Tidak seperti perkiraan Satya, ternyata pekerjaannya bisa dia selesai sebelum jam lima sore. Pria itu pun segera merapikan meja kerjanya dna bergegas pulang supaya bisa makan malam bersama istri dan anaknya. Tepat saat adzan magrib mobil Satya beehenti di depan teras rumah. Pria itu pun langsung turun dari mobil. "Istri saya mana Bik?" tanya Satya pada bibi yang membukakan pintu. "Mbak Tari lagi sholat di kamar," jawab bibi. "Gimana Sabia?" tanyanya lagi. "Tadi sempat panas lagi tapi sekarang sudah turun habis minum obat." Satya menghela nafas, putrinya pasti rewel seharian dan Tari kerepotan. Jika saja tidak ada meeting mungkin dia akan memilih kerja dari rumah. "Tolong siapkan makan malam ya Bik," ucapnya sebelum melanggar menaiki tangga menuju lantai atas. Saat dia masuk kamar Tari baru selesai sholat magrib. Wanita itu menengadahkan tangannya sambil mengucapkan doa dengan putrinya yang tiduran di karpet tepat di sebelahnya. Hati Satya terenyuh, segera
"Aku juga bisa kasar bahkan menghancurkanmu," desis Tari penuh dengan kemarahan. Hatinya sudah hancur sehancur-hancurnya. Dia tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada orang yang menyebarkan fitnah kejam tentang dirinya. Bahkan pada orang yang sama sekali tidak mengenalnya dan dikenalnya. Sebegitu bencinya kah Satya pada dirinya? Kenapa dia begitu bodoh, Tari merutuki dirinya sendiri. "Assalamu'alaikum.... selamat malam.." Suara mendayu dari depan. Satya menghela nafas. Perlahan dilepaskannya lengan Tari dari genggamannya. Tari menatapnha sinis, ternyata suaminya itu lebih peduli dengan temannya dibanding dirinya dan Sabia. Tak menunggu lama, Tari pun segera berallu dari hadapan Satya. "Wa'alaikum salam." Satya menyambut tamunya. "Silahkan duduk," ucapnya menggiring dua orang tamunya itu ke sofa. Rama mengangguk sopan. Beda dengan Karina, dia menelisik seluruh ruangan itu dengan kedua matanya yang dipasangi bulu mata palsu. Wajahnya langsung sinis saat melihat fot
Sepi, ruang makan juga dapur nampak sepi tak ada satu pun orang yang nampak. Tak seperti pagi sebelumnya meja makan kosong tak ada satu pun piring di sana. Hanya sebuah vas bunga dan kunci lengkap dengan gantungannya tergeletak begitu saja. Masih belum percaya, Satya berlari menuju kamar artnya yang ada di belakang dapur. Diketuk beberapa kali namun tak ada sahutan. Saat dibuka, kamar kosong. Dengan jantung yang bertalu-talu Satya berlari ke depan. Berharap Pak Yono berada di pos dekat pagar depan. "Pak Yono," panggilnya sambil membuka pintu pos lalu berlaih ke garasi. Mungkin Sopirmya itu ada di sana. Sayangnya garasi pun kosong. "Halo, kamu dimana?" Satya menghibungi Johan, bodyguard pemberian Ibra khusus untuk menjaga Tari. "Istri saya sama kamu?" tanyanya lagi menahan amarah karena Johan tidka mau menjawan pertanyaannya. "Berikan ponselnya pada Tari! Saya mau bic," Tut tut.... Sambungan telpon dimatikan. "Sh*T....." umpat Satya marah. Rahangnya mengeras
Setelah sholat dhuhur di bandara Satya langsung menuju kediaman keluarga Rahardian. Art yang membukakan pintu memberitahu jika tidak ada orang di rumah. Jihan dan Ganendra pergi sejak tadi pagi. Tidak percaya begitu saja, Satya izin ke kamar mandi sebentar dan langsung naik ke lantai atas. Memerikda aemua kamar termasuk kamar Ganendra dan kamar milik mertuanya. Sang art yang merasa bingung hanya berani mengawasi dari ruang tengah. Tak hanya kamar semua ruangan sampai halaman samping tak ketinggalan. Merasa tak ada hasil Satya pamit dan langsung menuju kantor pusat perusahaan Rahardian group. Beberapa karyawan mengangguk sopan saat berpasangan di lobby kantor. Selain menantu pemilik perusahaan Satya juga CEO dari perusahaan Aditama yang juga bergabung di bawah Rahardian Group. Sudah pasti banyak karyawan yang mengenalnya. "Siang Pak Satya," sapa salah satu karyawan yang Satua juga kenal. Satya menghentikan langkahnya. "Apa Pak Genendra ada di ruangannya?" tanya Satya pa
"Bagaiamana jika aku minta kamu tinggalkan Tari, apa kamu akan lakukan?" Satya menatap Tari sendu, dalam hati dia berharap Tari akan mengatakan sesuatu dan tidak membiarkan papanya mengintimidasi Satya. Memaksa dirinya harus memilih antara Tari dan perusahaan. Bagaimanapun Satya tidak bisa egois. Banyak karyawan yang bergantung pada perusahaannya. Namun sampai beberapa detik Tari hanya diam saja, menatap Satya datar. Tqk punya pilihan Satya pun harus menjawab. "Saya harap Papa tidak akan lupa dengan janji Papa yang tidak akan melibatkan perusahaan jika terjadi sesuatu antara aku dan Tari. Dan sampai hari ini saya masoh percaya dengan janji itu," Ibra mendengus lalu menganggukkan kepalanya, tentu saja pria itu ingat dengan apa yang sudah diucapkannya. Bukan berniat ingkar namun dia jug harus memastikan kebahagiaan putri bungsunya. Ibra masih ingat dengan jelas seteguh apa menantunya itu menolak bantuanya dan lebih memilih menjual semua aset pribadinya untuk menutupi kerugian
Pagi ini setelah selesai sarapan Tari membawa putrinya untuk duduk bersantai di balai kayu yang ada di teras. Suasana pagi yang sejuk membuat Sabia yang sudah mulai sehat itu anteng dengan mainannya tanpa merasa kegerahan padahal cuaca Beberapa bulan ini sedang panas-panasnya. Sudah dua hari Satya pergi dan sampai saat ini tidak ada kabar apapun darinya. Lagi-lagi Tari merasa kecewa, sikap.. Satya tak seserius ucapannya. Ditolak sekali sudah tak mau berusaha lagi. Satya sepertinya lupa jika pernah berjanji akan sabar menghadapi sifat Tari bahkan rela dihina setiap hari demi untuk menebus dosanya di masalalu. Namun apa? Hanya karena teman lamanya Satya bahkan sampai menatap Tari dengan tajam. Hal yng tudak pernah dilakukan setelah kembali rujuk. Namun sesungguhnya Tari juga merasa lebih lega dengan sikap acuh Satya. Jujur saja, kali ini hatinya sulit untuk memaafkan Satya. Tari benar-benar kecewa. Harga dirimya sebagai wanita sudah diinjak-injak sampai hancur lebur. Pria maca
"Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambilkan minum." Bik Surti segera pergi setelah mengantar Tari dan Sabua masuk ke dalam kamar Satya. Meski enggan Tari pun mengangguk. Sebenarnya tadi setelah mendengar ucapan Farhan Tari berniat pergi tapi bik Surti menahannya. "Jangan pergi, Mbak. Ikut saya nanti saya cerotakan semuanya," ucap bik Surti beberapa menit yang lalu sambil menarik tangan Tari naik kelantau atas. Sebuah dengusan kasar keluar dari mukut Tari. Di pandanginya setiap sudut kamar yang sudha lama sekali tidak disambanginya ini. "Mama...mam.... " oceh Sabia menggeliat minta turun. Balita yang sudah mulai lancar berjalan itu begitu aktif. Kaki kecilnya langsung melangkah mendekati ranjang dan menarik-narik sprei kasur. "Eh.... gak boleh gitu sayang..." Tari memegangi tangan Sabia. "Dilepas dulu jaketnya," ucapnya sambil membuka resleting jaket Sabia. Setelahnya mengangkat putrinya naik ke atas tempat tidur. Diambilkannya beberapa mainan yang memang selalu dibawa di da
Belum selesai Tari dan bik Surti bicara suara perdebatan di bawah sana berubah menjadi pertengkaran. Suara bentakan dan teriakan terdengar sampai kamar membuat Tari merasa sangat bersalah. "Astaghfirullah...." ucapnya sambil merengkuh putrinya. "Bik, bagaimana ini Bik? Saya pulang aja ya Bik,...gara-gara saya mereka jadi betengkar." Wajah Tari berubah pucat. Sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun dia mendengar orang tuanya bertengkar sampai saling bentak. "Jangan," cegah Bibi panik. "Maksud Bibi, Mbak Tari tunggu situasinya tenang dulu," sambungnya sambil memenangi tangan Tari. Karena bingunh, Tari pun menurut saja. Di dekapnya Sabia erat-erat saat kembali terdengar teriakan dari bawah sana. "Bukan Tari yang lebay Tapi kita yang salah!!" Suara Aisyah membentak. "Aninndya sudah melakukan kesalahan, dia harus bertanggung jawab." "Tarus saja bela keponakan manjamu itu sampai kamu kehilangan anak-anakmu," teriak Farhan tak mau kalah. "Sikap Papa yang membela Anindya i
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.