"Dan kenapa kamu masih meyimpaan foto ini? Meletakkannya rapi di atas meja kerjamu." Untuk sesaat Satya tertegun. Pria tampan itu terdiam untuk beberapa detik dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Semenjak tadi Tari seolah tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Terlihat tidak biasa-biasa saja, bukan seperti Tari kemarin yang sangat emosi karena masalah ucapan Karina. "Jawab, kenapa diam saja?" ujar Tari lagi seperti tidak sabar. Satya tersentak lalu mengerjabkan matanya beberapa kali dan setelahnya malah tersenyum lebar. Mendadak dadanya terasa lega dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Bukan Satya tidk tahu jika bik Sarti sudah memberi penjelasan pada Tari, hanya saja Satya tidak berpikir jika penjelasan art mamanya itu akan sebaik ini dampaknya. Tari sudah tidak mempermasalahkan ucapan Karina. Dan itu artinya masalah itu sudah selesai. Semua beban seperti langsung terangkat dari pundak Satya. "Alhamdulillah..." ucapnya r
Sudah seminggu Tari dan Satya kembali ke Surabaya dan mulai kembali menjalani rutinitas kehidupan mereka seperti sebelumnya. Satya yang mulai sibuk dengan pekerjaan di pabrik barunya yang mulai berkembang. Meski banyak pekerjaan di kantor namun Satya tidak pernha pulang melawati jam lima sore. Pria itu memastikan sudah berada di rumah sebelum adzan magrib berkumandang. Sesibuk apapun dia selalu meyempatian waktu untuk sholat magrib di rumah. Pekerjaan yang bisa dibawa dikerjakan di rumah akan dibawa pulang. Satya akan mengerjakannya setelah Sabia tidur. Sebelum itu dia akan menghabisi waktu untuk berinteraksi dengan putri semata wayangnya itu. Berbeda dengan Tari, yang meski wanita karir namun dia memilih untuk menomorsatukan keluarganya. Urusan kafe dan restoran dia percayakan pada orang kepercayaannya. Semua kafe dna restoran mmdioasang CCTV yang langsung terhubung ke ponsel Tari. Jadi, Tari hanya perlu mengawawai dari rumah. Tari sendiri tipe orang yang betah di dalam rum
"Ini gak seperti yang kamu pikirkan," Ganendra langsung berdiri dan melangkah mendekati Jihan. Dipegangnya tangan wanita yang sedang menatapnya tajam. "Dia mau minta bantuan," kata Ganendra namun tak dihiraukan oleh Jihan. Tangannya malah ditepis kasar dan tatapannya terarah pada sosok Anindya yang berdiri tak jauh darinya. "Benar yang dikatakan Kak Ganendra. Aku datang untuk meminta tolong. Aku harap kamu tidak salah faham." Perlahan Anindya melangkah maju mendekati Jihan. "Kita bicarakan di rumah," bisik Ganendra. Faham dengan ekspresi wajah sang istri yang benar-benar marah. "Apakah orang yang meminta bantuan harus berpelukan?" Pertanyaan dari Jihan membuat keduanya salah tingkah. Sontak Jihan tersenyum sinis. "Aku bisa jelasakan semuanya. Ayo kita pulang," ajak Ganendra menggandeng tangan Jihan namun lagi-lagi ditepis kasar. "Jawablah di sini. Di depan wanita ini," tegas Jihan. Sikap Jihan yang tak mau mendengar penjelasan membuat Anindya jengah. Ganendra
"Belum puas kamu bikin malu Papa?" Bentak Farhan penuh amarah. Matanya melotot dan wajahnya memerah. Anindya yang tersungkur di lantai terdiam, tubuhnya kaku dengan tatapan kosong. Gadis 22 tahun itu tertegun dengan sikap papanya yang di luar dugaannya. "Dasar anak tidak tau diri," umpat Farhan lagi. Anindya mendongak, tak dihiraukannya rasa perih do pipinya. Ditatapnya wajah cinta pertamanya itu dengan mata berkaca-kaca. Apa salahnya sampai papanya tega menampar dirinya? "Katakan, apa yang tidak Papa berikan padamu? Apa keinginanmu yang tidak Papa penuhi? Hah???" Suara Farhan menggelegar seisi rumah. Pria penyabar itu seperti kehabisan stok kesabarannya. Ibarat benteng, pertahanan Farah sudah jebol dalam menghadapi perbuatan putri bungsunya itu. "Setidak jika tidak bisa membuat kami bangga, jangan membuat kami malu!!!!" sentaknya lagi. "Memangnya apa salahku Pa?" Setelah sekian menit terdiam, Anindya pun akhirnya membuka mulutnya mengutarakan kebingungannya dengan w
"Aku bersedia." Mendengar ucapan putri bungsunya Farhan langsung menghela nafas panjang. Ada rasa lega bercamour iba juga menyesal. Namun apa yang bisa dia lakukan? Semua yang terjadi memang kesalahan Anindya dan putrinya itu harus bertanggung jawab. "Itu pilihan yang tepat. Siapa yang berbuat dia ynag harus bertanggung jawab," ucap Farhan. "Aku akan menghubungi Ibra. Secepatnya kalian harus bertunangan." Sambungnya beranjak bangun. "Tunggu sebentar," sahut Aisyah sambil memcekal tangan suaminya. "Ada apa lagi?" Farhan mengurungkan niatnya menelpon Ibra. "Apa Papa sudah tahu siapa yang akan dijodohkan dengan Anindya?" "Belum," "Tanya dulu ke Ibra siapa rekan bisnis yang dimaksudnya. Setidaknya kita harus tahu siapa dan seperti apa kepribadiannya juga seperti apa keluarganya." Farhan mendesah berat. Sudah tidak ada waktu untuk melakukan itu. Sebelum Jihan pulih, rencana perjodohan itu harus sudah terlaksana. "Ibra tidak mungkin menjerumuskan Anindya. Dia ju
"Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya membawanya untuk duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditata
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
"Benar. Itu sebabnya Ayra, putri kedua keluarga Narendra di asingkan keluar negeri selama sepuluh tahun." Jihan berbisik sambil matanya terus mengawasi pintu ruang kerja suaminya. "Hush... kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mbak Tari terlihat tak suka. Jihan memberengut, "Dibilangin gak percaya ya sudah," ujarnya. "Emang Kamu tahu dari mana?" tanyaku yang memang sangat penasaran. Kalau saja Gibran tidak pulang semalam Tante Galuh pasti sudah menceritakan semuanya. Kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat Ayra diasingkan ke luar negeri. Jihan langsung menatap padaku, sambil melirik ke arah pintu dia berbisik. "Dari istri-istri rekan kerja Mas Ganendra. Setiap kali aku diajak ke pestanya para pengusaha kaya, istri-istri mereka sering membicarakan keluarga mertuamu." "Mereka bilang apa?" Aku sangat penasaran, kumahukan tubuhku ke arah Jihan. "Katanya, keluarga Narendra itu punya skandal memalukan, dua anaknya saling mencintai dan menjalin hubungan terlarang." "Sia
"Aku akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga di rumah kalian dan mengawal Anindya," ucap Kak Satya yang langsung membuat hatiku menghangat. Ternyata dibalik sikap kerasnya beberapa bulan ini dia masih tetap peduli dan perhatian padaku, adik yang sudah banyak mengecewakannya. Memang semua ini salahku dan aku janji akan menebusnya. "Kamu juga harus hati-hati dan jangan lagi menyembunyikan apapun dari kami," tambah Mbak Tari. Seperti biasanya dia selalu perhatian padaku. Membuatku tidak pernah merasa sendiri meski di saat kamin berjauhan. "Iya Mbak," jawabku mengurai senyum tipis. "Gibran ikut denganku, kita perlu bicara." Kak Satya memandang Kak Ganendra lalu dua orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah kamar yang kutahu sebagai ruang kerja Kak Ganendra. Tak lama Gibran pun bangkit dan mengikuti dua orang itu. Aku menatap punggung lebar itu dengan helaan nafas panjang. Bagaimana bisa prai tenang seperti dia memiliki temperan yang sangat buruk. Gampangan tersingg
"Kalau bukan dia siapa?" "Ehhh... itu..." Aku melihat kearah Gibran. Pria itu nampak tenang sekali. Tak ada sedikitpun raut takut apalagi khawatir kelakukan buruknya akan ketahuan. "Dia pasti bikin onar lagi?" Semua langsung menoleh ke arah pintu penghubung ruang tengah dan halaman samping. Mas Satya dan Kak Ganendra berjalan masuk beriringan. Matanya menatapku penuh selidik dan kecurangan. Kuhela nafas, bahkan saudara kandungku saja langsung menuduhku membuat masalah tanpa bertanya dulu apa yang terjadi. "Mas," panggil Mbak Tari. "Lihat wajah dan tangan Anin, pasti seseorang sudah berbuat kasar padanya," sambungnya menunjukkan tangan dan wajahku. "Kenapa lagi, berkelahi dengan temanmu?" tanya Kak Satya. "Masalah apa lagi, kamu bully orang atau ketahuan nyontek saat ujian?" sambungnya memgabsen kesalahan yang dulu pernah kulakukan. "Astaghfirullah..... Kok ngomongnya gitu sih kamu, Mas? Anin itu adik kamu lo! Lihatlah dulu, tanya baik-baik. Jangan asal nuduh gitu," s
"----Aku akan merobek wajahmu." Astaghfirullah...... mungkinkah dia? Aku menoleh ke sekitar mencari wanita pemilik buku ini. Rasa takut mulai merayap memenuhi hatiku. Ya Tuhan..... Dimana wanita itu? Dia.... Dengan tangan gemetaran aku membuka kembali hlaaman buku selanjutnya. Mungkin masih ada pesan terakhir karena seperti inilah dulu cara kami berkomunikasi. Degh..... Benar, di halaman terakhir terdapat sebuah kata 'Delusi' dengan huruf awalnya yang dilingkari. Jadi wanita itu,... "Sedang apa kamu di sini?" Suara berat menyentakku. Aku terkejut sampai buku yang kupegang terjatuh juga dengan selembar kertas ancaman itu. "Kau pukir kamu siapa, sampai membuatku harus turun dari mobil?" ucap Gibran dengan mata melotot. Kuhela nafas sambil mengelus dadaku yang terasa sesak karena kaget. Tak kuperdulikan, aku memilih memungut buku dan kertas yang baru saja kujatuhkan. "Tunggu apa ini?" Gibran tiba-tiba merebut kertas bertuliskan ancaman itu. "Oh itu bukan a
Pov Anindya. "Kejadian saat Gibran dan Ayra----" "Khem... khem..." Kalimat Tante Galuh langsung terputus saat terdengat suara berat dari arah ruang tamu. Tanpa aba-aba kamu menoleh bersamaan. Menatap ke arah suara itu berasal. Astaga..... mataku melotot, memastikan apa yang kulihat benar. Aku menelan ludah melihat sosok yang berdiri tegap dengan mata elangnya. Kulirik tante Galuh pun terkejutnya sepertiku. "Sedang apa kalian?" Suara Gibran memecah keheningan. "Ini sudah jam berapa, kenapa kamu belum tidur?" ucapnya lagi dengan tatapan mata yang menyorot kearahku. Gegas aku berdiri, "Maaf, aku cuma mau ambil minum." Kuangkat botol air minetal yang kubawa. "Tante aku duluan ya," pamitku langsung melangkah cepat meninggal ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan mencekam. Kutinggalkan tante Galuh begitu saja tanpa menungu wanita itu menjawab ucapanku. Aku yakin Gibran tidak akan menyakiti Tantenya. Berbeda denganku, tamparan tadi siang pasti masih membuatnya denda
"Sebaiknya kamu berhati-hati selama ada Ayra. Dia bisa melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan," Ucapan Gendis seolah nyanyian yang terus terngiang di telinganya. Sudah pukul sebelas malam namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Jika biasanya sepulang dari bimbel Anindya akan sangat mengantuk namun tidak hari ini. Rasa lelah itu sepertinya tak bisa mengusir rasa penasaran yang memenuhi pikiran dan hatinya. "Wyuhhhhh..." Anindya mendengus kasar. Sejak tadi gadis 20 tahunan itu belum menemukan posisi ternyaman di atas ranjangnya. Miring ke kiri terasa tak enak, miring kanan juga begitu. Terlentang tak nyaman, tengkurap sulit bernafas. "Kenapa jadi nggak nyaman begini," gerutunya pada diri sendiri lalu menutup mata berusaha untuk tidur. Kegiatan besok pagi cukup padat, dia butuh istirahat lebih awal. Namun baru beberapa detik mata berbulu lentik itu kembali terbuka. Tiba-tiba bayangan wajah garang Gibran muncul dan membuatnya takut. Ditambah lagi dengan kata-kata Gendis,
"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
Setelah sarapan Anindya berangkat ke tempat pertemuan bersama Galuh dan Gendis. Seperti kata Galuh, semalam Atikah mertua Anindya menelpon, memberi tahunya agar datang ke pertamuan keluarga yang akan diadakan di hotel milik keluarga Gibran. "Gibran pasti lupa memberitahumu, besok ada pertemuan keluarga untuk menyambut kedatangan Ayra salah satu anggota keluarga kita. Pakai dress yang Mama belikan seminggu yang lalu. Kamu mengerti kan?" perintah Atikah semalam malalui sambungan telpon. Sebelumnya Anindya hanya tahu Gibran hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Gia yang masih duduk di bangku SMA. Meski ingin sekali bertanya tentang siapa Ayra tapi Anindya menahan diri. Seperti perintah Gibran, jangan pernah ikut campur atau bertanya tentang masalah pribadinya. Dan sepertinya Ayra adalah salah satunya. Semalam Atikah juga meminta pengertian Anindya karena Gibran yang akan menjemput Ayra di bandara dan langsung membawanya ke hotel. Itu artinya Anindya harus berangkat sendir