Share

Luapan emosi Tari.

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-11-03 00:01:07

Belum selesai Tari dan bik Surti bicara suara perdebatan di bawah sana berubah menjadi pertengkaran. Suara bentakan dan teriakan terdengar sampai kamar membuat Tari merasa sangat bersalah.

"Astaghfirullah...." ucapnya sambil merengkuh putrinya. "Bik, bagaimana ini Bik? Saya pulang aja ya Bik,...gara-gara saya mereka jadi betengkar." Wajah Tari berubah pucat. Sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun dia mendengar orang tuanya bertengkar sampai saling bentak.

"Jangan," cegah Bibi panik. "Maksud Bibi, Mbak Tari tunggu situasinya tenang dulu," sambungnya sambil memenangi tangan Tari.

Karena bingunh, Tari pun menurut saja. Di dekapnya Sabia erat-erat saat kembali terdengar teriakan dari bawah sana.

"Bukan Tari yang lebay Tapi kita yang salah!!" Suara Aisyah membentak. "Aninndya sudah melakukan kesalahan, dia harus bertanggung jawab."

"Tarus saja bela keponakan manjamu itu sampai kamu kehilangan anak-anakmu," teriak Farhan tak mau kalah.

"Sikap Papa yang membela Anindya i
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (6)
goodnovel comment avatar
chan 2407
yahhh...kok gak up lagi sih ka???
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
ka Iva kok blm up sih?...
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
kok belum up ya?....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kekecewaan Farhan

    "Sampai kapan kamu akan terus mempermalukan Papa di depan keluarga Rahadian?" tanya Farhan pada sosok putrinya yang hanya menundukkan kepalanya. Di ruang tengah hanya ada Farhan dan Anindya, sedang Aisyah langsung masuk kamar setelah Satya dan Tari pergi. Wanita kalem itu sudah dangat lelah dan kecewa pada suami dan putrinya itu. "Haruskah Papa menanggung malu sampai Papa mati, baru kamu akan puas?" Mendengar ucapan papanya yang penuh kekecewaan Anindya pun mengangkat kepalanya. Matanya memerah dan mulai mengembun. "Tidak, Pa. Aku tidak sejahat itu," ujar Tari. "Iya, aku salah. Aku memang yang menyebarkan fitnah itu tapi aku kan sudah minta maaf. Aku juga tidak tahu jika masalah akan sampai sebesar ini." Anindya tidak tahu lagi harus berbuat apa? Dia memang yang menyebarkan fitnah itu tapi dia juga tidak punya kuasa untuk mengendalikan agar orang-orang tidak membahas fitnah itu dan menyebarkan ke yang lain. Iya, jika saat membahas fitnah itu ada Anindya, dia pasti akan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan.

    "Dan kenapa kamu masih meyimpaan foto ini? Meletakkannya rapi di atas meja kerjamu." Untuk sesaat Satya tertegun. Pria tampan itu terdiam untuk beberapa detik dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Semenjak tadi Tari seolah tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Terlihat tidak biasa-biasa saja, bukan seperti Tari kemarin yang sangat emosi karena masalah ucapan Karina. "Jawab, kenapa diam saja?" ujar Tari lagi seperti tidak sabar. Satya tersentak lalu mengerjabkan matanya beberapa kali dan setelahnya malah tersenyum lebar. Mendadak dadanya terasa lega dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Bukan Satya tidk tahu jika bik Sarti sudah memberi penjelasan pada Tari, hanya saja Satya tidak berpikir jika penjelasan art mamanya itu akan sebaik ini dampaknya. Tari sudah tidak mempermasalahkan ucapan Karina. Dan itu artinya masalah itu sudah selesai. Semua beban seperti langsung terangkat dari pundak Satya. "Alhamdulillah..." ucapnya r

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tari yang bahagia Anindya yang tersiksa.

    Sudah seminggu Tari dan Satya kembali ke Surabaya dan mulai kembali menjalani rutinitas kehidupan mereka seperti sebelumnya. Satya yang mulai sibuk dengan pekerjaan di pabrik barunya yang mulai berkembang. Meski banyak pekerjaan di kantor namun Satya tidak pernha pulang melawati jam lima sore. Pria itu memastikan sudah berada di rumah sebelum adzan magrib berkumandang. Sesibuk apapun dia selalu meyempatian waktu untuk sholat magrib di rumah. Pekerjaan yang bisa dibawa dikerjakan di rumah akan dibawa pulang. Satya akan mengerjakannya setelah Sabia tidur. Sebelum itu dia akan menghabisi waktu untuk berinteraksi dengan putri semata wayangnya itu. Berbeda dengan Tari, yang meski wanita karir namun dia memilih untuk menomorsatukan keluarganya. Urusan kafe dan restoran dia percayakan pada orang kepercayaannya. Semua kafe dna restoran mmdioasang CCTV yang langsung terhubung ke ponsel Tari. Jadi, Tari hanya perlu mengawawai dari rumah. Tari sendiri tipe orang yang betah di dalam rum

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menambah masalah.

    "Ini gak seperti yang kamu pikirkan," Ganendra langsung berdiri dan melangkah mendekati Jihan. Dipegangnya tangan wanita yang sedang menatapnya tajam. "Dia mau minta bantuan," kata Ganendra namun tak dihiraukan oleh Jihan. Tangannya malah ditepis kasar dan tatapannya terarah pada sosok Anindya yang berdiri tak jauh darinya. "Benar yang dikatakan Kak Ganendra. Aku datang untuk meminta tolong. Aku harap kamu tidak salah faham." Perlahan Anindya melangkah maju mendekati Jihan. "Kita bicarakan di rumah," bisik Ganendra. Faham dengan ekspresi wajah sang istri yang benar-benar marah. "Apakah orang yang meminta bantuan harus berpelukan?" Pertanyaan dari Jihan membuat keduanya salah tingkah. Sontak Jihan tersenyum sinis. "Aku bisa jelasakan semuanya. Ayo kita pulang," ajak Ganendra menggandeng tangan Jihan namun lagi-lagi ditepis kasar. "Jawablah di sini. Di depan wanita ini," tegas Jihan. Sikap Jihan yang tak mau mendengar penjelasan membuat Anindya jengah. Ganendra

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kabar mengejutkan.

    "Belum puas kamu bikin malu Papa?" Bentak Farhan penuh amarah. Matanya melotot dan wajahnya memerah. Anindya yang tersungkur di lantai terdiam, tubuhnya kaku dengan tatapan kosong. Gadis 22 tahun itu tertegun dengan sikap papanya yang di luar dugaannya. "Dasar anak tidak tau diri," umpat Farhan lagi. Anindya mendongak, tak dihiraukannya rasa perih do pipinya. Ditatapnya wajah cinta pertamanya itu dengan mata berkaca-kaca. Apa salahnya sampai papanya tega menampar dirinya? "Katakan, apa yang tidak Papa berikan padamu? Apa keinginanmu yang tidak Papa penuhi? Hah???" Suara Farhan menggelegar seisi rumah. Pria penyabar itu seperti kehabisan stok kesabarannya. Ibarat benteng, pertahanan Farah sudah jebol dalam menghadapi perbuatan putri bungsunya itu. "Setidak jika tidak bisa membuat kami bangga, jangan membuat kami malu!!!!" sentaknya lagi. "Memangnya apa salahku Pa?" Setelah sekian menit terdiam, Anindya pun akhirnya membuka mulutnya mengutarakan kebingungannya dengan w

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perjodohan.

    "Aku bersedia." Mendengar ucapan putri bungsunya Farhan langsung menghela nafas panjang. Ada rasa lega bercamour iba juga menyesal. Namun apa yang bisa dia lakukan? Semua yang terjadi memang kesalahan Anindya dan putrinya itu harus bertanggung jawab. "Itu pilihan yang tepat. Siapa yang berbuat dia ynag harus bertanggung jawab," ucap Farhan. "Aku akan menghubungi Ibra. Secepatnya kalian harus bertunangan." Sambungnya beranjak bangun. "Tunggu sebentar," sahut Aisyah sambil memcekal tangan suaminya. "Ada apa lagi?" Farhan mengurungkan niatnya menelpon Ibra. "Apa Papa sudah tahu siapa yang akan dijodohkan dengan Anindya?" "Belum," "Tanya dulu ke Ibra siapa rekan bisnis yang dimaksudnya. Setidaknya kita harus tahu siapa dan seperti apa kepribadiannya juga seperti apa keluarganya." Farhan mendesah berat. Sudah tidak ada waktu untuk melakukan itu. Sebelum Jihan pulih, rencana perjodohan itu harus sudah terlaksana. "Ibra tidak mungkin menjerumuskan Anindya. Dia ju

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perjodohan.

    "Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan cerai Jihan

    Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Gibran.

    Gibran tersenyum, "Jika aku menuruti keinginan Anindya dengan membatalkan perjodohan kami, apa yang aku dapat?" Tari tersenyum sinis, dia sudah bisa menebak reaksi Gibran. "Tentu tidak ada yang gratis di dunia. Dan kami paham soal itu. Katakan saja kamu ingin apa?" "Apa yang bisa kamu tawarkan?" tantang Gibran dengan ekspresi yang sulit Tari baca. "Mungkin sebuah investasi atau hal yang lain yang mungkin kamu inginkan?" "Menarik, tapi aku ingin yang lain." Gibran kembali menyesap kopinya. "Minumlah, kita bicara santai saja." Tari menuruti ucapan pria di depannya itu, menyesap jus strawberry favoritnya. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu kita sering bertemu," kata Gibran sambil menyandarkan punggunya santai. "Aku salah satu teman kakakmu yang sering main ke rumah kalian. Jus strawberry dan cilok bumbu kacang," Tari menatap pria itu lekat. Wajah pria itu seperti tak. asing. Gibran mengingatkannya pada seseorang. Tapi entah siapa? Gibran tersenyum lebar, mimik wajah Tari

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Gibran.

    [Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kondisi Tari yang sebenarnya.

    Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terpaksa jujur

    Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Makin rumit.

    Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejujuran Anindya pada Bestari.

    Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memendam

    "Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Tari.

    "Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan maaf Satya pada Ibra

    Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas

DMCA.com Protection Status