Saat Bestari membuka matanya dia sudah berada di atas ranjang di sebuah kamar. Jendela kaca yang ditutup tirai tipis hal pertama yang dia lihat sebelum dirinya menyadari jika tangan dan kaki terikat. Ingatan akan kejadian beberapa jam yang lalu membuatnya sadar jika saat ini dirinya sedang berada ditempat yang tidak aman. Kepalanya yang berdengut nyeri tak menjadi alasan untuk dirinya tetap meringkuk di atas tempat tidur. Dengan susah payah Bestari bangun dan bersandar. Dipandanginya sekeliling ruangan ruangan itu. Sebuah kamar dengan meja kayu lengkap dengan kursi di pojok kamar. Taknm jauh dari meja itu ada sebuah pintu, sepertinya itu kamar mandi. Dan dua meter dari pintu itu terdapat sebuah pintu yang lebih besar. "Dimana ini?" gumamnya sambil menggerak-gerakkan tanganya yang terikat. Ceklek, Tiba-tiba pintu terbuka, sesosok wanita berambut sebahu berjalan masuk. Sebuah senyum sinis nampak di wajah yang tak asing baginya. "Sudah bangun?" tanya wanita yang tak l
"A-pa mak-sudnya?" Wajah Sandra mendadak pucat. Tangannya kembali meraih tangan pria yang sangat dicintainya itu. Pria yang deminya Sandra rela mengkhianati orang-orang terdekatnya. "Apa maksudmu dengan berbohong?" tanyanya lagi. Rendra menengua kasar dan kembali menepis tangan Sandra kasar. Tak ketinggalan ekspresi jijiknya yang seketika membuat Sandra tertegun. "Apa kamu sebodoh itu? Belum juga mengerti." Rendra berkacak pinggang. "Harus kuperjelas, semua yang aku katakan itu bohong. Aku tidak akan pernah membun*h Tari, karena dia satu-satunya wanita yang aku cintai." "Lalu aku?" Sandra melangkah maju, mencoba meraih tangan Rendra dan menggenggamnya erat. "Aku sudah sudah mengorbankan segalanya untukmu, teganya kamu mengkhianatiku." Rendra tergelak. "Hanya orang bod*h yang mencintai wanita sepicik kamu. Mengorbankan persaudaraan dan persahabatan demi cinta dari seorang pria." Ibarat pukulan ucapan Rendra membuat Sandra ambruk. Wanita itu terduduk dilantai dengan w
"Pilihannya ada padamu," kata Rendra dengan seringai yang membuat Tari bergidik ngeri. "Kamu mau melihat Sandra meregang nyawa karena senjat* ini atau kamu turuti permintaanku dengan menandatangani surat permohonan gugatan cerai," Rendra mengarahkan ujung pist*l tepat ke dahi Sandra. Sontak Tari membelalakkan matanya. Dia tak percaya Rendra akan melakukan hal sehina itu. Mempermainkan nyawa manusia demi ambisinya. Namun dengan cepat Tari merubah mimik kagetnya dengan ekspresi datar. "Apa kalian pikir aku akan percaya?" ujar Tari dengan senyum sinis. Rendra mengerutkan dahinya, sorot matanya penuh dengan tanya. "Maksudmu?" "Jangan berpura-pura di depanku! Itu membuatku muak," jawab Tari dengan ekspresi jijik. "Jadi kamu pikir aku bersandiwara? Kau ingin bukti?" Rendra tersenyum aneh. Persis psikopat. Tari berdecih. "Tak perlu. Aku tahu kalian bersengkokol untuk menculikku. Dan sekarang ingin menipuku. Kau tak mungkin membunuhnya." "Begitu, apa itu artinya kau ingin
"Aaaak......" pekik Tari dengan mata masih terpejam. Namun saat tepukan itu berubah jadi elusan lembut di pundaknya, pelan matanya membuka. "Hah..." Tari kaget sampai tak sanggup bergerak saat melihat sosok di depannya. "Kamu siapa Nak?" Seorang wanita tua berjongkok di depan Tari. Rambutnya putih dengan wajah keriput, persis seperti hantu di sebuah film yang berapa bulan lalu sempat booming. "Jangan takut. Nenek bukan hantu." Tari mengangguk, yakin jika sang nenek manusia sama seperti dirinya. "Kenapa duduk di sini?" tanya nenek itu lagi. Niatnya hendak ke kamar mandi setelah pulang dari pasar menjual hasil kebunnya malah dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita cantik dibelakang rumahnya. Tak bisa menjawab Tari hanya menangis tanpa suara sambil memegangi kedua lututnya. "Apa kamu sedang bersembunyi?" tanya sang nenek yang dijawab anggukan oleh Tari. "Tolong saya,..." ucap Tari berusaha menahan tangisnya. "Saya dikejar orang jahat," sambungnya dengan isakan yang
"Bik, saya titip Sabia. Tolong jaga dia sampai saya kembali, kumohon Bibi jangan kesal atau marah kalau nanti Sabia rewel dan menangis terus," pinta Satya pada Bik Tutik sambil mengelus lembut pipi Sabia yang kemerahan. Suami Tari itu sudah bersiap untuk pergi setelah mendapatkan informasi lokasi tempat istrinya berada. Dengan memakai jaket kulit berwarna coklat dan celana jeans tak lupa dia membawa sebuah senjata yang terselip dibalik punggungnya. "Nggeh Mas, saya janji akan menjaga Non Sabia. Isya'Allah saya akan sabar kalau nanti Non Sabia nangis nyariin Mas Satya," jawab bik Tutik dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Hati wanita paruh baya itu ikut sedih melihat musibah yang menimpa keluarga majikannya. "Mas Satya jangan Khawatir, serahkan saja Non Sabia sana saya. Fokus cari Mbak Tari dan segera bawa pulang. Kasihan Sabia nyariin mamanya terus," tambah wanita yang sudah mengabdi puluha tahun di kediamana Rahadian itu. "Saya percaya sama Bibik," ujar Satya menatap send
Brakk....brakk..... brakkk Tari memejamkan matanya saking takutnya. Sambil menekuk kedua lutut, kedua tangannya menutup mulutnya sendiri. Namun sampai beberapa detik tidak terjadi apa-apa. Suara dobrakan pintu sudah berhenti. Tari pun membuka mata dan menejamkan pendengarannya. Terdengar suara beberapa orang berbicara. Seperti ada berdebatan di luar sana namun dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Hanya suara u. orang membentak diakhir kalimat. Tiba-tiba terdengar pintu di buka. Derap langkah beberapa kaki masuk ke dalam rumah. Tari kembali dilanda ketakutan dan rasa gugup yangbmenbuatbya sampai menahan nafas. "Neng.... Neng Tari," Suara Nini Aroh memanggi Tari. "Neng dimana, Nini sudah kembali Neng," "Nini Aroh?" gumam Tari masih dengan suara lirih. Rasa takut masih mendominasikan di otaknya sehingga dia tidka mau keluar. Takut itu hanya akal-akalan Rendra saja dan saat dia keluar ternyata ada Rendra. Brak.... Pintu lemari di buka dari luar. "Alhamdulillah....
Dor..... Dor.... Dor.... Suara tembakan berutun itu memecah keheningan kampung pagi itu. Satya memeluk Tari yang merunduk sambil menutup telinganya. Suara tembakan itu serasa memekakkan telinga. Mendadak suasana menjadi hening hanya terdengar erangan dari tiga orang yang terkapar di tanah yang basah oleh embun semalam. "Akhir yang pantas untuk para pendosa," Tari menoleh ke arah suara tersebut, tak seperti orang lain yang katakutan sampai menutup mata dan telinga, wanita tua dengan rambut yang sudah dipenuhinuban itu berdiri tenang dengan menyunggingkan senyum tipis menatap puas pada Rendra yang bersimbah darah. Ya.... Rendra dan kedua anak buahnya yang terkekan tembakan. Sontak Tari tertegun menatap penuh tanta pada nini Aroh. Entah kenapa Tari merasa wanita tua itu tidak sepenuhnya jujur tentang Rendra. Pasti ada alasan yang besar kenapa wanita yang sudah sepuh itu bersedia membantunya. "Kalian tidak apa-apa?" Dengan wajah penuh kekhawatiran Ganendra berjalan m
Setelah berjuang selama tiga hari akhirnya Farah menghembuskan nafas terakhirnya. Mama Tari itu pun menutup mata tanpa sempat melihat Tari. Tari tak bisa menerima kematian Farah. Istri Satya itu merasa jika kematian sang mama karena dirinya. Begitu sedih sampai beberapa kali pingsan. Tak hanya Tari, Ganendra juga sangat sedih. Pria yang tak pernah terlihat menangis itu sampai tak sanggup berdiri saat mendapat kabar kematian sang Mama. Selain dua orang itu yang paling terpuruk atas kematian Farah adalah Ibra. Pria yang selalu terlihat tenang itu benar-benar hancur. Ibra meraung sambil memeluk tubuh dingin istrinya. Tidak mengizinkan siapapun untuk menyentuh istrinya kecuali kedua anaknya. Karena itu sampai sore jasad Farah belum juga dikebumikan. Jangankan disholati dimandikan saja tidak boleh. Semua orang tidak ada yang berani mendekat. Ibra bahkan tak segan mengacungkan senjat* pada orang yang ingin mendekati jasad Farah. Tari dan Ganendra tak bisa berbuat apa-apa, mereka
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.