Share

Mesra.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi ini untuk pertama kalinya Satya dan Tari sholat berjamaah shubuh berdua. Hati Satya bergetar hebat saat terdengar kata amin dibelakangnya sesaat selesai membaca surat Al-Fatihah.

Akhirnya setelah sekian purnama saat yang paling ditunggunya bisa terjadi. Dan InshaAllah untuk selamanya.

Selesai salam dan berdoa sang imam berbalik kebelakang. Mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Tari dan diciumnya dengan takdim.

Sekali lagi rasa haru itu menyusup kedalam dadanya. Rasa syukur tak henti ia ucapan salam hati. "I love you.." ucapnya lalu mengecup puncak kepala sang istri.

"Makasih untuk semuanya sayang," ucapnya sambil menakup wajah cantik yang masih memakai mukena.

"Boleh aku cium?" tanyanya yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Tari.

Tak menunggu lama Satya langsung mendaratkan kecupan di pipi kanan kiri, dahi, hidung, dagu dan terakhir di bibir Tari. Meski hanya menempel tapi cukup lama. Tak ayal memicu detak jantung keduanya jadi tak beraturan.

"
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perdebatan Jihan dan Sandra.

    Seperti isi pesan Sandra melalui ponsel pelayan hotel, pagi-pagi Tari dan Jihan mendatangi kamar Sandra. Namun saat diketuk yang keluar malah Tante Nura, mamanya Sandra. "Mau kemana?" tanya Tante Nura lembut seperti biasa. Wanita jalem dan murah senyum itu mengekus kepala Tari sayang. "Mau beli roti di depan Tante," jawab Tari. "Habis itu duduk di taman hotel dekat kolam renang. Nggak lama kok Te, cuma ngobrol sebentar." "Iya Te, cuma mau kangen-kangenan sebentar." Jihan ikut menambahi. Setelah berbagai pertanyaan akhirnya mereka bisa juga membawa Sandra keluar. "Sebenarnya apa sih yang sudah kamu lakukan, sampai Tante Nura segitunya?" tanya Jihan saat ketiga sahabat itu berjalan menuju toko roti yang ada seberang Hotel. "Entar aja ceritanya sekarang kita beli dulu roti dan segera balik," jawab Sandra masuk lebih dulu ke dalam toko. Tari dan Jihan saling pandang, "Lama-lama dia kok jadi nyebelin sih," ujar Jihan sedikit kesal. "Sudah jangan diambio hati, kayak g

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Yang sebenarnya terjadi.

    Yang terjadi sebelum menghadiri makan malam setelah acara akad nikah Satya dan Tari. "Gugurkan kandunganmu!!!" "Ma, plis....bantu aku Ma," ucap Sandra memohon pada sang mama yang duduk tenang di ujung tempat tidur. Tak ada ekspresi sedih ataupun iba melihat putrinya ditampar oleh suaminya sendiri "Memang apa yang harus Mama lakukan?" tanya Nura menatap putrinya itu datar dan terkesan cuek. "Haruskah Mama melawan Papamu untuk membela kamu yang sudah jelas-jelas mempermalukan keluarga kita?" "Aku mencintainya, Ma..tolong mengertilah,.." rengek Sandra putus asa, persis anak kecil yang takut kehilangan maianannya. "Bod*h!!!" bentak Nura keras sampai membuat Sandra berjingkat karena kaget. Dia tahu mamanya itu keras, namun dia tidak menyangka mamanya akan semarah ini. "Cinta katamu?" katanya lagi lalu melangkah mendekati Sandra yang bersimpuh di lantai. "Apa kamu pikir cinta bisa membuatmu bahagia, bisa membuatmu memiliki segalanya? Katakan!! Apa kamu bisa kenyang hanya d

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejutan

    Selesai sarapan seperti rencana awal Satua memboyong keluarga besarnya untuk mengunap di villa yang baru dibelinya. "Besok hari minggu Sayang... Anggap saja untuk menghilangkan penat. Seninnya kembali pada rutinitas semula," ucap Satya saat diperjalanan. Satya dan Tari satu mobil dengan Andra sebagai sopir. Tadi pagi Andra menyusul. Sabtu-minggu kantor libur jadi asisten pribadi Satya itu bisa menyusul. "Tadi kamu sudah ajak Sandra?" tanya Satya kembali berbicara sambil memegangi Sabia yang sedang aktif-aktifnya. "Nggak, kan sudah diajak Mama tapi gak mau." Tari terlihat cuek malah asyik dengan ponselnya. Satya tersenyum tipis, memang sejak dulu istrinya itu paling tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Jika marah atau kesal kepada seseorang, dia tidak akan mau berbicara dengan orang tersebut. "Kamu marah sama Sandra karena cerita Jihan?" tanya Satya lagi. Tari melipat bibirnya kedalam, seolah tak ingin menjawab. Matanya masih tertuju pada layar ponsel dengan tang

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menjalani kehidupan baru.

    "Sayang...." panggil Satya dari dalam kamar. "Tolong bantu pakai dasi," pinta Satya dengan kepala melongok keluar pintu dari dalam kamar. Tari yang sedang membantu Bibi menyiapaka makanan di buat malu dengan sikap maja Satya. "Iya," jawabnya lalu beepamitan pada Bibi. "Saya tinggal sebentar ya Bik, sekalian mandiin Sabia," katanya lalu berlalu masuk ke dalam kamar. Wanita parih baya itu tersenyum, meski masoh sedikit ada rasa tak suka pada Satya namun melihat kebahagiaan di wajah Tari membuat wanita yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Rahardian itupun turut berbahagia dan mulai bersikap lebih ramah pada majikan barunya itu. "Iya, Mbak. Dapur biar saya yang urus," jawbanya mengulum senyum. Sejak mereka kembali dari Malang, Satya berubah jadi sangat manja dan bergantung pada Tari. Hampir smeua hal yang biasanya dilakukan sendiri kini harua melibatkan Tari. "Dasinya cuma ada tiga, mau aku belikan lagi atau mau ambil yang di rumah kontrakan?" Sambil sibuk me

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Melawan ibu-ibu komplek

    "Maaf Bu, saya kesini untuk mengingatkan Bu Tari agar menjaga kesopanan dan norma-norma selama tinggal di sini. Jangan sampai berbuat nista yang dapat menyebabkan malapetaka di kompleks ini." "Astaghfirullah...." Tari mengelus dadanya. "Eh,...Bu dibilangin kok malah istighfar?" ujar salah satu ibu-ibu yang tadi menggunjing Tari. "Terus saya harus gimana? Berterima kasih atau meminta maaf karena dighibahin dan difitnah sama Ibu dan teman-teman Ibu?" Tari sudah tersulut emosinya. Dia bisa terima dibilang janda. Tapi, tidak untuk simpanan Om-om. Apalagi dibilang berbuat nista, kesabarannya mendadak lenyap menguap entah kemana? "Eh... ternyata nyolot juga, kelihatannya aja kalem dan lemah lembut. Ternyata pemain handal," cibir wanita yang Tari bahkan tidak tahu namanya. Wanita itu tinggal di deretan depan rumah Tari. Kalau tidak salah suaminya bernama Pak Rizal. Seorang tentara yang jarang pulang. Tari tahu juga karena wanita itu sendiri yang cerita saat awal-awal di pinda

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pertemuan di rumah Pak RT

    Pukul lima sore Satya sampai di rumah. Sembari menunggu pria itu mandi dan sholat Tari membuatkan kopi juga sepiring camilan yang terbuat dari terigu yang dicampur sayuran dan bumbu, bakwan sayur kalah kata orang jakarta. Dijawabnya ke meja ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali diliriknya pintu kamar, menunggu Satay keluar. "Sini, aku buatkan kopi sama bakwan sayur." Tari melambaikan tangannya begitu pintu kamar terbuka. Sebuah senyum muncul di bibir Satya. Beban pekerjaan langsung hilang mendapat perhatian dari sang istri. "Sabia mana?" tanya Satya setelah mendaratkan pantatnya di atas sofa tepat disamping Tari. "Disuapi makan sama Bibi di depan." Mendengar jawaban Tari Satya mengerutkan dahinya. Tumben sekali istrinya itu menyerahkan tugas menyuapi pada sang asisten rumah tangga. "Cobalah," ucap Tari lagi sambil menyodorkan sepiring bakwan jagung yang masih hangat. Satya mengambil satu dan mencicipinya. "Enak, masih hangat lagi." Satya memuji dengan m

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Lelaki yang dominan.

    Sejak ada masalah dengan ibu-ibu komplek, Satya tidak mengizinkan Tari untuk keluar rumah. Walau hanya sekedar belanja di tukang sayur. Bahkan untuk mengantarnya berangkat kerja hanya sampai terasa saja. "Di rumah aja, kalau ada urusan dengan Kafe suruh karyawan perempuan yang datang ke sini," ucap Satya saat Tari menemaninya sarapan. Satya tipikal laki-laki yang mendominasi pasangannya. Semua hal yang dilakukan Tari harus sepengetahuan dan seizin dirinya. Satya juga tidak suka dibantah namun sangat perhatian dan sayang keluarga. Selesai sarapan Satya mencium pipi putrinya yang duduk anteng diatas kursi bayinya menikmati sarapannya. "Papa kerja dulu, ya sayang.... Jagain Mama dan jangan rewel." Sebuah kecupan didaratkan Satya di puncak kepala Sabia setelah melangkah keluar diikuti Tari dibelakangnya. "Aku berangkat ya," ucap Satya di depan pintu depan. "Iya, Kak." Tari mengambil tangan Satya lalu mencium punggung tangannya takdim. "Ada banyak pekerjaan. Mungkin nan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Salah faham.

    "Kak, di pabrik ada masalah?" tanya Tari setelah Satya meletakkan gelas yang bekas minumnya setelah makan malam. Jam sembilan malam Satya baru pulang. Dan saat sampai dia mengeluh sangat lapar karena bekum makan malam. Dengan hati yang sedikit dongkol tapi berusaha tetap tersenyum Tari pun menghangatkan makanan yang sudah dimasaknya sore tadi. Kari ayam dengan sambal goreng pedas ati ampela. "Masalah apa? Nggak ada kok," jawab Satya dengan senyum di wajahnya. "Aku pulang malam karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum peresmian." "Kak Satya yakin?" Tari menatap lekat wajah lelah suaminya. "Yakin. Hanya saja, sepertinya tidak bisa beroperasi sesuai jadwal. Bekum siap." "Belum siap atau dananya yang gak ada?" Satya menatap Tari yang juga menatapnya. "Erika membatalkan kontrak kerjaan sama kan?" tanya Tari lagi. Satya mendesah berat. "Pasti Jihan yang memberitahumu?" tebaknya. Ganendra pasti yang menyuruh istrinya untuk memberitahu Tari karena Sa

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Gibran.

    [Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kondisi Tari yang sebenarnya.

    Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terpaksa jujur

    Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Makin rumit.

    Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejujuran Anindya pada Bestari.

    Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memendam

    "Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Tari.

    "Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan maaf Satya pada Ibra

    Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan cerai Jihan

    Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s

DMCA.com Protection Status