejadiannya sangat cepat. Tari tak sempat b
"Tu-tunggu-tunggu," ucap Anindya mengangkat tangannya ke depan. Gadis itu segera bangkit dari duduknya setelah sadar dari keterkejutannya. "Kak Guntur jangan bercanda, kita gak pernah ada hubungan. Lagian kapan kita membicarakan tentang ini?" protesnya. "Loh... gimana sih?" Aisyah menatap Guntur dan putrinya itu bergantian. Tari menarik Anindya agar kembali duduk di tempatnya. "Duduklah," bisiknya memegangi lengan adik iparnya itu Mendadak suasana jadi canggung, semua yang ada di ruangan itu saling pandang. Terutama keluarga dari pihak Guntur, terlihat bingung dan malu. "Tur, ini maksudnya apa?" Ariotedjo memukul lengan putranya, merasa was-was jika lamaran mereka ditolak. "Kamu yang benar," "Benar Pah. Aku sudah lamar secara privat dan Anindya nerima," jawab Guntur. "Kapan?" sahut Anindya menatap Guntur. "Dua minggu lalu, di kedai eskrim. Kan kamu sendiri yang bilang setuju nikah sama aku bulan depan." "Hah!!!" Anindya mengerutkan dahinya. Berusaha menggali ing
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuruh
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba