"Bestari Ayu, katakan yang sebenarnya!!" Nada suara Satya berubah dingin. Pria itu menangkap ada yang tidak beres. "Ok baiklah aku akan jujur." Tari menyerah. "Tapi janji jangan marah sama Anindya, ya!!" pinta Tari dengan wajah memelas. Satu alis Satya terangkat, ada apa lagi dengan adiknya itu. "Iya," jawabnya singkat. "Aku ke hotel atas permintaan Anindya." Satya terdiam, meski begitu matanya melebar menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya. "Apa? bisa ulangi," "Anindya yang memintaku datang ke hotel." Tari mengulangi ucapannya. "Untuk apa dia memintamu ke hotel?" Wajah Satya langsung memerah. Mendadak otak dipenuhi banyak pertanyaan. Tari mulai ragu untuk jujur, ingin berbohong saja tapi sorot mata Satya membuatnya tak berani mengambil resiko ketahuan dan sudah dipastikan kemarahannya makin besar. Mau tak mau Tari memilih jujur. "Anindia memintaku mengantarkan baju ganti dan dalam untuknya. Kadang juga minta diantarkan seragam sekolah dan sepatu," jawab
Pagi ini seperti biasa, Tari menemani Satya sarapan sambil menyuapi Sabia. Bayi itu semakin aktif dan tidak bisa diam. Seperti pagi ini, saking aktifnya sampai menumpahkan bubur tim yang baru saja ditaruh. "Astaghfirullah...." pekik Tari panik. Karena takut nasi tim yang panas itu mengenai Sabia, tanpa pikir panjang Tari segera mengambil tumpahan nasi tim itu dengan tangan kosong memasukkan kembali di wadah makan. "Bik tolong angkat Sabia," pintanya pada Bibi. Dengan cepat Bibi berlari dari dapur. Namun kalah cepat dengan Satya. Dia sudah mengangkat Sabia dari kursinya. "Tolong Bik," Satya menyerahkan Sabia ke Bibi. "Jangan pakai tangan, nasi timnya panas." Satya menarik tangan Tari dan membawanya ke wastafel. Dikucurnya tangan Tari di bawah kran air. "Harusnya tadi kamu langsung angkat Sabia. Jangan pikirin nasi timnya," tutur Satya lagi. "Aku takut nasih timnya kena kaki Sabia kalau langsung aku angkat." Tari memberi alasan. Kejadiannya sangat cepat. Tari tak sempat b
"Yakin gak papa kita temui dia? Kok aku parno ya?" Jihan terlihat khawatir. "Tadi bilang mau ketemu di kantin rumah sakit lalu berubah di taman kota. Kita gak tau lo dia maunya apa?" "Kamu benar juga sih, tapi kalau masih di tempat ramai aman lah,"sahut Tari yang juga merasa sedikit takut. Saat ini Tari dan Jihan sedang dalam perjalanan menuju tempat Rendra meminta bertemu. "Kalau bukan karena Sandra aku malas ketemu sama itu orang. Mukanya aja kalem dan bijaksana tapi kelakuannya, Astagfirullah...." Jihan mengelus dadanya. "Iya, sama aku juga nggak nyangka ternyata Pak Rendra yang sudah menyebarkan berita Kak Satya selingkuh sampai dipecat dari kampus juga tentang operasi itu, dia yang sengaja menyuruh orang untuk memfitnah Kak Satya sampai izin praktek dokternya dicabut." Wajah Tari terlihat sangat kesal. "Hah, yang benar?" Jihan terkejut. "Kamu tahu dari mana soal itu?" "Dari mama, dikasih tahu Tante Aisyah." "Oh.... jahat banget ya, pak Rendra. Demi mendapatkan kamu d
"Tari, kamu yakin ingin mempertemukan Pak Rendra dengan Sandra?" Jihan menepuk pundak Tari. Istri Satya itu terus melamun sejak masuk mobil. Setelah mendengar cerita Rendra hatinya jadi iba dan takut ucapan mantan dosennya itu benar-benar terjadi. "Aku nggak tahu, tapi bagaimana jika yang dikatakan Pak Rendra benar. Aku nggak mau Sandra sampai..." Tari tak berani meneruskan ucapannya. Bayangan Sandra terbaring tak bernyawa membuatnya takut. Meski sempat kesal dan marah tapi jauh di dalam hati Tari sangat menyayangi sepupunya itu. "Kak Alfa kemana sih? Kenapa dia gak bisa belain Sandra. Pasti dia sangat terpukul karena calon bayinya di gugurkan oleh orang tuanya sendiri." "Tari, kamu nggak tahu yang benar siapa? Baik Orang tua Sandra dan Pak Rendra itu sama-sama gak bisa dipercaya. Mereka itu memiliki tujuannya masing-masing." Jihan berusaha mengingatkan Tari. "Menurutku, kita bicarakan dulu sama Mas Ganendra dan Kak Satya. Jangan gegabah mengambil keputusan nolongin P
"Sebenrnya Papa juga sudah mengetahui rencana Tante Nura dan Om Angga yang ingin mengambil alih perusahaan." "Benar kata Jihan, mereka hanya berpura-pura baik karena ingin Sandra menikah denganku. Setelah Sandra gagal, Alfa diminta pulang untuk menikahimu. Itu mereka lakukan untuk menguasai perusahaan. Sudah ada beberapa bukti Om Angga berusaha menghasut beberapa pemilik saham." "Kemarin orang kepercayaan kita juga sudah mendapatkan bukti tentang penggelapan dana yang dilakukan Om Angga. Tapi, melihat Alfa, Papa tidak tega. Itulah sebabnya Papa mengusulkan perjodohan Sandra dengan Erik, putra bungsu Ridwan Gunawan. Papa berjanji akan berinvestasi dengan nilai yang cukup besar atas nama Sandra di Gunawan group's jika pernikahan terjadi." "Tapi sepertinya rencana investasi itu diketahui oleh Rendra, dia datang saat pertemuan keluarga. Dia mengungkapkan hubungannya dengan Sandra juga kehamilan Sandra. Akhirnya Perjodohan gagal." "Pada saat yang sama Keluarga Joseph menarik semua i
Pagi hari saat Satya bangun Tari sudah tak ada. Pria itu panik dan langsung turun dari ranjang. Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang didominasi warna biru muda favorit Tari. "Dimana Tari?" Gumamnya, berjalan menuju kamar mandi di pojok kamar. "Tari," panggilnya membuka pintu kamar mandi. Kosong, Satya pun berlari keluar kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dia sudah terbiasa dibangunkan istri setiap pagi dan hari ini berbeda istrinya tak ada saat dirinya membuka mata. Pikiran buruk tiba-tiba muncul di otaknya. Apa lagi teringat ucapan Tari, jika dirinya tak pernah berubah? "Tari," panggilnya berlari kearah tangga. Saat hendak menuruni tangga dilihatnya Tari baru keluar dari musholla yang ada di lantai atas. tepat di samping kamar mertuanya. "Ya Allah Tari..." Pekik Satya sambil berlari dan langsung memeluk Tari. "Kamu dari mana saja?"tanya tanpa melepas pelukannya. "Habis sholat," jawab Tari masih enggan memeluk Satya. "Kamu membuatku takut," ucapnya mengera
Dari pagi Satya sibuk dengan urusan kantor di perusahaannya. Sejak perusahaan Joseph Hope's memutuskan kerja sama dengan Aditama food's, satu persatu investor mulai mengikuti jejak perusahaan besar itu sehingga harga saham Aditama food's perlahan mulai menurun. Jika keadaan ini terus dibiarkan, kehancuran perusahaan yang telah dibangun Farhan Aditama akan menjadi ujungnya. Entah alasan apa yang melatarbelakangi Jordan menginginkan Satya menikahi putri keduanya sebagai syarat kelanjutan kerja sama mereka. Satya menolak tegas begitu juga Farhan. Mereka bahkan sudah mengatakan status Satya yang sudah beristri namun Jordan masih kekeh dengan keputusannya. "Pernikahan sebagai Syarat penyatuan perusahaan kita. Baik putramu juga putriku punya hak yang sama atas perusahaan Aditama food's." Ucapan Jordan papa Erika sebulan yang lalu. Awalnya Satya ingin menyelesaikan masalah perusahaannya sendiri dan menolak bantuan Ibra, mertuanya. Namun kondisi perusahaan yang semakin sulit, b
Sore hari setelah mandi Tari dan Jihan berjalan-jalan di sekitar komplek sambil mendorong Sabia yang duduk anteng di strollernya sambil menikmati susu dotnya. Sambil berbincang dua wanita itu menikmati angin sejuk menjelang senja. Hembusannya sepoi-sepoi menyapu wajah cantik mereka membuat rambut keduanya terurai sampai ke pinggiran wajah. Sesekali Tari menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Eh itu ada tukang cilok. Beli yuk," ajak Tari menunjuk ke luar gerbang pintu masuk perumahan. "Dipanggil aja, jangan keluar perumahan." Jihan mengingatkan. Ganendra sudah berpesan untuk sementara tidak boleh keluar komplek perumahan untuk menghindari kejadian kemarin. "Kayaknya cuma kedepan situ gak papa," ujar Tari memaksa keluar. "Ada security yang berjaga-jaga di pos," Tari menunjuk beberapa pria yang berseragam keamanan berdiri di depan pos keamanan yang berada di antara dua jalan masuk komplek perumahan. "Ya sudah ayo, tapi langsung balik ya!!" Jihan mengikuti Tari ya
"Aku tahu, tidak seharusnya aku membawa orang lain dalam masalah kita. Tapi, kenyataan Tari sudah terseret dalam masalah kita. Dan jika kita bercerai sekarang, maka rumor itu akan muncul kembali. Tari akan jadi pihak bersalah yang akan terus dihujat. Jadi, kumohon pikirkanlah." Sejak semalam ucapan Gibran terus terngiang di telinga dan pikiran Anindya. Sama seperti pagi ini, kalimat itu membuat hatinya resah dan tak tenang. Rasa bersalah semakin menggunung dihatinya. Sholat dan dzikir sedikit memenangkan hatinya shubuh tadi. Namun pagi ini gelisah itu kembali merajai hatinya. Helaan nafas terdengar berat dari mulut gadis yang saat ini sedang melipat kedua kakinya diatas sofa kamar dengan tatapan keluar jendela. Bola mata berwarna kecoklatan itu menatap sendu langit pagi yang tertutup mendung seperti hatinya yang sedang gundah. Sejak semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu dengan begitu derasnya. Dan pagi ini hawa dingin menyelimuti seluruh kota sampai terasa ke hatinya.
Sudah sebulan ini keluarga Rahardian menjadi topik utama pemberitaan di semua acara berita di televisi nasional maupun portal berita online. Hampir semua infotainment memberitakan tentang rumor hubungan gelap antara Tari dan Gibran karena beredarnya foto-foto mereka saat masuk ke sebuah hotel ketika menemui Anindya. Gambar dan judul berita yang menggiring opini jika rumah tangga Anindya Aditama dan Gibran Narendra Wiratama sedang terguncang dan sedang dalam proses perceraian karena kehadiran Bestari Ayu Rahardian sebagai orang ketiga. Selain menyeret nama Rahardian, salah satu keluarga terkaya di negara ini, gosip itu juga membawa-bawa nama salah satu keluarga keturunan kerajaan di jawa yang membuat rumor itu sedikit sulit diredam dan semakin meluas. Beberapa pihak memanfaatkan berita itu untuk mendapatkan keuntungan dengan mencari antusias netizen yang selalu haus akan berita dan rasa keingintahuan yang tinggi. Jadilah berita itu terus bergulir dan sempat membuat nilai sa
"Membun*hmu," ucap Anindya dengan mengacungkan pist*l yang dibawanya tepat di kening Danisa. Sekektika tubuh Danisa membeku, matanya melebar dengan degup jantung berdentum kencang. "Yakin mau membun*hku?" ujarnya berusaha untuk tenang. "Katakan, mereka dulu atau kamu?" tanya Anindya yang langsung membuat dua orang kawan Danisa seketika panik. Dengan menahan sakit dua orang itu pun berusaha untuk bangun. "Diam atau satu peluru akan lepas dari tempatnya," ujar Anindya seraya mundur dua langkah memastikan ketiga targetnya dalam pengawasannya. "Kamu tidak akan bisa melakukannya. Kamu mencintaiku begitu juga aku. Kita terikat satu sama lain," ucap Danisa berusaha mempengaruhi pikiran Anindya. "Kamu tidak boleh lupa saat-saat kita bersama. Kita melakukan banyak hal untuk pertama kalinya. Akulah satu-satunya orang yang selalu memprioritaskan kamu. Aku yang selalu menuruti keinginanmu." Danisa berusaha membawa Anindya kembali pada kenangan-kenangan kebersamaan mereka dulu. "A
"Ini semua harus berakhir dan akulah yang harus mengakhirinya," gumam Anindya dengan keteguhan hati. "Kamu mau menyusul mereka?" Dilla terlihat tidak setuju dengan keputusan Anindya. "Kamu tahu kemana mereka pergi?" Tak menjawab Anindya malah mengajukan pertanyaan. Dilla berdecak kesal. Pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Meski begitu tetap menjawab. "Ke dermaga, di sana sudah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Batam setelah itu ke Singapura." Anindya menganggukkan kepalanya. "Danisa bilang akan membawamu tapi aku tinggal di sini sampai kuliahku selesai baru menyusul kalian. Tapi tenyata..... " Dilla tidak pernah menyangka orang yang dianggapnya sebagai seorang kakak yang datang ketika dirinya terpuruk ternyata orang jahat yang hanya memanfaatkannya dan setelah merasa tak butuh berniat menghabisi nyawanya. Beruntung Dilla mengikuti ucapan Anindya. Meski sempat tak percaya. "Turuti kataku, jika aku salah kamu juga takkan rugi. Namun jika ak
"Eh.... tunggu jangan salah faham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Gibran panik. Tanpa bicara Satya langsung mendekati istrinya. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya khawatir sambil kedua tangan besarnya menakup wajah sang istri. Tari menggelengkan kepalanya. "Syukurlah," ucapnya Satya menghembuskan nafas lega. "Loh..... kamu gak salah faham?" Gibran melihat pasangan suami istri itu dengan tatapan takjub. Tadinya dia pikir Satya akan marah-marah menuduhnya dan Tari berbuat yang tidak-tidak karena berada di dalam kamar hotel sendirian. "Kamu pikir aku bodoh? Setelah semua masalah yang kami hadapi istriku akan mengkhianatiku? Yang benar saja," ujar Satya. "Aku salut padamu, kamu sanga pencemburu tapi sangat percaya pada istrimu." Gibran kagum. "Dimana Anindya?" tanya Satya. "Tadi dia pergi angkat telpon tadi sudah lima belas menit belum kembali," jelas Gibran. "Kenapa kamu biarkan dia pergi sendirian? Dia pasti sudah kabur," geram Satya. "Bodoh," umpat
"Aku mau pergi sebentar. Nitip Sabia ya," ucap Tari pada Jihan yang sedang menghabiskan waktu senggangnya dengan menonton drakor kesukaannya di ruang tengah. "Nanti kalau Papa atau Mas Satya tanya, bilang aja aku mau keluar beli kebutuhan Sabia." Sambungnya setelah menyerahkan putrinya pada kakak iparnya itu. "Emang kamu mau kemana?" Jihan menatap Tari curiga. Tangannya mendekap Sabia yang ada di pangkuannya. Tari menggigit bibir bawahnya, bingung mau bohong atau jujur. "Mau pergi sebentar ketemu orang?" "Siapa?" "Teman," "Namanya siapa?" Jihan makin curiga. "Tak ada temanmu yang aku nggak kenal. Sebutkan namanya siapa?" Tari mendesah berat, Jihan lebih protective dari Ganendra. Sulit sekali membohongimu wanita itu. "Aku mau ketemu Anindya," jujur Tari tak bisa mengelak. "Apa? Kamu mau ketemu Anindya?" tanya Jihan dengan mata menyipit. "Kalau memang ada perlu kenapa di gak datang kesini aja? Emang Satya tahu kamu kamu mau keluar untuk ketemu Anindya?" Istri Gan
"Sekarang kamu pilih, membantuku membalas Tari atau semua keluargamu akan mengalami hal yang sama dengan anak buah suamimu. Satu mat* dan satu terbaring koma di ranjang rumah sakit." Suara Danisa terdengar dari balik maskernya. "Pilih!!!" sentaknya. Anindya menelan ludahnya, tatapan tajam Danisa membuatnya bergidik ngeri. Setahun di rumah sakit jiwa tidak membuat kejiwaan kembaran Clarissa itu menjadi lebih baik tapi sepertinya malah bertambah parah. "Aku mohon jangan libatkan orang tuaku," mohon Anindya yang langsung disambut dengan tawa keras oleh Danisa. "Bukankah waktu itu aku sudah bilang, aku ingin memberimu kesempatan untuk melihat sendiri wajah-wajah orang-orang di sekitarmu. Dan aku memberimu bantuan namun untuk bayarannya kamu harus kembali padaku," terang Danisa mengingatkan Anindya tentang kesepakatan yang di tentukannya. "Apa kamu mau berpura-pura lupa?" tambah wanita berbaju serba hitam itu. "Ck..... kamu benar-benar mengecewakanku. Ingatlah kemarin kamu
"Katakan!!" Sentak Satya marah. "Mas, tenanglah.." Tari memegangi lengan suaminya. Meminta pria itu untuk tenang. "Anin, aku minta maaf karena aku tidak bisa membantumu membatalkan perjodohan itu. Tapi kamu tahu kan, kita semua sayang sama kamu. Jadi kumohon jujurlah, apa kamu berhubungan lagi dengan wanita itu?" tanya Tari menatap Anindya lekat. Anindya menatap Tari melas. "Mbak lebih percaya sama Gibran? Semua yang pria itu katakan bohong. Gibran dan mamanya itu sangat licik Mbak," Tari terdiam, matanya menatap Anindya dengan sorot kecewa. Dia tidak yakin Gibran jujur tapi dia tahu Anindya sedang berbohong. Bukannya menjawab Anindya berusaha mengalahkan dengan menjelekkan Gibran dan mamanya. "Ganendra sudah menyelidiki semuanya. Lima menit yang lalu dia menelponku. Katanya, ada indikasi campur tangan Danisa dalam kejadian kemarin. Masih mau berbohong?" ujar Satya menahan geram. Kecewa, pasti. Dia tidak menyangka adiknya masih saja berhubungan dengan wanita yang dulu
"Pukul dan hajar aku sesukamu. Aku tidak minta untuk dimaafkan. Tapi aku mohon izin aku bertemu dengan Anindya sekali saja," mohon Gibran sambil memegang kaki Satya. "Ada yang harus aku jelaskan," "Bangunlah, jangan seperti ini?" Satya melihat ke sekelilingnya. Beberapa pengunjung kafe melihat kearah mereka. "Tidak, aku tidak akan berdiri sebelum kamu berjanji mengizinkan aku bertemu Anindya," tolak Gibran kekeh pada pendiriannya. "Semua keputusan bukan di tanganku. Sekalipun aku mengizinkanmu belum tentu Anindya mau bertemu denganmu," ujar Satya dengan tatapan kesal. "Mas Satya benar. Anindya sudah memutuskan untuk mengajukan perceraian dan pergi ke luar negeri untuk sekolah." Tari menyahut. "Apa?" Gibran langsung bangkit. "Kamu serius?" tanyanya menatap Tari dengan tatapan melas. "Duduklah," suruh Tari dan pria itu langsung menurut. Satya menghembuskan nafas kasar. Melihat Gibran seperti melihat dirinya sendiri empat tahun lalu. Saat dirinya dipaksa menceraikan