"Maaf Bu, saya kesini untuk mengingatkan Bu Tari agar menjaga kesopanan dan norma-norma selama tinggal di sini. Jangan sampai berbuat nista yang dapat menyebabkan malapetaka di kompleks ini." "Astaghfirullah...." Tari mengelus dadanya. "Eh,...Bu dibilangin kok malah istighfar?" ujar salah satu ibu-ibu yang tadi menggunjing Tari. "Terus saya harus gimana? Berterima kasih atau meminta maaf karena dighibahin dan difitnah sama Ibu dan teman-teman Ibu?" Tari sudah tersulut emosinya. Dia bisa terima dibilang janda. Tapi, tidak untuk simpanan Om-om. Apalagi dibilang berbuat nista, kesabarannya mendadak lenyap menguap entah kemana? "Eh... ternyata nyolot juga, kelihatannya aja kalem dan lemah lembut. Ternyata pemain handal," cibir wanita yang Tari bahkan tidak tahu namanya. Wanita itu tinggal di deretan depan rumah Tari. Kalau tidak salah suaminya bernama Pak Rizal. Seorang tentara yang jarang pulang. Tari tahu juga karena wanita itu sendiri yang cerita saat awal-awal di pinda
Pukul lima sore Satya sampai di rumah. Sembari menunggu pria itu mandi dan sholat Tari membuatkan kopi juga sepiring camilan yang terbuat dari terigu yang dicampur sayuran dan bumbu, bakwan sayur kalah kata orang jakarta. Dijawabnya ke meja ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali diliriknya pintu kamar, menunggu Satay keluar. "Sini, aku buatkan kopi sama bakwan sayur." Tari melambaikan tangannya begitu pintu kamar terbuka. Sebuah senyum muncul di bibir Satya. Beban pekerjaan langsung hilang mendapat perhatian dari sang istri. "Sabia mana?" tanya Satya setelah mendaratkan pantatnya di atas sofa tepat disamping Tari. "Disuapi makan sama Bibi di depan." Mendengar jawaban Tari Satya mengerutkan dahinya. Tumben sekali istrinya itu menyerahkan tugas menyuapi pada sang asisten rumah tangga. "Cobalah," ucap Tari lagi sambil menyodorkan sepiring bakwan jagung yang masih hangat. Satya mengambil satu dan mencicipinya. "Enak, masih hangat lagi." Satya memuji dengan m
Sejak ada masalah dengan ibu-ibu komplek, Satya tidak mengizinkan Tari untuk keluar rumah. Walau hanya sekedar belanja di tukang sayur. Bahkan untuk mengantarnya berangkat kerja hanya sampai terasa saja. "Di rumah aja, kalau ada urusan dengan Kafe suruh karyawan perempuan yang datang ke sini," ucap Satya saat Tari menemaninya sarapan. Satya tipikal laki-laki yang mendominasi pasangannya. Semua hal yang dilakukan Tari harus sepengetahuan dan seizin dirinya. Satya juga tidak suka dibantah namun sangat perhatian dan sayang keluarga. Selesai sarapan Satya mencium pipi putrinya yang duduk anteng diatas kursi bayinya menikmati sarapannya. "Papa kerja dulu, ya sayang.... Jagain Mama dan jangan rewel." Sebuah kecupan didaratkan Satya di puncak kepala Sabia setelah melangkah keluar diikuti Tari dibelakangnya. "Aku berangkat ya," ucap Satya di depan pintu depan. "Iya, Kak." Tari mengambil tangan Satya lalu mencium punggung tangannya takdim. "Ada banyak pekerjaan. Mungkin nan
"Kak, di pabrik ada masalah?" tanya Tari setelah Satya meletakkan gelas yang bekas minumnya setelah makan malam. Jam sembilan malam Satya baru pulang. Dan saat sampai dia mengeluh sangat lapar karena bekum makan malam. Dengan hati yang sedikit dongkol tapi berusaha tetap tersenyum Tari pun menghangatkan makanan yang sudah dimasaknya sore tadi. Kari ayam dengan sambal goreng pedas ati ampela. "Masalah apa? Nggak ada kok," jawab Satya dengan senyum di wajahnya. "Aku pulang malam karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum peresmian." "Kak Satya yakin?" Tari menatap lekat wajah lelah suaminya. "Yakin. Hanya saja, sepertinya tidak bisa beroperasi sesuai jadwal. Bekum siap." "Belum siap atau dananya yang gak ada?" Satya menatap Tari yang juga menatapnya. "Erika membatalkan kontrak kerjaan sama kan?" tanya Tari lagi. Satya mendesah berat. "Pasti Jihan yang memberitahumu?" tebaknya. Ganendra pasti yang menyuruh istrinya untuk memberitahu Tari karena Sa
"Ma-maksudnya?" Tari memicingkan matanya. Satya tersenyum, tangannya bergerak menyentuh bibir sang istri yang terlihat memerah akibat ciumannya. "Dengerin baik-baik ya," katanya menakup wajah cantik yang sudah membuatnya tergila-gila itu. " Sebelum kamu lahir, aku adalah orang yang paling menantikan kehadiranmu setelah Papa Ibra. Aku orang pertama yang tahu kamu akan diberi nama Bestari Ayu dan akulah orang yang memberimu nama panggilan Tari." Sebuah kecupan Satya daratkan di bibir tipis yang begitu menggodanya. Dia selalu tak bisa mengendalikan diri jika menatap bibir merah muda itu lama-lama. Tari menggeliat dan mendorong dada Satya. "Ck, mau cerita nggak sih?" Tari sedikit kesal. "Iya... iya maaf. Aku tak bisa menahan diri kalau sama kamu." Satya menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Tarii menaikkan kakinya lalu bersila menghadap Satya. Memberi jarak agar pria itu tak lagi menciumnya sampai ceritanya selesai. Satya tersenyum lebar melihat tingkah istri kecilnya itu
"Bestari Ayu, katakan yang sebenarnya!!" Nada suara Satya berubah dingin. Pria itu menangkap ada yang tidak beres. "Ok baiklah aku akan jujur." Tari menyerah. "Tapi janji jangan marah sama Anindya, ya!!" pinta Tari dengan wajah memelas. Satu alis Satya terangkat, ada apa lagi dengan adiknya itu. "Iya," jawabnya singkat. "Aku ke hotel atas permintaan Anindya." Satya terdiam, meski begitu matanya melebar menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya. "Apa? bisa ulangi," "Anindya yang memintaku datang ke hotel." Tari mengulangi ucapannya. "Untuk apa dia memintamu ke hotel?" Wajah Satya langsung memerah. Mendadak otak dipenuhi banyak pertanyaan. Tari mulai ragu untuk jujur, ingin berbohong saja tapi sorot mata Satya membuatnya tak berani mengambil resiko ketahuan dan sudah dipastikan kemarahannya makin besar. Mau tak mau Tari memilih jujur. "Anindia memintaku mengantarkan baju ganti dan dalam untuknya. Kadang juga minta diantarkan seragam sekolah dan sepatu," jawab
Pagi ini seperti biasa, Tari menemani Satya sarapan sambil menyuapi Sabia. Bayi itu semakin aktif dan tidak bisa diam. Seperti pagi ini, saking aktifnya sampai menumpahkan bubur tim yang baru saja ditaruh. "Astaghfirullah...." pekik Tari panik. Karena takut nasi tim yang panas itu mengenai Sabia, tanpa pikir panjang Tari segera mengambil tumpahan nasi tim itu dengan tangan kosong memasukkan kembali di wadah makan. "Bik tolong angkat Sabia," pintanya pada Bibi. Dengan cepat Bibi berlari dari dapur. Namun kalah cepat dengan Satya. Dia sudah mengangkat Sabia dari kursinya. "Tolong Bik," Satya menyerahkan Sabia ke Bibi. "Jangan pakai tangan, nasi timnya panas." Satya menarik tangan Tari dan membawanya ke wastafel. Dikucurnya tangan Tari di bawah kran air. "Harusnya tadi kamu langsung angkat Sabia. Jangan pikirin nasi timnya," tutur Satya lagi. "Aku takut nasih timnya kena kaki Sabia kalau langsung aku angkat." Tari memberi alasan. Kejadiannya sangat cepat. Tari tak sempat b
"Yakin gak papa kita temui dia? Kok aku parno ya?" Jihan terlihat khawatir. "Tadi bilang mau ketemu di kantin rumah sakit lalu berubah di taman kota. Kita gak tau lo dia maunya apa?" "Kamu benar juga sih, tapi kalau masih di tempat ramai aman lah,"sahut Tari yang juga merasa sedikit takut. Saat ini Tari dan Jihan sedang dalam perjalanan menuju tempat Rendra meminta bertemu. "Kalau bukan karena Sandra aku malas ketemu sama itu orang. Mukanya aja kalem dan bijaksana tapi kelakuannya, Astagfirullah...." Jihan mengelus dadanya. "Iya, sama aku juga nggak nyangka ternyata Pak Rendra yang sudah menyebarkan berita Kak Satya selingkuh sampai dipecat dari kampus juga tentang operasi itu, dia yang sengaja menyuruh orang untuk memfitnah Kak Satya sampai izin praktek dokternya dicabut." Wajah Tari terlihat sangat kesal. "Hah, yang benar?" Jihan terkejut. "Kamu tahu dari mana soal itu?" "Dari mama, dikasih tahu Tante Aisyah." "Oh.... jahat banget ya, pak Rendra. Demi mendapatkan kamu d
Gibran tersenyum, "Jika aku menuruti keinginan Anindya dengan membatalkan perjodohan kami, apa yang aku dapat?" Tari tersenyum sinis, dia sudah bisa menebak reaksi Gibran. "Tentu tidak ada yang gratis di dunia. Dan kami paham soal itu. Katakan saja kamu ingin apa?" "Apa yang bisa kamu tawarkan?" tantang Gibran dengan ekspresi yang sulit Tari baca. "Mungkin sebuah investasi atau hal yang lain yang mungkin kamu inginkan?" "Menarik, tapi aku ingin yang lain." Gibran kembali menyesap kopinya. "Minumlah, kita bicara santai saja." Tari menuruti ucapan pria di depannya itu, menyesap jus strawberry favoritnya. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu kita sering bertemu," kata Gibran sambil menyandarkan punggunya santai. "Aku salah satu teman kakakmu yang sering main ke rumah kalian. Jus strawberry dan cilok bumbu kacang," Tari menatap pria itu lekat. Wajah pria itu seperti tak. asing. Gibran mengingatkannya pada seseorang. Tapi entah siapa? Gibran tersenyum lebar, mimik wajah Tari
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas