Share

kepergian Tari.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 21:19:15
Setelah sholat dhuhur di bandara Satya langsung menuju kediaman keluarga Rahardian. Art yang membukakan pintu memberitahu jika tidak ada orang di rumah. Jihan dan Ganendra pergi sejak tadi pagi.

Tidak percaya begitu saja, Satya izin ke kamar mandi sebentar dan langsung naik ke lantai atas. Memerikda aemua kamar termasuk kamar Ganendra dan kamar milik mertuanya.

Sang art yang merasa bingung hanya berani mengawasi dari ruang tengah. Tak hanya kamar semua ruangan sampai halaman samping tak ketinggalan.

Merasa tak ada hasil Satya pamit dan langsung menuju kantor pusat perusahaan Rahardian group.

Beberapa karyawan mengangguk sopan saat berpasangan di lobby kantor. Selain menantu pemilik perusahaan Satya juga CEO dari perusahaan Aditama yang juga bergabung di bawah Rahardian Group. Sudah pasti banyak karyawan yang mengenalnya.

"Siang Pak Satya," sapa salah satu karyawan yang Satua juga kenal.

Satya menghentikan langkahnya. "Apa Pak Genendra ada di ruangannya?" tanya Satya pa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Anik Murniatun
menurutku emang tari kurang dewasa & egois , Satya emang dulu bejat tp kan sekarang sdh tobat & cinta mati sama tari harusnya tari lebih bijak dgn dibicarain berdua sama Satya kalau ada masalah , kalau GK move on dr masa lalu ya kapan hidup bahagia
goodnovel comment avatar
vpi
Itu kan masa lalu ka,setiap orang pasti punya salah & khilaf…lagian satya jga dlu hanya salah paham sja dia bilang bgtu sama tari…orang bijak mau memaafkan keslahan itu,jgn memupuk dendam terlalu lama yg rugi entar diri sendiri
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
lanjut dong thorr... double up gitu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Mencari jawaban.

    "Bagaiamana jika aku minta kamu tinggalkan Tari, apa kamu akan lakukan?" Satya menatap Tari sendu, dalam hati dia berharap Tari akan mengatakan sesuatu dan tidak membiarkan papanya mengintimidasi Satya. Memaksa dirinya harus memilih antara Tari dan perusahaan. Bagaimanapun Satya tidak bisa egois. Banyak karyawan yang bergantung pada perusahaannya. Namun sampai beberapa detik Tari hanya diam saja, menatap Satya datar. Tqk punya pilihan Satya pun harus menjawab. "Saya harap Papa tidak akan lupa dengan janji Papa yang tidak akan melibatkan perusahaan jika terjadi sesuatu antara aku dan Tari. Dan sampai hari ini saya masoh percaya dengan janji itu," Ibra mendengus lalu menganggukkan kepalanya, tentu saja pria itu ingat dengan apa yang sudah diucapkannya. Bukan berniat ingkar namun dia jug harus memastikan kebahagiaan putri bungsunya. Ibra masih ingat dengan jelas seteguh apa menantunya itu menolak bantuanya dan lebih memilih menjual semua aset pribadinya untuk menutupi kerugian

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menginap di rumah mertua

    Pagi ini setelah selesai sarapan Tari membawa putrinya untuk duduk bersantai di balai kayu yang ada di teras. Suasana pagi yang sejuk membuat Sabia yang sudah mulai sehat itu anteng dengan mainannya tanpa merasa kegerahan padahal cuaca Beberapa bulan ini sedang panas-panasnya. Sudah dua hari Satya pergi dan sampai saat ini tidak ada kabar apapun darinya. Lagi-lagi Tari merasa kecewa, sikap.. Satya tak seserius ucapannya. Ditolak sekali sudah tak mau berusaha lagi. Satya sepertinya lupa jika pernah berjanji akan sabar menghadapi sifat Tari bahkan rela dihina setiap hari demi untuk menebus dosanya di masalalu. Namun apa? Hanya karena teman lamanya Satya bahkan sampai menatap Tari dengan tajam. Hal yng tudak pernah dilakukan setelah kembali rujuk. Namun sesungguhnya Tari juga merasa lebih lega dengan sikap acuh Satya. Jujur saja, kali ini hatinya sulit untuk memaafkan Satya. Tari benar-benar kecewa. Harga dirimya sebagai wanita sudah diinjak-injak sampai hancur lebur. Pria maca

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menginap di rumah mertua

    "Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambilkan minum." Bik Surti segera pergi setelah mengantar Tari dan Sabua masuk ke dalam kamar Satya. Meski enggan Tari pun mengangguk. Sebenarnya tadi setelah mendengar ucapan Farhan Tari berniat pergi tapi bik Surti menahannya. "Jangan pergi, Mbak. Ikut saya nanti saya cerotakan semuanya," ucap bik Surti beberapa menit yang lalu sambil menarik tangan Tari naik kelantau atas. Sebuah dengusan kasar keluar dari mukut Tari. Di pandanginya setiap sudut kamar yang sudha lama sekali tidak disambanginya ini. "Mama...mam.... " oceh Sabia menggeliat minta turun. Balita yang sudah mulai lancar berjalan itu begitu aktif. Kaki kecilnya langsung melangkah mendekati ranjang dan menarik-narik sprei kasur. "Eh.... gak boleh gitu sayang..." Tari memegangi tangan Sabia. "Dilepas dulu jaketnya," ucapnya sambil membuka resleting jaket Sabia. Setelahnya mengangkat putrinya naik ke atas tempat tidur. Diambilkannya beberapa mainan yang memang selalu dibawa di da

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Luapan emosi Tari.

    Belum selesai Tari dan bik Surti bicara suara perdebatan di bawah sana berubah menjadi pertengkaran. Suara bentakan dan teriakan terdengar sampai kamar membuat Tari merasa sangat bersalah. "Astaghfirullah...." ucapnya sambil merengkuh putrinya. "Bik, bagaimana ini Bik? Saya pulang aja ya Bik,...gara-gara saya mereka jadi betengkar." Wajah Tari berubah pucat. Sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun dia mendengar orang tuanya bertengkar sampai saling bentak. "Jangan," cegah Bibi panik. "Maksud Bibi, Mbak Tari tunggu situasinya tenang dulu," sambungnya sambil memenangi tangan Tari. Karena bingunh, Tari pun menurut saja. Di dekapnya Sabia erat-erat saat kembali terdengar teriakan dari bawah sana. "Bukan Tari yang lebay Tapi kita yang salah!!" Suara Aisyah membentak. "Aninndya sudah melakukan kesalahan, dia harus bertanggung jawab." "Tarus saja bela keponakan manjamu itu sampai kamu kehilangan anak-anakmu," teriak Farhan tak mau kalah. "Sikap Papa yang membela Anindya i

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kekecewaan Farhan

    "Sampai kapan kamu akan terus mempermalukan Papa di depan keluarga Rahadian?" tanya Farhan pada sosok putrinya yang hanya menundukkan kepalanya. Di ruang tengah hanya ada Farhan dan Anindya, sedang Aisyah langsung masuk kamar setelah Satya dan Tari pergi. Wanita kalem itu sudah dangat lelah dan kecewa pada suami dan putrinya itu. "Haruskah Papa menanggung malu sampai Papa mati, baru kamu akan puas?" Mendengar ucapan papanya yang penuh kekecewaan Anindya pun mengangkat kepalanya. Matanya memerah dan mulai mengembun. "Tidak, Pa. Aku tidak sejahat itu," ujar Tari. "Iya, aku salah. Aku memang yang menyebarkan fitnah itu tapi aku kan sudah minta maaf. Aku juga tidak tahu jika masalah akan sampai sebesar ini." Anindya tidak tahu lagi harus berbuat apa? Dia memang yang menyebarkan fitnah itu tapi dia juga tidak punya kuasa untuk mengendalikan agar orang-orang tidak membahas fitnah itu dan menyebarkan ke yang lain. Iya, jika saat membahas fitnah itu ada Anindya, dia pasti akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan.

    "Dan kenapa kamu masih meyimpaan foto ini? Meletakkannya rapi di atas meja kerjamu." Untuk sesaat Satya tertegun. Pria tampan itu terdiam untuk beberapa detik dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Semenjak tadi Tari seolah tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Terlihat tidak biasa-biasa saja, bukan seperti Tari kemarin yang sangat emosi karena masalah ucapan Karina. "Jawab, kenapa diam saja?" ujar Tari lagi seperti tidak sabar. Satya tersentak lalu mengerjabkan matanya beberapa kali dan setelahnya malah tersenyum lebar. Mendadak dadanya terasa lega dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Bukan Satya tidk tahu jika bik Sarti sudah memberi penjelasan pada Tari, hanya saja Satya tidak berpikir jika penjelasan art mamanya itu akan sebaik ini dampaknya. Tari sudah tidak mempermasalahkan ucapan Karina. Dan itu artinya masalah itu sudah selesai. Semua beban seperti langsung terangkat dari pundak Satya. "Alhamdulillah..." ucapnya r

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tari yang bahagia Anindya yang tersiksa.

    Sudah seminggu Tari dan Satya kembali ke Surabaya dan mulai kembali menjalani rutinitas kehidupan mereka seperti sebelumnya. Satya yang mulai sibuk dengan pekerjaan di pabrik barunya yang mulai berkembang. Meski banyak pekerjaan di kantor namun Satya tidak pernha pulang melawati jam lima sore. Pria itu memastikan sudah berada di rumah sebelum adzan magrib berkumandang. Sesibuk apapun dia selalu meyempatian waktu untuk sholat magrib di rumah. Pekerjaan yang bisa dibawa dikerjakan di rumah akan dibawa pulang. Satya akan mengerjakannya setelah Sabia tidur. Sebelum itu dia akan menghabisi waktu untuk berinteraksi dengan putri semata wayangnya itu. Berbeda dengan Tari, yang meski wanita karir namun dia memilih untuk menomorsatukan keluarganya. Urusan kafe dan restoran dia percayakan pada orang kepercayaannya. Semua kafe dna restoran mmdioasang CCTV yang langsung terhubung ke ponsel Tari. Jadi, Tari hanya perlu mengawawai dari rumah. Tari sendiri tipe orang yang betah di dalam rum

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menambah masalah.

    "Ini gak seperti yang kamu pikirkan," Ganendra langsung berdiri dan melangkah mendekati Jihan. Dipegangnya tangan wanita yang sedang menatapnya tajam. "Dia mau minta bantuan," kata Ganendra namun tak dihiraukan oleh Jihan. Tangannya malah ditepis kasar dan tatapannya terarah pada sosok Anindya yang berdiri tak jauh darinya. "Benar yang dikatakan Kak Ganendra. Aku datang untuk meminta tolong. Aku harap kamu tidak salah faham." Perlahan Anindya melangkah maju mendekati Jihan. "Kita bicarakan di rumah," bisik Ganendra. Faham dengan ekspresi wajah sang istri yang benar-benar marah. "Apakah orang yang meminta bantuan harus berpelukan?" Pertanyaan dari Jihan membuat keduanya salah tingkah. Sontak Jihan tersenyum sinis. "Aku bisa jelasakan semuanya. Ayo kita pulang," ajak Ganendra menggandeng tangan Jihan namun lagi-lagi ditepis kasar. "Jawablah di sini. Di depan wanita ini," tegas Jihan. Sikap Jihan yang tak mau mendengar penjelasan membuat Anindya jengah. Ganendra

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terbongkar.

    "Tapi kamu mencintai Gibran." Jantung Gibran serasa hampir lepas dari tempatnya. Matanya membelalak menatap tak percaya Anindya seberani itu membuka rahasianya dan Ayra. Gadis yang biasanya penurut itu mendadak berani dan seolah sudah bisa membaca situasi setiap ucapan juga bantahan terlontar dengan sangat lancar dari celah diantara dua bibirnya. "Benar kan, Gibran?" "Jangan bicara sembarangan kamu," bentak Ayra dengan wajah mendadak pucat. Wanita dengan make up yang sudah sedikit luntur itu jadi salah tingkah saat menyadari semua mata menatap kearahnya dan Gibran. Apalagi saat ini kedua tangan Gibran memeluk tubuh rampingnya dari belakang. Mendadak suasana menjadi hening. "Gil* mencintai saudaranya sendiri," celetuk Sifa dengan tatapan jijik. Merasa ditipu Erlangga marah besar. "Apa ini maksudnya semua ini? Jelaskan!!!" Erlangga meminta penjelasan pada Ario, sebagai ayah Ayra dan Gibran. Ario terlihat marah dan juga bingung. Tidak yahu harus berkata apa. Pria itu gel

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terjebak 2.

    "Wanita itu," desis Tari menatap kepergian Ayra dan Atika dengan tatapan kesal. "Aku merasa wanita itu sangat berbahaya. Di depan semua orang dia terlihat kalem dan lemah lembut. Tapi dari tatapan matanya aku merasa di sangat egois dan licik," terang Jihan. "Kamu benar, apa sebaiknya kita ikut? tanya Tari menoleh pada Jihan. "Ya, lebih baik begitu. Takutnya dia playing victim dan memperdaya semua orang dengan ucapannya," jawab Jihan. "Aku setuju." Tari mengangguk. Sebelum pergi Tari berpesan pada Aisyah untuk menunggu di restoran bersama Renata dan tiga orang pengawal. Setelahnya Tari dan Jihan bergegas menyusul gerombolannya orang-orang tadi yang ternyata sudah menaiki lif menuju lantai paling atas. "Ayo cepat." Tari menarik tangan Jihan masuk ke lift begitu benda beso itu terbuka. Saat keluar dari lift, Tari sempat melihat Ayra masuk kesebuah kamar. Dengan bergandengan tangan Tari dna Jihan berlari menyusul rombongan itu. "Kaisar?" pekik Monika saat Tari da

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terperangkap.

    "Apa? Menghilang?" sahut Ayra denga suara lantang, "Jangan-jangan mereka kabur bersama," "Tidak mungkin." Suara Ibra keras dan tegas. Pria itu melangkah maju berdiri tegap di depan keluarganya. "Anindya, keponakanku tidak berbuat hal memalukan seperti itu." Sambungnya bak garda terdepan untuk melindungi semua orang-orang yang dianggapnya keluarga. "Lalu dimana dia sekarang?" sahut Atika yang biasanya diam kini tiba-tiba lantang berbicara di depan semua orang. "Tanyakan itu pada Gibran." Tari menunjuk Gibran. Gibran mengerutkan dahinya. "Bukankah kamu yang kuminta menjemputnya?" "Iya, benar. Tadi Tari menjemput di kamar yang sebutkan tapi kata temannya orang suruhanmu sudah membawanya," sahut Satya berusaha tenang, ada sang putri berada dalam gendongannya. Tari menarik tangan Renata maju. Menyuruh teman Anindya itu untuk berbicara. "Katakan," suruhnya. Renata menatap Gibran lalu berkata, "Iya, tadi sekitar dua jam yang lalu seorang wanita menjemput Anindya, katanya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tiba-tiba menghilang

    Tak terasa seminggu sudah berlalu dan tibalah hari dimana acara akad nikah Ayra dan Kaisar akan digelar. Di sebuah hotel mewah milik keluarga besar Gibran. Kaisar dan keluarganya yang berasal dari Singapura sudah datang sejak sehari sebelumnya. Tak hanya keluarga Kaisar, kerabat dekat dan jauh keluarga Ayra juga sudah datang dan menginap di hotel. Berbeda dengan keluarganya, Gibran dan Anindya masih berada di rumah mereka. Gibran menolak saat diminta ikut menginap di hotel. "Aku akan datang pagi-pagi sekali. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau Anin, terserah sama dia," tolak Gibran saat makan malam di rumah orang tuanya dua hari sebelum hari H. Sama seperti suaminya. "Aku bareng Mas Gibran aja Ma. Suami istri kan datang dan pergi harus bareng Ma," ucap Anindya ikut menolak saat sang mertua memaksanya untuk ikut menginap di hotel. Namun Atika seperti tak mau menyerah, wanita itu terus membujuk Anindya dengan rayuan dan banyak kata-kata manis. "Ikut ya An

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memasang topeng gadis polos.

    Sudah jam sembilan pagi namun kendaraan milik Gibran masih terparkir di halaman rumah. Itu menandakan pria itu belum berangkat ke kantor. Padahal hari ini bukan hari libur tapi kenapa pria itu belum juga berangkat kerja. Berbeda dengan Gibran, hari ini Anindya tidak ada kelas karena kemarin baru selesai ujian. Dua jam sudah gadis berwajah manis itu duduk di sofa dekat jendela kamarnya. Matanya setia memandang ke arah halaman rumah yang ada di bawah. Tepatnya pada mobil hitam milik suaminya. "Kenapa belum berangkat juga?" keluhnya sedikit kesal. "Apa dia gak kerja hari ini? Kan masih hari jum'at." Monolognya pada diri sendiri. Bibirnya mengerucut karena kesal dan lapar. Semalam dia tidak menghabiskan makan malamnya karena buru-buru mengikuti Gibran dan Ayra. Sampai rumah moodnya jelek jadi tidak berminat untuk makan lagi. Jadilah sejak selesai solat shubuh perutnya meronta-ronta minta segera diisi. Gadis itu mendengus kasar, dielus-elus perut rampingnya yang kembali berbunyi.

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Cinta? Apa mungkin bisa mencintai jika sering disakiti?

    "Tunggu!" Atika menahan lengan Gibran. "Papamu menelpon," katanya sambil menunjukkan ponselnya yang bergetar. Gibran menghentikan langkahnya. "Kenapa Papa nelpon?" Gibran mengerutkan dahinya. Mendengar itu Anindya memegangi lengan Guntur lalu menariknya kembali bersembunyi. "Papa pasti mencari kita, sebaiknya kita segera kembali." Ayra menyahut. "Halo Pa," Atika menerima panggilan suara dari ponsel suaminya. "Iya Pa. Ini Mama nyari Anindya Pa. Iya...iya... Mama balik sekarang Pa," jawab Atika sebelum mengakhiri panggilan. "Papa kalian marah-marah. Katanya, malu sama keluarga Kaisar karena semuanya pergi tinggal Papa dan Gia saja." "Kak Guntur kemana?" tanya Gibran. "Tadi dia pamit angkat telpon. Mungkin sekarang ada di luar," jawab Atika."Telpon dari siapa? Kenapa lama sekali?" tanya Gibran lagi, merasa curiga. "Sudah-sudah gak usah bicarakan anak itu, kita balik aja keburu Papamu tambah marah." Atika menarik tangan Ayra dan Gibran. Namun Gibran menolak. "Mama s

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ternyata dia juga,

    "-----Anindya hanya pion yang akan aku tumbalkan untuk melancarkan rencana kita." Degh...... Seperti badai yang menghantam di saat cuaca sedang cerah. Mendadak sinar di wajah Anindya meredup. Matanya dipenuhi kaca-kaca yang hanya dengan kedipan mata seketika menjadi hujan. 'Jadi kau menipuku?' batinnya dengan hati yang terasa sesak. Ternyata semua perlakuan manis ya beberapa hari ini hanya kepura-puraan saja. Tak sampai di situ, Gibran kembali memberi luka yang lebih dalam lagi. "Anindya wanita hanyalah wanita bodoh yang haus kasih sayang, sangat mudah dibohongi dengan kata-kata manis. Dia tidak pantas disandingkan denganmu. Jadi berhentilah cemburu padanya." Serasa hatinya dicabik-cabik Anindya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa perih dan ngilu. Rasa sakit itu membuatnya lelehan bening merangsek keluar dari kedua bola mata indahnya. "Tapi sikapmu terlalu manis padanya dan itu membuatku kesal." Ayra mendekati Gibran. Tangannya merambat pelan meraba lengan, punda

  • Mempelai yang Tak Diharapkan    Ternyata penipu.

    "Hari pulang jam berapa?" tanya Gibran yang duduk dibalik kemudi. "Jam 12-an," jawab Anindya tanpa menoleh. Gadis itu sibuk menghafal catatan yang diberikan Bagas kemarin siang. "Hari ini kamu ada ujian?" tanya Gibran melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Sejak kemarin malam Anindya sibuk dengan buku-buku pelajarannya. "Iya." Kembali, Anindya menjawab singkat. Gibran menghela nafas. Anindya yang dilihatnya dulu dan sekarang sudah berbeda jauh. Dulu Gibran sempat menolak saat pertama kali Ibra Rahardian menawarkan perjodohan dirinya dengan Anindya, putri bungsu Farhan Aditama. "Anindya Savira Aditama, putri kedua dari Farhan Aditama. Sikapnya sombong, suka dengan kemewahan dan memiliki banyak catatan buruk baik di sekolah juga di kampus. Pernah bermasalah dengan pembullyan dan hampir dikeluarkan dari kampus." Informasi yang Gibran dapatkan tentang adik Abisatya itu tidak ada yang baik. Tapi setelah hidup bersama Gibran baru tahu ternyata Anindya tidak seburuk itu.

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Berbaikan dengan Mama

    "Jujur sama Mama, sebenarnya tadi kamu tiba-tiba menghilang karena kamu ingin kabur kan? Kamu sudah tidak tahan dengan sikap kasar Gibran kan?" Anindya menggelengkan kepalanya, "Nggak seperti itu Ma?" "Gak usah bohong sama Mama. Mama sudah tahu semuanya," kekeh Aisya pada pendiriannya. Anindya memandang Jihan yang juga memandangnya dengan tatapa sendu. Ada rasa bersalah tersirat dalam tatapan wanita cantik itu. Karena dirinya yang cemburu buta Anindya dipaksa menikahi Gibran. "Ini salah faham Ma, Mas Gibran tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia memang kaku dan tegas tapi dia baik. Mas Gibran yang menolongku saat aku dibully di kampus. Bahkan dia menolak untuk damai," terang Anindya. Aisyah memcingkan matanya. Wanita yang telah melahirkan Anindya itu tidak serta merta mempercayai ucapan putrinya itu. Dia tahu betul seperti apa Anindya. Dia pandai berbohong. "Aku nggak bohong Ma," kekeh Anindya berusaha meyakinkan sang Mama. "Kalau Mama tidak percaya Mama bisa telp

DMCA.com Protection Status