"Papa ngomong apa sih?" Tari mendekati Papanya. "Ini rumah Papa, rumah kita. Mau menemani Mama gimana maksudnya? Jangan tinggalkan aku dan Sabia," Tangis Tari akhirnya pecah. Hatinya sangat sedih dan resah. Mamanya baru saja meninggal dunia dan kini papa dengan Kakaknya bertengkar sampai ingin meninggalkan rumah. Ibra mendesah berat, dipeluknya putri kesayangannya itu. "Papa gak mungkin ninggalin kamu dan Sabia. Papa hanya ingin menebus kesalahan Papa sama mama kalian." "Maksudnya gimana?" tanya Tari lagi sambil menangis. Ibra menarik putrinya itu duduk di sofa lalu meminta Ganendra ikut duduk. Namun putra sulungnya itu menolak dan akhirnya menurut setelah dipaksa Satya. Jihan dan orang tuanya langsung mengikuti Aisyah yang mengajak kembali naik ke lantai atas untuk beristirahat. Tersisa, Ibra, Tari, Satya dan Ganendra di ruangan itu. "Setelah 40 hari mama kalian papa akan pindah. Papa akan tinggal di rumah peristirahatan yang ada pemakaman keluarga kita." "Hah!
Tidak seperti yang diucapkan, Jordan tak berani melawan Ibra karena semua rahasia dan skandal kekuarganya sudah di tangan Ibra. Denga terpaksa Jordan mengambil langkah berpihak pada Ibra. "Jangan usik perusahaan dan keluargaku. Aku janji akan membantumu. Putriku akan bersaksi memberatkan Hutama dan putranya. Merekalah yang menjadi otak penculikan itu." Permintaan Jordan saat datang untuk yang kedua kalinya ke rumah Ibra. "Apa tujuan mereka?" tanya Ibra. "Menurut putriku, Rendra berniat membawa kabur Bestari dan menikahinya di luar negeri lalu kembali setelah proses perceraian Tari dan Satya. Selama proses perceraian mereka akan menghangatkan lagi berita kedekatan Rendra dan Bestari untuk menaikkan saham mereka," jelas Jordan saat itu dan membuat pertanyaan baru dari Ibra. "Tapi Satya dan putriku tidak dalam proses cerai," "Pengacara yang akan mengajukannya setelah Rendra bisa mendapatkan tanda tangan putriku," jawab Jordan. "Tolong beri keringanan untuk putriku, aku bisa ja
"Iya, ya ampun kamu masih ingat aku?..... Emmmm..." ucapnya manja sambil mengerlingkan matanya dan kembali merapatkan tubuhnya memeluk lengan Satya. Gemuruh di dalam dada memacu detak jantung Tari berdetak lebih kencang bak genderang. Matanya menatap tajam pada suaminya. Tiba-tiba perasan Satya jadi tak enak. Dan benar saja saat dia menoleh ibarat pedang tatapan mata Tari menghunus tepat ke jantungnya. "Eh...." Satya segera menarik tangannya dan mendorong lengan Karina menjauh. Wanita itu langsung merengut dan hendak meraih lagi tangan Satya. "Karina, jangan kayak gitu," ucap seorang pria menarik tangan Karina tapi dengan kasar ditepis oleh wanita itu. "Apa sih?" sentaknya kasar lalu kembali mendekati Satya. Segea Satya menghindar dengan berpindah tempat mendekat Tari dan langsung memeluk pinggang istrinya itu. "Karina kenalkan ini istri aku, Bestari." Satya merapatkan tubuhnya dan tubuh Tari. Meski kesal Tari pun mengurai senyum tipis dan mengulurkam tangannya. N
"Pisah kamar?" tanya Satya menatap istrinya tajam. "Nggak ada." Baru akan dijawab, Satya kembali berbicara dengan nada tegas. "Aku minta maaf sudah membuatmu kesal tapi untuk pisah kamar aku tidak mau," ucapnya lagi. "Sudah cukup dua tahun kita terpisah. Sekarang aku tidak mau lewatkan waktu kebersamaan kita." Tari mendesah berat. Matanya sudah berair ingin menangis namun ditahannya. Dia tidak mau terlihat cengeng di depan Satya. Meski jujur, hatinya sakit mengetahui jika dulu Satya sering menjelekkan dirinya di depan teman-teman pria itu. Tak hanya kali ini. Dulu bahkan Tari mendengar dan melihat sendiri bagaimana Satya menjelekkan dirinya di depan Rendra. Sebagai laki-laki tidak seharusnya Satya mengumbar aib orang lain ynag belum tentu kebenarannya. "Tidurlah di ranjang dengan Sabia. Biar aku tidur di sofa. Jika tak. ingin melihatku anggap saja aku tak ada," Satya beranjak turun dari tempat tidur. Baru beberapa langkah dia kembali lagi. "Dan satu lagi," ucapnya ber
Tidak seperti perkiraan Satya, ternyata pekerjaannya bisa dia selesai sebelum jam lima sore. Pria itu pun segera merapikan meja kerjanya dna bergegas pulang supaya bisa makan malam bersama istri dan anaknya. Tepat saat adzan magrib mobil Satya beehenti di depan teras rumah. Pria itu pun langsung turun dari mobil. "Istri saya mana Bik?" tanya Satya pada bibi yang membukakan pintu. "Mbak Tari lagi sholat di kamar," jawab bibi. "Gimana Sabia?" tanyanya lagi. "Tadi sempat panas lagi tapi sekarang sudah turun habis minum obat." Satya menghela nafas, putrinya pasti rewel seharian dan Tari kerepotan. Jika saja tidak ada meeting mungkin dia akan memilih kerja dari rumah. "Tolong siapkan makan malam ya Bik," ucapnya sebelum melanggar menaiki tangga menuju lantai atas. Saat dia masuk kamar Tari baru selesai sholat magrib. Wanita itu menengadahkan tangannya sambil mengucapkan doa dengan putrinya yang tiduran di karpet tepat di sebelahnya. Hati Satya terenyuh, segera
"Aku juga bisa kasar bahkan menghancurkanmu," desis Tari penuh dengan kemarahan. Hatinya sudah hancur sehancur-hancurnya. Dia tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada orang yang menyebarkan fitnah kejam tentang dirinya. Bahkan pada orang yang sama sekali tidak mengenalnya dan dikenalnya. Sebegitu bencinya kah Satya pada dirinya? Kenapa dia begitu bodoh, Tari merutuki dirinya sendiri. "Assalamu'alaikum.... selamat malam.." Suara mendayu dari depan. Satya menghela nafas. Perlahan dilepaskannya lengan Tari dari genggamannya. Tari menatapnha sinis, ternyata suaminya itu lebih peduli dengan temannya dibanding dirinya dan Sabia. Tak menunggu lama, Tari pun segera berallu dari hadapan Satya. "Wa'alaikum salam." Satya menyambut tamunya. "Silahkan duduk," ucapnya menggiring dua orang tamunya itu ke sofa. Rama mengangguk sopan. Beda dengan Karina, dia menelisik seluruh ruangan itu dengan kedua matanya yang dipasangi bulu mata palsu. Wajahnya langsung sinis saat melihat fot
Sepi, ruang makan juga dapur nampak sepi tak ada satu pun orang yang nampak. Tak seperti pagi sebelumnya meja makan kosong tak ada satu pun piring di sana. Hanya sebuah vas bunga dan kunci lengkap dengan gantungannya tergeletak begitu saja. Masih belum percaya, Satya berlari menuju kamar artnya yang ada di belakang dapur. Diketuk beberapa kali namun tak ada sahutan. Saat dibuka, kamar kosong. Dengan jantung yang bertalu-talu Satya berlari ke depan. Berharap Pak Yono berada di pos dekat pagar depan. "Pak Yono," panggilnya sambil membuka pintu pos lalu berlaih ke garasi. Mungkin Sopirmya itu ada di sana. Sayangnya garasi pun kosong. "Halo, kamu dimana?" Satya menghibungi Johan, bodyguard pemberian Ibra khusus untuk menjaga Tari. "Istri saya sama kamu?" tanyanya lagi menahan amarah karena Johan tidka mau menjawan pertanyaannya. "Berikan ponselnya pada Tari! Saya mau bic," Tut tut.... Sambungan telpon dimatikan. "Sh*T....." umpat Satya marah. Rahangnya mengeras
Setelah sholat dhuhur di bandara Satya langsung menuju kediaman keluarga Rahardian. Art yang membukakan pintu memberitahu jika tidak ada orang di rumah. Jihan dan Ganendra pergi sejak tadi pagi. Tidak percaya begitu saja, Satya izin ke kamar mandi sebentar dan langsung naik ke lantai atas. Memerikda aemua kamar termasuk kamar Ganendra dan kamar milik mertuanya. Sang art yang merasa bingung hanya berani mengawasi dari ruang tengah. Tak hanya kamar semua ruangan sampai halaman samping tak ketinggalan. Merasa tak ada hasil Satya pamit dan langsung menuju kantor pusat perusahaan Rahardian group. Beberapa karyawan mengangguk sopan saat berpasangan di lobby kantor. Selain menantu pemilik perusahaan Satya juga CEO dari perusahaan Aditama yang juga bergabung di bawah Rahardian Group. Sudah pasti banyak karyawan yang mengenalnya. "Siang Pak Satya," sapa salah satu karyawan yang Satua juga kenal. Satya menghentikan langkahnya. "Apa Pak Genendra ada di ruangannya?" tanya Satya pa
Gibran tersenyum, "Jika aku menuruti keinginan Anindya dengan membatalkan perjodohan kami, apa yang aku dapat?" Tari tersenyum sinis, dia sudah bisa menebak reaksi Gibran. "Tentu tidak ada yang gratis di dunia. Dan kami paham soal itu. Katakan saja kamu ingin apa?" "Apa yang bisa kamu tawarkan?" tantang Gibran dengan ekspresi yang sulit Tari baca. "Mungkin sebuah investasi atau hal yang lain yang mungkin kamu inginkan?" "Menarik, tapi aku ingin yang lain." Gibran kembali menyesap kopinya. "Minumlah, kita bicara santai saja." Tari menuruti ucapan pria di depannya itu, menyesap jus strawberry favoritnya. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu kita sering bertemu," kata Gibran sambil menyandarkan punggunya santai. "Aku salah satu teman kakakmu yang sering main ke rumah kalian. Jus strawberry dan cilok bumbu kacang," Tari menatap pria itu lekat. Wajah pria itu seperti tak. asing. Gibran mengingatkannya pada seseorang. Tapi entah siapa? Gibran tersenyum lebar, mimik wajah Tari
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas