Setelah sholat dhuhur di bandara Satya langsung menuju kediaman keluarga Rahardian. Art yang membukakan pintu memberitahu jika tidak ada orang di rumah. Jihan dan Ganendra pergi sejak tadi pagi. Tidak percaya begitu saja, Satya izin ke kamar mandi sebentar dan langsung naik ke lantai atas. Memerikda aemua kamar termasuk kamar Ganendra dan kamar milik mertuanya. Sang art yang merasa bingung hanya berani mengawasi dari ruang tengah. Tak hanya kamar semua ruangan sampai halaman samping tak ketinggalan. Merasa tak ada hasil Satya pamit dan langsung menuju kantor pusat perusahaan Rahardian group. Beberapa karyawan mengangguk sopan saat berpasangan di lobby kantor. Selain menantu pemilik perusahaan Satya juga CEO dari perusahaan Aditama yang juga bergabung di bawah Rahardian Group. Sudah pasti banyak karyawan yang mengenalnya. "Siang Pak Satya," sapa salah satu karyawan yang Satua juga kenal. Satya menghentikan langkahnya. "Apa Pak Genendra ada di ruangannya?" tanya Satya pa
"Bagaiamana jika aku minta kamu tinggalkan Tari, apa kamu akan lakukan?" Satya menatap Tari sendu, dalam hati dia berharap Tari akan mengatakan sesuatu dan tidak membiarkan papanya mengintimidasi Satya. Memaksa dirinya harus memilih antara Tari dan perusahaan. Bagaimanapun Satya tidak bisa egois. Banyak karyawan yang bergantung pada perusahaannya. Namun sampai beberapa detik Tari hanya diam saja, menatap Satya datar. Tqk punya pilihan Satya pun harus menjawab. "Saya harap Papa tidak akan lupa dengan janji Papa yang tidak akan melibatkan perusahaan jika terjadi sesuatu antara aku dan Tari. Dan sampai hari ini saya masoh percaya dengan janji itu," Ibra mendengus lalu menganggukkan kepalanya, tentu saja pria itu ingat dengan apa yang sudah diucapkannya. Bukan berniat ingkar namun dia jug harus memastikan kebahagiaan putri bungsunya. Ibra masih ingat dengan jelas seteguh apa menantunya itu menolak bantuanya dan lebih memilih menjual semua aset pribadinya untuk menutupi kerugian
Pagi ini setelah selesai sarapan Tari membawa putrinya untuk duduk bersantai di balai kayu yang ada di teras. Suasana pagi yang sejuk membuat Sabia yang sudah mulai sehat itu anteng dengan mainannya tanpa merasa kegerahan padahal cuaca Beberapa bulan ini sedang panas-panasnya. Sudah dua hari Satya pergi dan sampai saat ini tidak ada kabar apapun darinya. Lagi-lagi Tari merasa kecewa, sikap.. Satya tak seserius ucapannya. Ditolak sekali sudah tak mau berusaha lagi. Satya sepertinya lupa jika pernah berjanji akan sabar menghadapi sifat Tari bahkan rela dihina setiap hari demi untuk menebus dosanya di masalalu. Namun apa? Hanya karena teman lamanya Satya bahkan sampai menatap Tari dengan tajam. Hal yng tudak pernah dilakukan setelah kembali rujuk. Namun sesungguhnya Tari juga merasa lebih lega dengan sikap acuh Satya. Jujur saja, kali ini hatinya sulit untuk memaafkan Satya. Tari benar-benar kecewa. Harga dirimya sebagai wanita sudah diinjak-injak sampai hancur lebur. Pria maca
"Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambilkan minum." Bik Surti segera pergi setelah mengantar Tari dan Sabua masuk ke dalam kamar Satya. Meski enggan Tari pun mengangguk. Sebenarnya tadi setelah mendengar ucapan Farhan Tari berniat pergi tapi bik Surti menahannya. "Jangan pergi, Mbak. Ikut saya nanti saya cerotakan semuanya," ucap bik Surti beberapa menit yang lalu sambil menarik tangan Tari naik kelantau atas. Sebuah dengusan kasar keluar dari mukut Tari. Di pandanginya setiap sudut kamar yang sudha lama sekali tidak disambanginya ini. "Mama...mam.... " oceh Sabia menggeliat minta turun. Balita yang sudah mulai lancar berjalan itu begitu aktif. Kaki kecilnya langsung melangkah mendekati ranjang dan menarik-narik sprei kasur. "Eh.... gak boleh gitu sayang..." Tari memegangi tangan Sabia. "Dilepas dulu jaketnya," ucapnya sambil membuka resleting jaket Sabia. Setelahnya mengangkat putrinya naik ke atas tempat tidur. Diambilkannya beberapa mainan yang memang selalu dibawa di da
Belum selesai Tari dan bik Surti bicara suara perdebatan di bawah sana berubah menjadi pertengkaran. Suara bentakan dan teriakan terdengar sampai kamar membuat Tari merasa sangat bersalah. "Astaghfirullah...." ucapnya sambil merengkuh putrinya. "Bik, bagaimana ini Bik? Saya pulang aja ya Bik,...gara-gara saya mereka jadi betengkar." Wajah Tari berubah pucat. Sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun dia mendengar orang tuanya bertengkar sampai saling bentak. "Jangan," cegah Bibi panik. "Maksud Bibi, Mbak Tari tunggu situasinya tenang dulu," sambungnya sambil memenangi tangan Tari. Karena bingunh, Tari pun menurut saja. Di dekapnya Sabia erat-erat saat kembali terdengar teriakan dari bawah sana. "Bukan Tari yang lebay Tapi kita yang salah!!" Suara Aisyah membentak. "Aninndya sudah melakukan kesalahan, dia harus bertanggung jawab." "Tarus saja bela keponakan manjamu itu sampai kamu kehilangan anak-anakmu," teriak Farhan tak mau kalah. "Sikap Papa yang membela Anindya i
"Sampai kapan kamu akan terus mempermalukan Papa di depan keluarga Rahadian?" tanya Farhan pada sosok putrinya yang hanya menundukkan kepalanya. Di ruang tengah hanya ada Farhan dan Anindya, sedang Aisyah langsung masuk kamar setelah Satya dan Tari pergi. Wanita kalem itu sudah dangat lelah dan kecewa pada suami dan putrinya itu. "Haruskah Papa menanggung malu sampai Papa mati, baru kamu akan puas?" Mendengar ucapan papanya yang penuh kekecewaan Anindya pun mengangkat kepalanya. Matanya memerah dan mulai mengembun. "Tidak, Pa. Aku tidak sejahat itu," ujar Tari. "Iya, aku salah. Aku memang yang menyebarkan fitnah itu tapi aku kan sudah minta maaf. Aku juga tidak tahu jika masalah akan sampai sebesar ini." Anindya tidak tahu lagi harus berbuat apa? Dia memang yang menyebarkan fitnah itu tapi dia juga tidak punya kuasa untuk mengendalikan agar orang-orang tidak membahas fitnah itu dan menyebarkan ke yang lain. Iya, jika saat membahas fitnah itu ada Anindya, dia pasti akan
"Dan kenapa kamu masih meyimpaan foto ini? Meletakkannya rapi di atas meja kerjamu." Untuk sesaat Satya tertegun. Pria tampan itu terdiam untuk beberapa detik dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Semenjak tadi Tari seolah tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Terlihat tidak biasa-biasa saja, bukan seperti Tari kemarin yang sangat emosi karena masalah ucapan Karina. "Jawab, kenapa diam saja?" ujar Tari lagi seperti tidak sabar. Satya tersentak lalu mengerjabkan matanya beberapa kali dan setelahnya malah tersenyum lebar. Mendadak dadanya terasa lega dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Bukan Satya tidk tahu jika bik Sarti sudah memberi penjelasan pada Tari, hanya saja Satya tidak berpikir jika penjelasan art mamanya itu akan sebaik ini dampaknya. Tari sudah tidak mempermasalahkan ucapan Karina. Dan itu artinya masalah itu sudah selesai. Semua beban seperti langsung terangkat dari pundak Satya. "Alhamdulillah..." ucapnya r
Sudah seminggu Tari dan Satya kembali ke Surabaya dan mulai kembali menjalani rutinitas kehidupan mereka seperti sebelumnya. Satya yang mulai sibuk dengan pekerjaan di pabrik barunya yang mulai berkembang. Meski banyak pekerjaan di kantor namun Satya tidak pernha pulang melawati jam lima sore. Pria itu memastikan sudah berada di rumah sebelum adzan magrib berkumandang. Sesibuk apapun dia selalu meyempatian waktu untuk sholat magrib di rumah. Pekerjaan yang bisa dibawa dikerjakan di rumah akan dibawa pulang. Satya akan mengerjakannya setelah Sabia tidur. Sebelum itu dia akan menghabisi waktu untuk berinteraksi dengan putri semata wayangnya itu. Berbeda dengan Tari, yang meski wanita karir namun dia memilih untuk menomorsatukan keluarganya. Urusan kafe dan restoran dia percayakan pada orang kepercayaannya. Semua kafe dna restoran mmdioasang CCTV yang langsung terhubung ke ponsel Tari. Jadi, Tari hanya perlu mengawawai dari rumah. Tari sendiri tipe orang yang betah di dalam rum
Gibran tersenyum, "Jika aku menuruti keinginan Anindya dengan membatalkan perjodohan kami, apa yang aku dapat?" Tari tersenyum sinis, dia sudah bisa menebak reaksi Gibran. "Tentu tidak ada yang gratis di dunia. Dan kami paham soal itu. Katakan saja kamu ingin apa?" "Apa yang bisa kamu tawarkan?" tantang Gibran dengan ekspresi yang sulit Tari baca. "Mungkin sebuah investasi atau hal yang lain yang mungkin kamu inginkan?" "Menarik, tapi aku ingin yang lain." Gibran kembali menyesap kopinya. "Minumlah, kita bicara santai saja." Tari menuruti ucapan pria di depannya itu, menyesap jus strawberry favoritnya. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu kita sering bertemu," kata Gibran sambil menyandarkan punggunya santai. "Aku salah satu teman kakakmu yang sering main ke rumah kalian. Jus strawberry dan cilok bumbu kacang," Tari menatap pria itu lekat. Wajah pria itu seperti tak. asing. Gibran mengingatkannya pada seseorang. Tapi entah siapa? Gibran tersenyum lebar, mimik wajah Tari
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas