"Sampai kapan kamu akan terus mempermalukan Papa di depan keluarga Rahadian?" tanya Farhan pada sosok putrinya yang hanya menundukkan kepalanya. Di ruang tengah hanya ada Farhan dan Anindya, sedang Aisyah langsung masuk kamar setelah Satya dan Tari pergi. Wanita kalem itu sudah dangat lelah dan kecewa pada suami dan putrinya itu. "Haruskah Papa menanggung malu sampai Papa mati, baru kamu akan puas?" Mendengar ucapan papanya yang penuh kekecewaan Anindya pun mengangkat kepalanya. Matanya memerah dan mulai mengembun. "Tidak, Pa. Aku tidak sejahat itu," ujar Tari. "Iya, aku salah. Aku memang yang menyebarkan fitnah itu tapi aku kan sudah minta maaf. Aku juga tidak tahu jika masalah akan sampai sebesar ini." Anindya tidak tahu lagi harus berbuat apa? Dia memang yang menyebarkan fitnah itu tapi dia juga tidak punya kuasa untuk mengendalikan agar orang-orang tidak membahas fitnah itu dan menyebarkan ke yang lain. Iya, jika saat membahas fitnah itu ada Anindya, dia pasti akan
"Dan kenapa kamu masih meyimpaan foto ini? Meletakkannya rapi di atas meja kerjamu." Untuk sesaat Satya tertegun. Pria tampan itu terdiam untuk beberapa detik dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Semenjak tadi Tari seolah tidak begitu peduli dengan penjelasannya. Terlihat tidak biasa-biasa saja, bukan seperti Tari kemarin yang sangat emosi karena masalah ucapan Karina. "Jawab, kenapa diam saja?" ujar Tari lagi seperti tidak sabar. Satya tersentak lalu mengerjabkan matanya beberapa kali dan setelahnya malah tersenyum lebar. Mendadak dadanya terasa lega dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Bukan Satya tidk tahu jika bik Sarti sudah memberi penjelasan pada Tari, hanya saja Satya tidak berpikir jika penjelasan art mamanya itu akan sebaik ini dampaknya. Tari sudah tidak mempermasalahkan ucapan Karina. Dan itu artinya masalah itu sudah selesai. Semua beban seperti langsung terangkat dari pundak Satya. "Alhamdulillah..." ucapnya r
Sudah seminggu Tari dan Satya kembali ke Surabaya dan mulai kembali menjalani rutinitas kehidupan mereka seperti sebelumnya. Satya yang mulai sibuk dengan pekerjaan di pabrik barunya yang mulai berkembang. Meski banyak pekerjaan di kantor namun Satya tidak pernha pulang melawati jam lima sore. Pria itu memastikan sudah berada di rumah sebelum adzan magrib berkumandang. Sesibuk apapun dia selalu meyempatian waktu untuk sholat magrib di rumah. Pekerjaan yang bisa dibawa dikerjakan di rumah akan dibawa pulang. Satya akan mengerjakannya setelah Sabia tidur. Sebelum itu dia akan menghabisi waktu untuk berinteraksi dengan putri semata wayangnya itu. Berbeda dengan Tari, yang meski wanita karir namun dia memilih untuk menomorsatukan keluarganya. Urusan kafe dan restoran dia percayakan pada orang kepercayaannya. Semua kafe dna restoran mmdioasang CCTV yang langsung terhubung ke ponsel Tari. Jadi, Tari hanya perlu mengawawai dari rumah. Tari sendiri tipe orang yang betah di dalam rum
"Ini gak seperti yang kamu pikirkan," Ganendra langsung berdiri dan melangkah mendekati Jihan. Dipegangnya tangan wanita yang sedang menatapnya tajam. "Dia mau minta bantuan," kata Ganendra namun tak dihiraukan oleh Jihan. Tangannya malah ditepis kasar dan tatapannya terarah pada sosok Anindya yang berdiri tak jauh darinya. "Benar yang dikatakan Kak Ganendra. Aku datang untuk meminta tolong. Aku harap kamu tidak salah faham." Perlahan Anindya melangkah maju mendekati Jihan. "Kita bicarakan di rumah," bisik Ganendra. Faham dengan ekspresi wajah sang istri yang benar-benar marah. "Apakah orang yang meminta bantuan harus berpelukan?" Pertanyaan dari Jihan membuat keduanya salah tingkah. Sontak Jihan tersenyum sinis. "Aku bisa jelasakan semuanya. Ayo kita pulang," ajak Ganendra menggandeng tangan Jihan namun lagi-lagi ditepis kasar. "Jawablah di sini. Di depan wanita ini," tegas Jihan. Sikap Jihan yang tak mau mendengar penjelasan membuat Anindya jengah. Ganendra
"Belum puas kamu bikin malu Papa?" Bentak Farhan penuh amarah. Matanya melotot dan wajahnya memerah. Anindya yang tersungkur di lantai terdiam, tubuhnya kaku dengan tatapan kosong. Gadis 22 tahun itu tertegun dengan sikap papanya yang di luar dugaannya. "Dasar anak tidak tau diri," umpat Farhan lagi. Anindya mendongak, tak dihiraukannya rasa perih do pipinya. Ditatapnya wajah cinta pertamanya itu dengan mata berkaca-kaca. Apa salahnya sampai papanya tega menampar dirinya? "Katakan, apa yang tidak Papa berikan padamu? Apa keinginanmu yang tidak Papa penuhi? Hah???" Suara Farhan menggelegar seisi rumah. Pria penyabar itu seperti kehabisan stok kesabarannya. Ibarat benteng, pertahanan Farah sudah jebol dalam menghadapi perbuatan putri bungsunya itu. "Setidak jika tidak bisa membuat kami bangga, jangan membuat kami malu!!!!" sentaknya lagi. "Memangnya apa salahku Pa?" Setelah sekian menit terdiam, Anindya pun akhirnya membuka mulutnya mengutarakan kebingungannya dengan w
"Aku bersedia." Mendengar ucapan putri bungsunya Farhan langsung menghela nafas panjang. Ada rasa lega bercamour iba juga menyesal. Namun apa yang bisa dia lakukan? Semua yang terjadi memang kesalahan Anindya dan putrinya itu harus bertanggung jawab. "Itu pilihan yang tepat. Siapa yang berbuat dia ynag harus bertanggung jawab," ucap Farhan. "Aku akan menghubungi Ibra. Secepatnya kalian harus bertunangan." Sambungnya beranjak bangun. "Tunggu sebentar," sahut Aisyah sambil memcekal tangan suaminya. "Ada apa lagi?" Farhan mengurungkan niatnya menelpon Ibra. "Apa Papa sudah tahu siapa yang akan dijodohkan dengan Anindya?" "Belum," "Tanya dulu ke Ibra siapa rekan bisnis yang dimaksudnya. Setidaknya kita harus tahu siapa dan seperti apa kepribadiannya juga seperti apa keluarganya." Farhan mendesah berat. Sudah tidak ada waktu untuk melakukan itu. Sebelum Jihan pulih, rencana perjodohan itu harus sudah terlaksana. "Ibra tidak mungkin menjerumuskan Anindya. Dia ju
"Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya membawanya untuk duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditata
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.
"Tu-tunggu-tunggu," ucap Anindya mengangkat tangannya ke depan. Gadis itu segera bangkit dari duduknya setelah sadar dari keterkejutannya. "Kak Guntur jangan bercanda, kita gak pernah ada hubungan. Lagian kapan kita membicarakan tentang ini?" protesnya. "Loh... gimana sih?" Aisyah menatap Guntur dan putrinya itu bergantian. Tari menarik Anindya agar kembali duduk di tempatnya. "Duduklah," bisiknya memegangi lengan adik iparnya itu Mendadak suasana jadi canggung, semua yang ada di ruangan itu saling pandang. Terutama keluarga dari pihak Guntur, terlihat bingung dan malu. "Tur, ini maksudnya apa?" Ariotedjo memukul lengan putranya, merasa was-was jika lamaran mereka ditolak. "Kamu yang benar," "Benar Pah. Aku sudah lamar secara privat dan Anindya nerima," jawab Guntur. "Kapan?" sahut Anindya menatap Guntur. "Dua minggu lalu, di kedai eskrim. Kan kamu sendiri yang bilang setuju nikah sama aku bulan depan." "Hah!!!" Anindya mengerutkan dahinya. Berusaha menggali ing
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuruh
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika