Setelah berjuang selama tiga hari akhirnya Farah menghembuskan nafas terakhirnya. Mama Tari itu pun menutup mata tanpa sempat melihat Tari. Tari tak bisa menerima kematian Farah. Istri Satya itu merasa jika kematian sang mama karena dirinya. Begitu sedih sampai beberapa kali pingsan. Tak hanya Tari, Ganendra juga sangat sedih. Pria yang tak pernah terlihat menangis itu sampai tak sanggup berdiri saat mendapat kabar kematian sang Mama. Selain dua orang itu yang paling terpuruk atas kematian Farah adalah Ibra. Pria yang selalu terlihat tenang itu benar-benar hancur. Ibra meraung sambil memeluk tubuh dingin istrinya. Tidak mengizinkan siapapun untuk menyentuh istrinya kecuali kedua anaknya. Karena itu sampai sore jasad Farah belum juga dikebumikan. Jangankan disholati dimandikan saja tidak boleh. Semua orang tidak ada yang berani mendekat. Ibra bahkan tak segan mengacungkan senjat* pada orang yang ingin mendekati jasad Farah. Tari dan Ganendra tak bisa berbuat apa-apa, mereka
"Apa wanita itu Tante Nura?" tebak Ganendra yang langsung menatap papanya tajam. "Katakan!!" teriaknya. Suasana mendadak senyap setelah terdengar teriakan Ganendra. Ibra terdiam begitu juga Dirga, kaka sepupu Farah itu tak memyangka pembicaraannua dengan Ibra terdengar oelj Ganendra. "Apa itu sebabnya Papa tidak jadi melaporkan mereka ke polisi?" sungut Ganendra menepis tangan Dirga yang mencoba menariknya keluar. Ibra masih tetap dengan kebisuannya. Rahangnya mengeras dengan tangan tak lepas dari jasad istrinya. "Tenanglah, jangan bertengkar di depan jasad Mamamu. Dia akan sedih melihat semua ini?" Dirga kembali menarik lengan Ganendra. "Tidak, Pakde. Aku sudah menahannya terlalu lama. Kali ini tidak bisa lagi kutahan," "Ada apa Kak?" Dengan wajah pucat Tari kembali masuk ke kamar utama. Baru juga hendak masuk kamat sudah terdengar teriakan Ganendra yang menggema di seluruu rumah. "Kak kenapa?" tanyanya lagi sambil menggoyangkan lengan Ganendra. "Papa memiliki
Pagi ini setelah selesai sarapan Dorga mengumpulka semua Ibra dan anak-anaknya. Agar lebih privat mereka berjumpa di riang kerja Ibra. Di ruangan itu Ganendra dan Tari duduk di sofa panjang. Sedangkan Ibra dan Dirga duduk di sofa singgle yang berhadapan. "Ganendra kamu jangan salah faham, Papamu tidak berselingkuh dengan wanita manapun. Apa yang kamu dengar kemarin hanya sepotong kalimatku," jelas Dirga. "Jadi jangan berbicara kasar lagi pada Papamu," Ganendra tak menyahut. Informasi dan bukti yang sudah dia dapatkan menunjukkan jika papanya memiliki perasaan dan hubungan terlarang dengan Nura. Tari menggenggam tangan sang kakak, meminta untuk tenang. Jujur dirinya juga kecewa namun tidak adil jika tak mendengarkan penjelasan papanya. "Bisa langsung ke intinya Pakde?" Ganendra sudah tak. sabar untuk mendengarkan pesan dan permintaan terakhir mamanya. Sebelum berbicara Dirga menatap Ibra. "Katakan Mas, saya sudah siap," ucap Ibra dengan wajah kusut dan lelahnya. Dirga me
"Dari mana omongan seperti itu?" tanya Ibra setelah beberapa saat dibuat tertegun dengan pernyataan putrinya. "Dari desas-desus yang Kak Ganendra dengar, Papa sengaja memindahkan Om Angga kesana untuk mempelajari perusahaan warisan Opa Galih itu, yang nantinya akan Papa serahkan padanya setelah mama meninggal," terang Tari yang seketika membuat wajah Ibra memerah. "Siapa yang berani bicara seperti itu?" Geram Ibra dengan tatapan tajamnya. "Itu yang dikatakan Angga pada Farah. Angga mengatakan kamu akan memberikan perusahaan Rajasa setelah Farah meninggal dengan syarat menceraikan Nura," sahut Dirga. "Brengs*k!!" umpat Ibra dengan kedua tangan mengepal. "Maaf tapi selama ini Farah tidak e pernah menyinggung apa-apa. Mas Dirga yakin Farha berkata begitu?" "Kamu pikir aku mengada-ngada? Kamu bisa lihat sendiri isi wasiat Farah. Itu sudah menunjukkan betapa kecewanya dia padamu." Ibra mendesah berat, dadanya bergemuruh mengetahui kebaikannya dimanfaatkan oleh Angga.
"Papa ngomong apa sih?" Tari mendekati Papanya. "Ini rumah Papa, rumah kita. Mau menemani Mama gimana maksudnya? Jangan tinggalkan aku dan Sabia," Tangis Tari akhirnya pecah. Hatinya sangat sedih dan resah. Mamanya baru saja meninggal dunia dan kini papa dengan Kakaknya bertengkar sampai ingin meninggalkan rumah. Ibra mendesah berat, dipeluknya putri kesayangannya itu. "Papa gak mungkin ninggalin kamu dan Sabia. Papa hanya ingin menebus kesalahan Papa sama mama kalian." "Maksudnya gimana?" tanya Tari lagi sambil menangis. Ibra menarik putrinya itu duduk di sofa lalu meminta Ganendra ikut duduk. Namun putra sulungnya itu menolak dan akhirnya menurut setelah dipaksa Satya. Jihan dan orang tuanya langsung mengikuti Aisyah yang mengajak kembali naik ke lantai atas untuk beristirahat. Tersisa, Ibra, Tari, Satya dan Ganendra di ruangan itu. "Setelah 40 hari mama kalian papa akan pindah. Papa akan tinggal di rumah peristirahatan yang ada pemakaman keluarga kita." "Hah!
Tidak seperti yang diucapkan, Jordan tak berani melawan Ibra karena semua rahasia dan skandal kekuarganya sudah di tangan Ibra. Denga terpaksa Jordan mengambil langkah berpihak pada Ibra. "Jangan usik perusahaan dan keluargaku. Aku janji akan membantumu. Putriku akan bersaksi memberatkan Hutama dan putranya. Merekalah yang menjadi otak penculikan itu." Permintaan Jordan saat datang untuk yang kedua kalinya ke rumah Ibra. "Apa tujuan mereka?" tanya Ibra. "Menurut putriku, Rendra berniat membawa kabur Bestari dan menikahinya di luar negeri lalu kembali setelah proses perceraian Tari dan Satya. Selama proses perceraian mereka akan menghangatkan lagi berita kedekatan Rendra dan Bestari untuk menaikkan saham mereka," jelas Jordan saat itu dan membuat pertanyaan baru dari Ibra. "Tapi Satya dan putriku tidak dalam proses cerai," "Pengacara yang akan mengajukannya setelah Rendra bisa mendapatkan tanda tangan putriku," jawab Jordan. "Tolong beri keringanan untuk putriku, aku bisa ja
"Iya, ya ampun kamu masih ingat aku?..... Emmmm..." ucapnya manja sambil mengerlingkan matanya dan kembali merapatkan tubuhnya memeluk lengan Satya. Gemuruh di dalam dada memacu detak jantung Tari berdetak lebih kencang bak genderang. Matanya menatap tajam pada suaminya. Tiba-tiba perasan Satya jadi tak enak. Dan benar saja saat dia menoleh ibarat pedang tatapan mata Tari menghunus tepat ke jantungnya. "Eh...." Satya segera menarik tangannya dan mendorong lengan Karina menjauh. Wanita itu langsung merengut dan hendak meraih lagi tangan Satya. "Karina, jangan kayak gitu," ucap seorang pria menarik tangan Karina tapi dengan kasar ditepis oleh wanita itu. "Apa sih?" sentaknya kasar lalu kembali mendekati Satya. Segea Satya menghindar dengan berpindah tempat mendekat Tari dan langsung memeluk pinggang istrinya itu. "Karina kenalkan ini istri aku, Bestari." Satya merapatkan tubuhnya dan tubuh Tari. Meski kesal Tari pun mengurai senyum tipis dan mengulurkam tangannya. N
"Pisah kamar?" tanya Satya menatap istrinya tajam. "Nggak ada." Baru akan dijawab, Satya kembali berbicara dengan nada tegas. "Aku minta maaf sudah membuatmu kesal tapi untuk pisah kamar aku tidak mau," ucapnya lagi. "Sudah cukup dua tahun kita terpisah. Sekarang aku tidak mau lewatkan waktu kebersamaan kita." Tari mendesah berat. Matanya sudah berair ingin menangis namun ditahannya. Dia tidak mau terlihat cengeng di depan Satya. Meski jujur, hatinya sakit mengetahui jika dulu Satya sering menjelekkan dirinya di depan teman-teman pria itu. Tak hanya kali ini. Dulu bahkan Tari mendengar dan melihat sendiri bagaimana Satya menjelekkan dirinya di depan Rendra. Sebagai laki-laki tidak seharusnya Satya mengumbar aib orang lain ynag belum tentu kebenarannya. "Tidurlah di ranjang dengan Sabia. Biar aku tidur di sofa. Jika tak. ingin melihatku anggap saja aku tak ada," Satya beranjak turun dari tempat tidur. Baru beberapa langkah dia kembali lagi. "Dan satu lagi," ucapnya ber
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.