Pagi hari saat Satya bangun Tari sudah tak ada. Pria itu panik dan langsung turun dari ranjang. Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang didominasi warna biru muda favorit Tari. "Dimana Tari?" Gumamnya, berjalan menuju kamar mandi di pojok kamar. "Tari," panggilnya membuka pintu kamar mandi. Kosong, Satya pun berlari keluar kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dia sudah terbiasa dibangunkan istri setiap pagi dan hari ini berbeda istrinya tak ada saat dirinya membuka mata. Pikiran buruk tiba-tiba muncul di otaknya. Apa lagi teringat ucapan Tari, jika dirinya tak pernah berubah? "Tari," panggilnya berlari kearah tangga. Saat hendak menuruni tangga dilihatnya Tari baru keluar dari musholla yang ada di lantai atas. tepat di samping kamar mertuanya. "Ya Allah Tari..." Pekik Satya sambil berlari dan langsung memeluk Tari. "Kamu dari mana saja?"tanya tanpa melepas pelukannya. "Habis sholat," jawab Tari masih enggan memeluk Satya. "Kamu membuatku takut," ucapnya mengera
Dari pagi Satya sibuk dengan urusan kantor di perusahaannya. Sejak perusahaan Joseph Hope's memutuskan kerja sama dengan Aditama food's, satu persatu investor mulai mengikuti jejak perusahaan besar itu sehingga harga saham Aditama food's perlahan mulai menurun. Jika keadaan ini terus dibiarkan, kehancuran perusahaan yang telah dibangun Farhan Aditama akan menjadi ujungnya. Entah alasan apa yang melatarbelakangi Jordan menginginkan Satya menikahi putri keduanya sebagai syarat kelanjutan kerja sama mereka. Satya menolak tegas begitu juga Farhan. Mereka bahkan sudah mengatakan status Satya yang sudah beristri namun Jordan masih kekeh dengan keputusannya. "Pernikahan sebagai Syarat penyatuan perusahaan kita. Baik putramu juga putriku punya hak yang sama atas perusahaan Aditama food's." Ucapan Jordan papa Erika sebulan yang lalu. Awalnya Satya ingin menyelesaikan masalah perusahaannya sendiri dan menolak bantuan Ibra, mertuanya. Namun kondisi perusahaan yang semakin sulit, b
Sore hari setelah mandi Tari dan Jihan berjalan-jalan di sekitar komplek sambil mendorong Sabia yang duduk anteng di strollernya sambil menikmati susu dotnya. Sambil berbincang dua wanita itu menikmati angin sejuk menjelang senja. Hembusannya sepoi-sepoi menyapu wajah cantik mereka membuat rambut keduanya terurai sampai ke pinggiran wajah. Sesekali Tari menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Eh itu ada tukang cilok. Beli yuk," ajak Tari menunjuk ke luar gerbang pintu masuk perumahan. "Dipanggil aja, jangan keluar perumahan." Jihan mengingatkan. Ganendra sudah berpesan untuk sementara tidak boleh keluar komplek perumahan untuk menghindari kejadian kemarin. "Kayaknya cuma kedepan situ gak papa," ujar Tari memaksa keluar. "Ada security yang berjaga-jaga di pos," Tari menunjuk beberapa pria yang berseragam keamanan berdiri di depan pos keamanan yang berada di antara dua jalan masuk komplek perumahan. "Ya sudah ayo, tapi langsung balik ya!!" Jihan mengikuti Tari ya
Satya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah mertua itu tujuannya. "Security menelpon. Memberi tahu, Jihan terluka dan Tari diculik." Beritahu Genendra beberapa menit yang lalu melalui sambungan telpon. Kakak iparnya itu juga dalam perjalanan pulang saat ini. "Brengs*k," Beberapa kali Satya mengumpat saat terjebak kemacetan dan lampu merah. Setelah kima belas menit perjalanan akhirnya mobil sampai di depan rumah. Ada banyak security dan bodyguard di depan rumah. Satya turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah. Baru mencapai teras sudah terdengar tangis Sabia yang membuatnya panik. Duduk di sofa ruang tamu Jihan dengan luka di kepala yang sedang di obati oleh Ganendra. Tampak juga ada beberapa luka seperti bekas goresan di tangan dan kaki Jihan. "Satya," panggil Aisyah sambil menggendong Sabia yang menangis meronta-ronta. Mata bayi itu terlihat sembab menandakan telah lama menangis. Dan yang membuat hati satya tersayat ketika retina
Sampai pukul 10 malam Sabia belum juga tidur. Bayi itu rewel karena terus mencari ibunya selain itu badannya juga panas. Dan sejak sore tadi terus menolak dikasih susu formula sehingga tubunya jadi lemas. Dokter sudah dipanggil, obat juga sudah diminumkan tapi suhu badannya masih tetap tinggi. Bayi cantik itu seperti trauma. Akan langsung menagis jika ada yang mendekati dan hanya mau digendong Satya. "Mungkin Sabia lesuh Mas," ucap Bik Tutik yang sejak tadi mengerkori Satya. "Biasanya dipanggilkan tukang pijat khusus bayi," sambungnya menatap sendu bayi yang sudah diasuhnya sejak baru lahir. Satya menghela nafas, bagaimana mau dipijit digendong bibik yang biasanya mengasuhnya saja tidak mau apalagi dipegang tujang pijit. "Bagaiamana mau dipijit Bik? Bibi lihat sendiri Sabia langsung nangis kalau ada yang mendekat," sahut Satya dengan wajah frustasi. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Panik memenuhi otaknya saat memikirkan keberadaan istrinya saat ini. Ingin sekali ber
Saat Bestari membuka matanya dia sudah berada di atas ranjang di sebuah kamar. Jendela kaca yang ditutup tirai tipis hal pertama yang dia lihat sebelum dirinya menyadari jika tangan dan kaki terikat. Ingatan akan kejadian beberapa jam yang lalu membuatnya sadar jika saat ini dirinya sedang berada ditempat yang tidak aman. Kepalanya yang berdengut nyeri tak menjadi alasan untuk dirinya tetap meringkuk di atas tempat tidur. Dengan susah payah Bestari bangun dan bersandar. Dipandanginya sekeliling ruangan ruangan itu. Sebuah kamar dengan meja kayu lengkap dengan kursi di pojok kamar. Taknm jauh dari meja itu ada sebuah pintu, sepertinya itu kamar mandi. Dan dua meter dari pintu itu terdapat sebuah pintu yang lebih besar. "Dimana ini?" gumamnya sambil menggerak-gerakkan tanganya yang terikat. Ceklek, Tiba-tiba pintu terbuka, sesosok wanita berambut sebahu berjalan masuk. Sebuah senyum sinis nampak di wajah yang tak asing baginya. "Sudah bangun?" tanya wanita yang tak l
"A-pa mak-sudnya?" Wajah Sandra mendadak pucat. Tangannya kembali meraih tangan pria yang sangat dicintainya itu. Pria yang deminya Sandra rela mengkhianati orang-orang terdekatnya. "Apa maksudmu dengan berbohong?" tanyanya lagi. Rendra menengua kasar dan kembali menepis tangan Sandra kasar. Tak ketinggalan ekspresi jijiknya yang seketika membuat Sandra tertegun. "Apa kamu sebodoh itu? Belum juga mengerti." Rendra berkacak pinggang. "Harus kuperjelas, semua yang aku katakan itu bohong. Aku tidak akan pernah membun*h Tari, karena dia satu-satunya wanita yang aku cintai." "Lalu aku?" Sandra melangkah maju, mencoba meraih tangan Rendra dan menggenggamnya erat. "Aku sudah sudah mengorbankan segalanya untukmu, teganya kamu mengkhianatiku." Rendra tergelak. "Hanya orang bod*h yang mencintai wanita sepicik kamu. Mengorbankan persaudaraan dan persahabatan demi cinta dari seorang pria." Ibarat pukulan ucapan Rendra membuat Sandra ambruk. Wanita itu terduduk dilantai dengan w
"Pilihannya ada padamu," kata Rendra dengan seringai yang membuat Tari bergidik ngeri. "Kamu mau melihat Sandra meregang nyawa karena senjat* ini atau kamu turuti permintaanku dengan menandatangani surat permohonan gugatan cerai," Rendra mengarahkan ujung pist*l tepat ke dahi Sandra. Sontak Tari membelalakkan matanya. Dia tak percaya Rendra akan melakukan hal sehina itu. Mempermainkan nyawa manusia demi ambisinya. Namun dengan cepat Tari merubah mimik kagetnya dengan ekspresi datar. "Apa kalian pikir aku akan percaya?" ujar Tari dengan senyum sinis. Rendra mengerutkan dahinya, sorot matanya penuh dengan tanya. "Maksudmu?" "Jangan berpura-pura di depanku! Itu membuatku muak," jawab Tari dengan ekspresi jijik. "Jadi kamu pikir aku bersandiwara? Kau ingin bukti?" Rendra tersenyum aneh. Persis psikopat. Tari berdecih. "Tak perlu. Aku tahu kalian bersengkokol untuk menculikku. Dan sekarang ingin menipuku. Kau tak mungkin membunuhnya." "Begitu, apa itu artinya kau ingin
"Apa itu benar?" tanya Tari. "Kamu sangat membenciku?" Anindya menggeleng. "Aku tidak membencimu, Mbak. Baik dulu atau pun sekarang. Aku hanya merasa iri karena kmau baik dan banyak orang yang mencintaimu tapi aku berani sumpah aku tidak pernah berniat melukaimu...." jawabnya sambil menangis. Tari mengangguk, entah kenapa tapi Tari yaki Anindya jujur. Meski semua orang tak percaya tapi suara hati Tari mengatakan, Anindya sudah berubah dan dia tidak sejahat Danisa. "Ya... kamu iri makanya kamu ingin merusak wajahnya, iya kan?" tuduh Satya geram. "Demi Tuhan.... bukan aku yang merencanakannya, Kak. Danisa dan teman-temannya sudah membawa air keras itu sebelum menjemputku. Aku sama sekali tidak ikut merencanakannya." "Jangan bawa-bawa Tuhan untuk dosamu!!! Kamu bilang tidak ikut merencanakan, apa kamu pikir aku akan percaya?" Satya sudah kehilangan kesabaran. "Kali ini kamu benar-benar sudah melewati batas," Ganendra berjalan cepat dan memegangi Satya tang sudaah seperti
Keesokan harinya Farhan dan Aisyah juga Anindya datang menjenguk Tari. Tak lupa Aisyah membawakan makanan yang dia masak sendiri untuk Tari dan Satya yang setiap hari menjaga Tarindi rumah sakit. Aisyah dan Farhan sangat bahagia dan besyukur akhirnya setelah ketegangan kini mereka bisa bernafas lega. Terlebih lagi Anindya, sepanjang jalan menuju rumah sakit gadis itu tak henti-hentinya mengucap syukur. Akhirnya, doanya terkabul Tari telah sadar dan keadaannya membaik. Dengan sadarnya Tari, setidaknya satu masalah selesai. Anindya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga jika sampai terjadi sesuatu pada kakak iparnya itu. Kemungkinan besar dirinya akan diusir dari rumah. 'Ya Allah... terima kasih Engkau sudah memberi keselamatan untuk Mbak Tari,' ucap Anindya dalam hati. **** "Assalamu'alaikum," ucap Farhan dan Aisyah setelah membuka pintu kamar rawat inap Tari. "Wa'alaikum salam," jawab beberapa orang yang ada di dalam kamar. Tari tersenyum lebar meliha
Setelah pulang dari rumah sakit, Anindya tidak lagi di izinkan keluar rumah seorang diri. Ponselnya disiita dan semua kegiatannya dibatasi. Hanya untuk urusan kuliah gadis iti diizinkan pergi dan tentu saja dengan di kawal bodyguard yang sengaja disewa Farhan. Bukan tanpa alasan Farhan melakukan itu, pria paruh baya itu khawatir Anindya akan membuat masalah lagi dan mungkin saja kabur sebelum hari pernikahan. Sore itu Farhan dna Aisyah memanggil Anindya untuk bicara di ruang tengah, membahas tentang pernikahan dan masalah ynag telah diperbuat putri bungsunya. Namun dari mulai awal Anindya lebih banyak diam dan menurut saja. Tak sekalipun membantah. Meski begitu baik Farhan dan Aisyah tak berhenti mengungkit kesalahan Anindya dan membuat hati gadis itu terluka. "Kamu sendiri yang setuju untuk menikah tapi di belakang kami kamu meminta Tari membatalkan perjodohanmu dan Gibran," omel Farhan karena merasa Anindya tidak bisa konsisten dengan ucapannya. Anindya tak membantah se
"Kondisi pasien kritis karena kehilangan banyak darah." Degh.... Jantung Satya seakan beehenyi berdetak saking kagetnya. Akan langsung memucat. "Nggak... aku nggak bisa kehilangan dia," gumam Satya, tubuhnya meluruh terduduk di lantai. "Kak," pekik Anindya memegangi lengan Kakaknya. Air matanya terus mengalir menunjukkan penyesalannya yang tak bertepi. "Ya Allah... Papa." Jihan ikut memekik sambil memegangi tubuh Ibra yang tiba-tiba oleng. Dengan sigap Ganendra memegang lengan sang Papa agar tak sampai jatuh ke lantai. "Bantu Papa duduk," ucap Ganendra memberi arahan Jihan. "Aku nggak papa," kata Ibra sambil memegangi dadanya. "Tolong tenang, dokter akan menjelaskan keadaan pasien," ujar wanita berseragam perawat. Detik berikutnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. "Begini, kondisi pasien saat ini sedang kritis dna membutuhkan transfusi darah dengan segera. Namun cadangan darah yang sesuai golongan darah pasien kosong. Jadi kami butuh bantuan keluarga untuk mend
"Tari..." Satya berlari menghampiri tubuh istrinya yang tersungkur di jalan. Dadanya berdegup kencang melihat istri yang sangat dicintainya itu ambruk dan berlumuran darah. "Tari...." Perlahan Satya membalikkan tubuh istrinya. Anindya pun langsung bangun dan membantu kakaknya. "Sayang buka matamu," ucap Satya sambil menepuk pelan pipi Tari. Namun wajah pucat itu tak merespon. "Mbak Tari..." Dengan tangan gemetaran Anindya menggoyangkan lengan kakak iparnya itu. "Kumohon bangun Mbak,.." Dia sangat menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Jika tahu ini yang akan terjadi, dia pasti akan menolak ajakan Danisa. Satya mengangkat wajahnya, mobil uang sudah melaju cepat. "Tangkap mereka dan bawa ke hadapanku hidup atau mati!" perintahnya pada Johan. "Siap Bos." Johan mengnagguk lalu memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mobil Rama. Satya segera membopong tubuh istrinya dan masuk ke dalam mobil. "Kita rumah sakit, cepat!!" perintahnya pada sopir. Sebelum masu
"Rasakan ini," sentak Anindya memutar tubuhnya dna langsung menyiramkan air keras yang di bawanya. Byurrr.. ces.... Senyawa itu langsung melepuhkan kulit tangan dan wajah yang tadinya mulus menjadi menyeramkan. "Akh..... Akh......." teriak Danisa kesakitan sampai jatuh dan berguling di jalan. "Hah.. Danisa," pekik Karina kebingungan. Dia hanya menatap Danisa yang kesakitan tanpa berusaha melakukan sesuatu. Tak hanya Danisa, tiba-tiba Sarah juga menjerit kesakitan karena terkena cipratan sisa air keras saat Anindya melemparkan botol bekas wadah air keras ke arahnya. "Akh..... sakit.... sakit....Anjing kamu," umpatnya kesakitan. Satu sisi wajahnya berubah menyeramkan juga satu lengannya ikut melepuh. Jeritan dan teriakan Sarah dan Danisa bersahutan membuat semua orang tertegun. Tak ada yang bereaksi, semua terdiam dengan mata membelalak. Tari, Rama juga Karina tubuhnya tiba-tiba membatu karena kaget. Mereka tak menyangka Anindya akan menyiramkan air keras itu ke arah D
"Danisa?" Tari membulatkan matanya kaget. "Apa yang Anindya lakukan dengan Danisa? Jangan-jangan....." [Mbak, maaf aku masih ada kelas. Nanti kalau sudah selesai aku langsung ke rumah Mbak Tari.] Sebuah pesan masuk ke pinsel Tari daru Anindya. Wajah Tari beruha dingin. Tak menyangka selama ini ternyata adik iparnya itu menipu dirinya. Tari segera berbalik masuk ke dalam taksi online yang masih menunggunya. "Pak, tolong ikuti mobil itu," perintahnya pada sang sopir, Tari ingin memastikan jika Anindya benar-benar telah menipunya. Tak menunggu lama pak sopir langsung tancap gas mengejar mobil yang sudah melaju cukup jauh. "Bisa lebih cepat Pak, kita jangan sampai kehilangan jejaknya." Tari tak sabar, mobil yang membawa Danisa dan Anindya sudah melaju cepat di depan. Dia harus bisa mendapat bukti untuk membuat Anindya tak bisa lagi mengelak. Teganya gadis itu menipu dirinya. "Tenang saja, Mbak. Saya jamin kita tidak akan ketinggalan. Saya sudah biasa main kejar-kerjaran s
Gibran tersenyum, "Jika aku menuruti keinginan Anindya dengan membatalkan perjodohan kami, apa yang akan aku dapat sebagai gantinya?" Tari tersenyum sinis, dia sudah bisa menebak reaksi Gibran. "Tentu tidak ada yang gratis di dunia. Dan kami paham soal itu. Katakan saja apa yang kamu inginkan?" "Coba katakan apa yang bisa kamu tawarkan?" tantang Gibran dengan ekspresi yang sulit Tari baca. "Mungkin sebuah investasi atau hal yang lain yang mungkin kamu inginkan?" Tari memberi tawaran. "Menarik, tapi sayangnya aku ingin yang lain." Gibran kembali menyesap kopinya. "Minumlah, jangan terlalu serius, kita bicara santai saja." Tari menuruti ucapan pria di depannya itu, menyesap jus strawberry favoritnya. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu kita sering bertemu," kata Gibran sambil menyandarkan punggunya santai. "Aku salah satu teman kakakmu yang sering main ke rumah kalian. Jus strawberry dan cilok bumbu kacang," Tari menatap pria itu lekat. Wajah pria itu seperti tak asing bagi
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil menyapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dja baru selesai memandikan putrinya saat ponselnya itu berdering. [Mbak,] panggil Anindya dengan nada suara sedih. Sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan 'Mbak' sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diiringi isak tangis. [Mama Mbak, dia berubah lagi,] adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" [Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi ini tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi,] "Ap