Pagi ini seperti biasa, Tari menemani Satya sarapan sambil menyuapi Sabia. Bayi itu semakin aktif dan tidak bisa diam. Seperti pagi ini, saking aktifnya sampai menumpahkan bubur tim yang baru saja ditaruh. "Astaghfirullah...." pekik Tari panik. Karena takut nasi tim yang panas itu mengenai Sabia, tanpa pikir panjang Tari segera mengambil tumpahan nasi tim itu dengan tangan kosong memasukkan kembali di wadah makan. "Bik tolong angkat Sabia," pintanya pada Bibi. Dengan cepat Bibi berlari dari dapur. Namun kalah cepat dengan Satya. Dia sudah mengangkat Sabia dari kursinya. "Tolong Bik," Satya menyerahkan Sabia ke Bibi. "Jangan pakai tangan, nasi timnya panas." Satya menarik tangan Tari dan membawanya ke wastafel. Dikucurnya tangan Tari di bawah kran air. "Harusnya tadi kamu langsung angkat Sabia. Jangan pikirin nasi timnya," tutur Satya lagi. "Aku takut nasih timnya kena kaki Sabia kalau langsung aku angkat." Tari memberi alasan. Kejadiannya sangat cepat. Tari tak sempat b
"Yakin gak papa kita temui dia? Kok aku parno ya?" Jihan terlihat khawatir. "Tadi bilang mau ketemu di kantin rumah sakit lalu berubah di taman kota. Kita gak tau lo dia maunya apa?" "Kamu benar juga sih, tapi kalau masih di tempat ramai aman lah,"sahut Tari yang juga merasa sedikit takut. Saat ini Tari dan Jihan sedang dalam perjalanan menuju tempat Rendra meminta bertemu. "Kalau bukan karena Sandra aku malas ketemu sama itu orang. Mukanya aja kalem dan bijaksana tapi kelakuannya, Astagfirullah...." Jihan mengelus dadanya. "Iya, sama aku juga nggak nyangka ternyata Pak Rendra yang sudah menyebarkan berita Kak Satya selingkuh sampai dipecat dari kampus juga tentang operasi itu, dia yang sengaja menyuruh orang untuk memfitnah Kak Satya sampai izin praktek dokternya dicabut." Wajah Tari terlihat sangat kesal. "Hah, yang benar?" Jihan terkejut. "Kamu tahu dari mana soal itu?" "Dari mama, dikasih tahu Tante Aisyah." "Oh.... jahat banget ya, pak Rendra. Demi mendapatkan kamu d
"Tari, kamu yakin ingin mempertemukan Pak Rendra dengan Sandra?" Jihan menepuk pundak Tari. Istri Satya itu terus melamun sejak masuk mobil. Setelah mendengar cerita Rendra hatinya jadi iba dan takut ucapan mantan dosennya itu benar-benar terjadi. "Aku nggak tahu, tapi bagaimana jika yang dikatakan Pak Rendra benar. Aku nggak mau Sandra sampai..." Tari tak berani meneruskan ucapannya. Bayangan Sandra terbaring tak bernyawa membuatnya takut. Meski sempat kesal dan marah tapi jauh di dalam hati Tari sangat menyayangi sepupunya itu. "Kak Alfa kemana sih? Kenapa dia gak bisa belain Sandra. Pasti dia sangat terpukul karena calon bayinya di gugurkan oleh orang tuanya sendiri." "Tari, kamu nggak tahu yang benar siapa? Baik Orang tua Sandra dan Pak Rendra itu sama-sama gak bisa dipercaya. Mereka itu memiliki tujuannya masing-masing." Jihan berusaha mengingatkan Tari. "Menurutku, kita bicarakan dulu sama Mas Ganendra dan Kak Satya. Jangan gegabah mengambil keputusan nolongin P
"Sebenrnya Papa juga sudah mengetahui rencana Tante Nura dan Om Angga yang ingin mengambil alih perusahaan." "Benar kata Jihan, mereka hanya berpura-pura baik karena ingin Sandra menikah denganku. Setelah Sandra gagal, Alfa diminta pulang untuk menikahimu. Itu mereka lakukan untuk menguasai perusahaan. Sudah ada beberapa bukti Om Angga berusaha menghasut beberapa pemilik saham." "Kemarin orang kepercayaan kita juga sudah mendapatkan bukti tentang penggelapan dana yang dilakukan Om Angga. Tapi, melihat Alfa, Papa tidak tega. Itulah sebabnya Papa mengusulkan perjodohan Sandra dengan Erik, putra bungsu Ridwan Gunawan. Papa berjanji akan berinvestasi dengan nilai yang cukup besar atas nama Sandra di Gunawan group's jika pernikahan terjadi." "Tapi sepertinya rencana investasi itu diketahui oleh Rendra, dia datang saat pertemuan keluarga. Dia mengungkapkan hubungannya dengan Sandra juga kehamilan Sandra. Akhirnya Perjodohan gagal." "Pada saat yang sama Keluarga Joseph menarik semua i
Pagi hari saat Satya bangun Tari sudah tak ada. Pria itu panik dan langsung turun dari ranjang. Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang didominasi warna biru muda favorit Tari. "Dimana Tari?" Gumamnya, berjalan menuju kamar mandi di pojok kamar. "Tari," panggilnya membuka pintu kamar mandi. Kosong, Satya pun berlari keluar kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dia sudah terbiasa dibangunkan istri setiap pagi dan hari ini berbeda istrinya tak ada saat dirinya membuka mata. Pikiran buruk tiba-tiba muncul di otaknya. Apa lagi teringat ucapan Tari, jika dirinya tak pernah berubah? "Tari," panggilnya berlari kearah tangga. Saat hendak menuruni tangga dilihatnya Tari baru keluar dari musholla yang ada di lantai atas. tepat di samping kamar mertuanya. "Ya Allah Tari..." Pekik Satya sambil berlari dan langsung memeluk Tari. "Kamu dari mana saja?"tanya tanpa melepas pelukannya. "Habis sholat," jawab Tari masih enggan memeluk Satya. "Kamu membuatku takut," ucapnya mengera
Dari pagi Satya sibuk dengan urusan kantor di perusahaannya. Sejak perusahaan Joseph Hope's memutuskan kerja sama dengan Aditama food's, satu persatu investor mulai mengikuti jejak perusahaan besar itu sehingga harga saham Aditama food's perlahan mulai menurun. Jika keadaan ini terus dibiarkan, kehancuran perusahaan yang telah dibangun Farhan Aditama akan menjadi ujungnya. Entah alasan apa yang melatarbelakangi Jordan menginginkan Satya menikahi putri keduanya sebagai syarat kelanjutan kerja sama mereka. Satya menolak tegas begitu juga Farhan. Mereka bahkan sudah mengatakan status Satya yang sudah beristri namun Jordan masih kekeh dengan keputusannya. "Pernikahan sebagai Syarat penyatuan perusahaan kita. Baik putramu juga putriku punya hak yang sama atas perusahaan Aditama food's." Ucapan Jordan papa Erika sebulan yang lalu. Awalnya Satya ingin menyelesaikan masalah perusahaannya sendiri dan menolak bantuan Ibra, mertuanya. Namun kondisi perusahaan yang semakin sulit, b
Sore hari setelah mandi Tari dan Jihan berjalan-jalan di sekitar komplek sambil mendorong Sabia yang duduk anteng di strollernya sambil menikmati susu dotnya. Sambil berbincang dua wanita itu menikmati angin sejuk menjelang senja. Hembusannya sepoi-sepoi menyapu wajah cantik mereka membuat rambut keduanya terurai sampai ke pinggiran wajah. Sesekali Tari menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Eh itu ada tukang cilok. Beli yuk," ajak Tari menunjuk ke luar gerbang pintu masuk perumahan. "Dipanggil aja, jangan keluar perumahan." Jihan mengingatkan. Ganendra sudah berpesan untuk sementara tidak boleh keluar komplek perumahan untuk menghindari kejadian kemarin. "Kayaknya cuma kedepan situ gak papa," ujar Tari memaksa keluar. "Ada security yang berjaga-jaga di pos," Tari menunjuk beberapa pria yang berseragam keamanan berdiri di depan pos keamanan yang berada di antara dua jalan masuk komplek perumahan. "Ya sudah ayo, tapi langsung balik ya!!" Jihan mengikuti Tari ya
Satya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah mertua itu tujuannya. "Security menelpon. Memberi tahu, Jihan terluka dan Tari diculik." Beritahu Genendra beberapa menit yang lalu melalui sambungan telpon. Kakak iparnya itu juga dalam perjalanan pulang saat ini. "Brengs*k," Beberapa kali Satya mengumpat saat terjebak kemacetan dan lampu merah. Setelah kima belas menit perjalanan akhirnya mobil sampai di depan rumah. Ada banyak security dan bodyguard di depan rumah. Satya turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah. Baru mencapai teras sudah terdengar tangis Sabia yang membuatnya panik. Duduk di sofa ruang tamu Jihan dengan luka di kepala yang sedang di obati oleh Ganendra. Tampak juga ada beberapa luka seperti bekas goresan di tangan dan kaki Jihan. "Satya," panggil Aisyah sambil menggendong Sabia yang menangis meronta-ronta. Mata bayi itu terlihat sembab menandakan telah lama menangis. Dan yang membuat hati satya tersayat ketika retina
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.