"A-pa mak-sudnya?" Wajah Sandra mendadak pucat. Tangannya kembali meraih tangan pria yang sangat dicintainya itu. Pria yang deminya Sandra rela mengkhianati orang-orang terdekatnya. "Apa maksudmu dengan berbohong?" tanyanya lagi. Rendra menengua kasar dan kembali menepis tangan Sandra kasar. Tak ketinggalan ekspresi jijiknya yang seketika membuat Sandra tertegun. "Apa kamu sebodoh itu? Belum juga mengerti." Rendra berkacak pinggang. "Harus kuperjelas, semua yang aku katakan itu bohong. Aku tidak akan pernah membun*h Tari, karena dia satu-satunya wanita yang aku cintai." "Lalu aku?" Sandra melangkah maju, mencoba meraih tangan Rendra dan menggenggamnya erat. "Aku sudah sudah mengorbankan segalanya untukmu, teganya kamu mengkhianatiku." Rendra tergelak. "Hanya orang bod*h yang mencintai wanita sepicik kamu. Mengorbankan persaudaraan dan persahabatan demi cinta dari seorang pria." Ibarat pukulan ucapan Rendra membuat Sandra ambruk. Wanita itu terduduk dilantai dengan w
"Pilihannya ada padamu," kata Rendra dengan seringai yang membuat Tari bergidik ngeri. "Kamu mau melihat Sandra meregang nyawa karena senjat* ini atau kamu turuti permintaanku dengan menandatangani surat permohonan gugatan cerai," Rendra mengarahkan ujung pist*l tepat ke dahi Sandra. Sontak Tari membelalakkan matanya. Dia tak percaya Rendra akan melakukan hal sehina itu. Mempermainkan nyawa manusia demi ambisinya. Namun dengan cepat Tari merubah mimik kagetnya dengan ekspresi datar. "Apa kalian pikir aku akan percaya?" ujar Tari dengan senyum sinis. Rendra mengerutkan dahinya, sorot matanya penuh dengan tanya. "Maksudmu?" "Jangan berpura-pura di depanku! Itu membuatku muak," jawab Tari dengan ekspresi jijik. "Jadi kamu pikir aku bersandiwara? Kau ingin bukti?" Rendra tersenyum aneh. Persis psikopat. Tari berdecih. "Tak perlu. Aku tahu kalian bersengkokol untuk menculikku. Dan sekarang ingin menipuku. Kau tak mungkin membunuhnya." "Begitu, apa itu artinya kau ingin
"Aaaak......" pekik Tari dengan mata masih terpejam. Namun saat tepukan itu berubah jadi elusan lembut di pundaknya, pelan matanya membuka. "Hah..." Tari kaget sampai tak sanggup bergerak saat melihat sosok di depannya. "Kamu siapa Nak?" Seorang wanita tua berjongkok di depan Tari. Rambutnya putih dengan wajah keriput, persis seperti hantu di sebuah film yang berapa bulan lalu sempat booming. "Jangan takut. Nenek bukan hantu." Tari mengangguk, yakin jika sang nenek manusia sama seperti dirinya. "Kenapa duduk di sini?" tanya nenek itu lagi. Niatnya hendak ke kamar mandi setelah pulang dari pasar menjual hasil kebunnya malah dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita cantik dibelakang rumahnya. Tak bisa menjawab Tari hanya menangis tanpa suara sambil memegangi kedua lututnya. "Apa kamu sedang bersembunyi?" tanya sang nenek yang dijawab anggukan oleh Tari. "Tolong saya,..." ucap Tari berusaha menahan tangisnya. "Saya dikejar orang jahat," sambungnya dengan isakan yang
"Bik, saya titip Sabia. Tolong jaga dia sampai saya kembali, kumohon Bibi jangan kesal atau marah kalau nanti Sabia rewel dan menangis terus," pinta Satya pada Bik Tutik sambil mengelus lembut pipi Sabia yang kemerahan. Suami Tari itu sudah bersiap untuk pergi setelah mendapatkan informasi lokasi tempat istrinya berada. Dengan memakai jaket kulit berwarna coklat dan celana jeans tak lupa dia membawa sebuah senjata yang terselip dibalik punggungnya. "Nggeh Mas, saya janji akan menjaga Non Sabia. Isya'Allah saya akan sabar kalau nanti Non Sabia nangis nyariin Mas Satya," jawab bik Tutik dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Hati wanita paruh baya itu ikut sedih melihat musibah yang menimpa keluarga majikannya. "Mas Satya jangan Khawatir, serahkan saja Non Sabia sana saya. Fokus cari Mbak Tari dan segera bawa pulang. Kasihan Sabia nyariin mamanya terus," tambah wanita yang sudah mengabdi puluha tahun di kediamana Rahadian itu. "Saya percaya sama Bibik," ujar Satya menatap send
Brakk....brakk..... brakkk Tari memejamkan matanya saking takutnya. Sambil menekuk kedua lutut, kedua tangannya menutup mulutnya sendiri. Namun sampai beberapa detik tidak terjadi apa-apa. Suara dobrakan pintu sudah berhenti. Tari pun membuka mata dan menejamkan pendengarannya. Terdengar suara beberapa orang berbicara. Seperti ada berdebatan di luar sana namun dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Hanya suara u. orang membentak diakhir kalimat. Tiba-tiba terdengar pintu di buka. Derap langkah beberapa kaki masuk ke dalam rumah. Tari kembali dilanda ketakutan dan rasa gugup yangbmenbuatbya sampai menahan nafas. "Neng.... Neng Tari," Suara Nini Aroh memanggi Tari. "Neng dimana, Nini sudah kembali Neng," "Nini Aroh?" gumam Tari masih dengan suara lirih. Rasa takut masih mendominasikan di otaknya sehingga dia tidka mau keluar. Takut itu hanya akal-akalan Rendra saja dan saat dia keluar ternyata ada Rendra. Brak.... Pintu lemari di buka dari luar. "Alhamdulillah....
Dor..... Dor.... Dor.... Suara tembakan berutun itu memecah keheningan kampung pagi itu. Satya memeluk Tari yang merunduk sambil menutup telinganya. Suara tembakan itu serasa memekakkan telinga. Mendadak suasana menjadi hening hanya terdengar erangan dari tiga orang yang terkapar di tanah yang basah oleh embun semalam. "Akhir yang pantas untuk para pendosa," Tari menoleh ke arah suara tersebut, tak seperti orang lain yang katakutan sampai menutup mata dan telinga, wanita tua dengan rambut yang sudah dipenuhinuban itu berdiri tenang dengan menyunggingkan senyum tipis menatap puas pada Rendra yang bersimbah darah. Ya.... Rendra dan kedua anak buahnya yang terkekan tembakan. Sontak Tari tertegun menatap penuh tanta pada nini Aroh. Entah kenapa Tari merasa wanita tua itu tidak sepenuhnya jujur tentang Rendra. Pasti ada alasan yang besar kenapa wanita yang sudah sepuh itu bersedia membantunya. "Kalian tidak apa-apa?" Dengan wajah penuh kekhawatiran Ganendra berjalan m
Setelah berjuang selama tiga hari akhirnya Farah menghembuskan nafas terakhirnya. Mama Tari itu pun menutup mata tanpa sempat melihat Tari. Tari tak bisa menerima kematian Farah. Istri Satya itu merasa jika kematian sang mama karena dirinya. Begitu sedih sampai beberapa kali pingsan. Tak hanya Tari, Ganendra juga sangat sedih. Pria yang tak pernah terlihat menangis itu sampai tak sanggup berdiri saat mendapat kabar kematian sang Mama. Selain dua orang itu yang paling terpuruk atas kematian Farah adalah Ibra. Pria yang selalu terlihat tenang itu benar-benar hancur. Ibra meraung sambil memeluk tubuh dingin istrinya. Tidak mengizinkan siapapun untuk menyentuh istrinya kecuali kedua anaknya. Karena itu sampai sore jasad Farah belum juga dikebumikan. Jangankan disholati dimandikan saja tidak boleh. Semua orang tidak ada yang berani mendekat. Ibra bahkan tak segan mengacungkan senjat* pada orang yang ingin mendekati jasad Farah. Tari dan Ganendra tak bisa berbuat apa-apa, mereka
"Apa wanita itu Tante Nura?" tebak Ganendra yang langsung menatap papanya tajam. "Katakan!!" teriaknya. Suasana mendadak senyap setelah terdengar teriakan Ganendra. Ibra terdiam begitu juga Dirga, kaka sepupu Farah itu tak memyangka pembicaraannua dengan Ibra terdengar oelj Ganendra. "Apa itu sebabnya Papa tidak jadi melaporkan mereka ke polisi?" sungut Ganendra menepis tangan Dirga yang mencoba menariknya keluar. Ibra masih tetap dengan kebisuannya. Rahangnya mengeras dengan tangan tak lepas dari jasad istrinya. "Tenanglah, jangan bertengkar di depan jasad Mamamu. Dia akan sedih melihat semua ini?" Dirga kembali menarik lengan Ganendra. "Tidak, Pakde. Aku sudah menahannya terlalu lama. Kali ini tidak bisa lagi kutahan," "Ada apa Kak?" Dengan wajah pucat Tari kembali masuk ke kamar utama. Baru juga hendak masuk kamat sudah terdengar teriakan Ganendra yang menggema di seluruu rumah. "Kak kenapa?" tanyanya lagi sambil menggoyangkan lengan Ganendra. "Papa memiliki
"Wanita itu," desis Tari menatap kepergian Ayra dan Atika dengan tatapan kesal. "Aku merasa wanita itu sangat berbahaya. Di depan semua orang dia terlihat kalem dan lemah lembut. Tapi dari tatapan matanya aku merasa di sangat egois dan licik," terang Jihan. "Kamu benar, apa sebaiknya kita ikut? tanya Tari menoleh pada Jihan. "Ya, lebih baik begitu. Takutnya dia playing victim dan memperdaya semua orang dengan ucapannya," jawab Jihan. "Aku setuju." Tari mengangguk. Sebelum pergi Tari berpesan pada Aisyah untuk menunggu di restoran bersama Renata dan tiga orang pengawal. Setelahnya Tari dan Jihan bergegas menyusul gerombolannya orang-orang tadi yang ternyata sudah menaiki lif menuju lantai paling atas. "Ayo cepat." Tari menarik tangan Jihan masuk ke lift begitu benda beso itu terbuka. Saat keluar dari lift, Tari sempat melihat Ayra masuk kesebuah kamar. Dengan bergandengan tangan Tari dna Jihan berlari menyusul rombongan itu. "Kaisar?" pekik Monika saat Tari d
"Apa? Menghilang?" sahut Ayra denga suara lantang, "Jangan-jangan mereka kabur bersama," "Tidak mungkin." Suara Ibra keras dan tegas. Pria itu melangkah maju berdiri tegap di depan keluarganya. "Anindya, keponakanku tidak berbuat hal memalukan seperti itu." Sambungnya bak garda terdepan untuk melindungi semua orang-orang yang dianggapnya keluarga. "Lalu dimana dia sekarang?" sahut Atika yang biasanya diam kini tiba-tiba lantang berbicara di depan semua orang. "Tanyakan itu pada Gibran." Tari menunjuk Gibran. Gibran mengerutkan dahinya. "Bukankah kamu yang kuminta menjemputnya?" "Iya, benar. Tadi Tari menjemput di kamar yang sebutkan tapi kata temannya orang suruhanmu sudah membawanya," sahut Satya berusaha tenang, ada sang putri berada dalam gendongannya. Tari menarik tangan Renata maju. Menyuruh teman Anindya itu untuk berbicara. "Katakan," suruhnya. Renata menatap Gibran lalu berkata, "Iya, tadi sekitar dua jam yang lalu seorang wanita menjemput Anindya, katanya
Tak terasa seminggu sudah berlalu dan tibalah hari dimana acara akad nikah Ayra dan Kaisar akan digelar. Di sebuah hotel mewah milik keluarga besar Gibran. Kaisar dan keluarganya yang berasal dari Singapura sudah datang sejak sehari sebelumnya. Tak hanya keluarga Kaisar, kerabat dekat dan jauh keluarga Ayra juga sudah datang dan menginap di hotel. Berbeda dengan keluarganya, Gibran dan Anindya masih berada di rumah mereka. Gibran menolak saat diminta ikut menginap di hotel. "Aku akan datang pagi-pagi sekali. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau Anin, terserah sama dia," tolak Gibran saat makan malam di rumah orang tuanya dua hari sebelum hari H. Sama seperti suaminya. "Aku bareng Mas Gibran aja Ma. Suami istri kan datang dan pergi harus bareng Ma," ucap Anindya ikut menolak saat sang mertua memaksanya untuk ikut menginap di hotel. Namun Atika seperti tak mau menyerah, wanita itu terus membujuk Anindya dengan rayuan dan banyak kata-kata manis. "Ikut ya An
Sudah jam sembilan pagi namun kendaraan milik Gibran masih terparkir di halaman rumah. Itu menandakan pria itu belum berangkat ke kantor. Padahal hari ini bukan hari libur tapi kenapa pria itu belum juga berangkat kerja. Berbeda dengan Gibran, hari ini Anindya tidak ada kelas karena kemarin baru selesai ujian. Dua jam sudah gadis berwajah manis itu duduk di sofa dekat jendela kamarnya. Matanya setia memandang ke arah halaman rumah yang ada di bawah. Tepatnya pada mobil hitam milik suaminya. "Kenapa belum berangkat juga?" keluhnya sedikit kesal. "Apa dia gak kerja hari ini? Kan masih hari jum'at." Monolognya pada diri sendiri. Bibirnya mengerucut karena kesal dan lapar. Semalam dia tidak menghabiskan makan malamnya karena buru-buru mengikuti Gibran dan Ayra. Sampai rumah moodnya jelek jadi tidak berminat untuk makan lagi. Jadilah sejak selesai solat shubuh perutnya meronta-ronta minta segera diisi. Gadis itu mendengus kasar, dielus-elus perut rampingnya yang kembali berbunyi.
"Tunggu!" Atika menahan lengan Gibran. "Papamu menelpon," katanya sambil menunjukkan ponselnya yang bergetar. Gibran menghentikan langkahnya. "Kenapa Papa nelpon?" Gibran mengerutkan dahinya. Mendengar itu Anindya memegangi lengan Guntur lalu menariknya kembali bersembunyi. "Papa pasti mencari kita, sebaiknya kita segera kembali." Ayra menyahut. "Halo Pa," Atika menerima panggilan suara dari ponsel suaminya. "Iya Pa. Ini Mama nyari Anindya Pa. Iya...iya... Mama balik sekarang Pa," jawab Atika sebelum mengakhiri panggilan. "Papa kalian marah-marah. Katanya, malu sama keluarga Kaisar karena semuanya pergi tinggal Papa dan Gia saja." "Kak Guntur kemana?" tanya Gibran. "Tadi dia pamit angkat telpon. Mungkin sekarang ada di luar," jawab Atika."Telpon dari siapa? Kenapa lama sekali?" tanya Gibran lagi, merasa curiga. "Sudah-sudah gak usah bicarakan anak itu, kita balik aja keburu Papamu tambah marah." Atika menarik tangan Ayra dan Gibran. Namun Gibran menolak. "Mama s
"-----Anindya hanya pion yang akan aku tumbalkan untuk melancarkan rencana kita." Degh...... Seperti badai yang menghantam di saat cuaca sedang cerah. Mendadak sinar di wajah Anindya meredup. Matanya dipenuhi kaca-kaca yang hanya dengan kedipan mata seketika menjadi hujan. 'Jadi kau menipuku?' batinnya dengan hati yang terasa sesak. Ternyata semua perlakuan manis ya beberapa hari ini hanya kepura-puraan saja. Tak sampai di situ, Gibran kembali memberi luka yang lebih dalam lagi. "Anindya wanita hanyalah wanita bodoh yang haus kasih sayang, sangat mudah dibohongi dengan kata-kata manis. Dia tidak pantas disandingkan denganmu. Jadi berhentilah cemburu padanya." Serasa hatinya dicabik-cabik Anindya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa perih dan ngilu. Rasa sakit itu membuatnya lelehan bening merangsek keluar dari kedua bola mata indahnya. "Tapi sikapmu terlalu manis padanya dan itu membuatku kesal." Ayra mendekati Gibran. Tangannya merambat pelan meraba lengan, punda
"Hari pulang jam berapa?" tanya Gibran yang duduk dibalik kemudi. "Jam 12-an," jawab Anindya tanpa menoleh. Gadis itu sibuk menghafal catatan yang diberikan Bagas kemarin siang. "Hari ini kamu ada ujian?" tanya Gibran melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Sejak kemarin malam Anindya sibuk dengan buku-buku pelajarannya. "Iya." Kembali, Anindya menjawab singkat. Gibran menghela nafas. Anindya yang dilihatnya dulu dan sekarang sudah berbeda jauh. Dulu Gibran sempat menolak saat pertama kali Ibra Rahardian menawarkan perjodohan dirinya dengan Anindya, putri bungsu Farhan Aditama. "Anindya Savira Aditama, putri kedua dari Farhan Aditama. Sikapnya sombong, suka dengan kemewahan dan memiliki banyak catatan buruk baik di sekolah juga di kampus. Pernah bermasalah dengan pembullyan dan hampir dikeluarkan dari kampus." Informasi yang Gibran dapatkan tentang adik Abisatya itu tidak ada yang baik. Tapi setelah hidup bersama Gibran baru tahu ternyata Anindya tidak seburuk itu.
"Jujur sama Mama, sebenarnya tadi kamu tiba-tiba menghilang karena kamu ingin kabur kan? Kamu sudah tidak tahan dengan sikap kasar Gibran kan?" Anindya menggelengkan kepalanya, "Nggak seperti itu Ma?" "Gak usah bohong sama Mama. Mama sudah tahu semuanya," kekeh Aisya pada pendiriannya. Anindya memandang Jihan yang juga memandangnya dengan tatapa sendu. Ada rasa bersalah tersirat dalam tatapan wanita cantik itu. Karena dirinya yang cemburu buta Anindya dipaksa menikahi Gibran. "Ini salah faham Ma, Mas Gibran tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia memang kaku dan tegas tapi dia baik. Mas Gibran yang menolongku saat aku dibully di kampus. Bahkan dia menolak untuk damai," terang Anindya. Aisyah memcingkan matanya. Wanita yang telah melahirkan Anindya itu tidak serta merta mempercayai ucapan putrinya itu. Dia tahu betul seperti apa Anindya. Dia pandai berbohong. "Aku nggak bohong Ma," kekeh Anindya berusaha meyakinkan sang Mama. "Kalau Mama tidak percaya Mama bisa telp
"Satu... dua... ti...." Anindya sontak menutup matanya, jantungnya berdegup kencang membayangkan rasa sakit yang akan dirasakannya saat cairan keras itu mengenai kulit mulusnya. 'Yaa Allah..... Hanya Enkaulah penolongku dan hanya pada-Mu aku bersandar.' Dalam hati Anindya terus merapalkan doa meminta pertolongan dari Tuhan. Namun sampai beberapa menit tidak ada yang terjadi, suasana mendadak hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang berjalan. Tangan yang memeganginya juga mengendur. Perlahan Anindya membuka matanya. Nampak dua orang disamping kanan kirinya menatapnya lekat. "Takut?" ucap Danisa yang di sambut decak tawa dua orang teman Danisa. "Sepertinya dia penasaran dengan rasa sakitnya?" sahut seseorang yang duduk dibalik kemudi. "Rasanya sangat panas dan menyakitkan. Kulitmu akan melepuh dan terasa perih. Rasa sakitnya masih terasa meski lukanya sudah kering. Kamu mau lihat?" Danisa memegangi maskernya seolah akan melepaskan kain penutup mukanya itu. "A-a