Yang terjadi sebelum menghadiri makan malam setelah acara akad nikah Satya dan Tari. "Gugurkan kandunganmu!!!" "Ma, plis....bantu aku Ma," ucap Sandra memohon pada sang mama yang duduk tenang di ujung tempat tidur. Tak ada ekspresi sedih ataupun iba melihat putrinya ditampar oleh suaminya sendiri "Memang apa yang harus Mama lakukan?" tanya Nura menatap putrinya itu datar dan terkesan cuek. "Haruskah Mama melawan Papamu untuk membela kamu yang sudah jelas-jelas mempermalukan keluarga kita?" "Aku mencintainya, Ma..tolong mengertilah,.." rengek Sandra putus asa, persis anak kecil yang takut kehilangan maianannya. "Bod*h!!!" bentak Nura keras sampai membuat Sandra berjingkat karena kaget. Dia tahu mamanya itu keras, namun dia tidak menyangka mamanya akan semarah ini. "Cinta katamu?" katanya lagi lalu melangkah mendekati Sandra yang bersimpuh di lantai. "Apa kamu pikir cinta bisa membuatmu bahagia, bisa membuatmu memiliki segalanya? Katakan!! Apa kamu bisa kenyang hanya d
Selesai sarapan seperti rencana awal Satua memboyong keluarga besarnya untuk mengunap di villa yang baru dibelinya. "Besok hari minggu Sayang... Anggap saja untuk menghilangkan penat. Seninnya kembali pada rutinitas semula," ucap Satya saat diperjalanan. Satya dan Tari satu mobil dengan Andra sebagai sopir. Tadi pagi Andra menyusul. Sabtu-minggu kantor libur jadi asisten pribadi Satya itu bisa menyusul. "Tadi kamu sudah ajak Sandra?" tanya Satya kembali berbicara sambil memegangi Sabia yang sedang aktif-aktifnya. "Nggak, kan sudah diajak Mama tapi gak mau." Tari terlihat cuek malah asyik dengan ponselnya. Satya tersenyum tipis, memang sejak dulu istrinya itu paling tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Jika marah atau kesal kepada seseorang, dia tidak akan mau berbicara dengan orang tersebut. "Kamu marah sama Sandra karena cerita Jihan?" tanya Satya lagi. Tari melipat bibirnya kedalam, seolah tak ingin menjawab. Matanya masih tertuju pada layar ponsel dengan tang
"Sayang...." panggil Satya dari dalam kamar. "Tolong bantu pakai dasi," pinta Satya dengan kepala melongok keluar pintu dari dalam kamar. Tari yang sedang membantu Bibi menyiapaka makanan di buat malu dengan sikap maja Satya. "Iya," jawabnya lalu beepamitan pada Bibi. "Saya tinggal sebentar ya Bik, sekalian mandiin Sabia," katanya lalu berlalu masuk ke dalam kamar. Wanita parih baya itu tersenyum, meski masoh sedikit ada rasa tak suka pada Satya namun melihat kebahagiaan di wajah Tari membuat wanita yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Rahardian itupun turut berbahagia dan mulai bersikap lebih ramah pada majikan barunya itu. "Iya, Mbak. Dapur biar saya yang urus," jawbanya mengulum senyum. Sejak mereka kembali dari Malang, Satya berubah jadi sangat manja dan bergantung pada Tari. Hampir smeua hal yang biasanya dilakukan sendiri kini harua melibatkan Tari. "Dasinya cuma ada tiga, mau aku belikan lagi atau mau ambil yang di rumah kontrakan?" Sambil sibuk me
"Maaf Bu, saya kesini untuk mengingatkan Bu Tari agar menjaga kesopanan dan norma-norma selama tinggal di sini. Jangan sampai berbuat nista yang dapat menyebabkan malapetaka di kompleks ini." "Astaghfirullah...." Tari mengelus dadanya. "Eh,...Bu dibilangin kok malah istighfar?" ujar salah satu ibu-ibu yang tadi menggunjing Tari. "Terus saya harus gimana? Berterima kasih atau meminta maaf karena dighibahin dan difitnah sama Ibu dan teman-teman Ibu?" Tari sudah tersulut emosinya. Dia bisa terima dibilang janda. Tapi, tidak untuk simpanan Om-om. Apalagi dibilang berbuat nista, kesabarannya mendadak lenyap menguap entah kemana? "Eh... ternyata nyolot juga, kelihatannya aja kalem dan lemah lembut. Ternyata pemain handal," cibir wanita yang Tari bahkan tidak tahu namanya. Wanita itu tinggal di deretan depan rumah Tari. Kalau tidak salah suaminya bernama Pak Rizal. Seorang tentara yang jarang pulang. Tari tahu juga karena wanita itu sendiri yang cerita saat awal-awal di pinda
Pukul lima sore Satya sampai di rumah. Sembari menunggu pria itu mandi dan sholat Tari membuatkan kopi juga sepiring camilan yang terbuat dari terigu yang dicampur sayuran dan bumbu, bakwan sayur kalah kata orang jakarta. Dijawabnya ke meja ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali diliriknya pintu kamar, menunggu Satay keluar. "Sini, aku buatkan kopi sama bakwan sayur." Tari melambaikan tangannya begitu pintu kamar terbuka. Sebuah senyum muncul di bibir Satya. Beban pekerjaan langsung hilang mendapat perhatian dari sang istri. "Sabia mana?" tanya Satya setelah mendaratkan pantatnya di atas sofa tepat disamping Tari. "Disuapi makan sama Bibi di depan." Mendengar jawaban Tari Satya mengerutkan dahinya. Tumben sekali istrinya itu menyerahkan tugas menyuapi pada sang asisten rumah tangga. "Cobalah," ucap Tari lagi sambil menyodorkan sepiring bakwan jagung yang masih hangat. Satya mengambil satu dan mencicipinya. "Enak, masih hangat lagi." Satya memuji dengan m
Sejak ada masalah dengan ibu-ibu komplek, Satya tidak mengizinkan Tari untuk keluar rumah. Walau hanya sekedar belanja di tukang sayur. Bahkan untuk mengantarnya berangkat kerja hanya sampai terasa saja. "Di rumah aja, kalau ada urusan dengan Kafe suruh karyawan perempuan yang datang ke sini," ucap Satya saat Tari menemaninya sarapan. Satya tipikal laki-laki yang mendominasi pasangannya. Semua hal yang dilakukan Tari harus sepengetahuan dan seizin dirinya. Satya juga tidak suka dibantah namun sangat perhatian dan sayang keluarga. Selesai sarapan Satya mencium pipi putrinya yang duduk anteng diatas kursi bayinya menikmati sarapannya. "Papa kerja dulu, ya sayang.... Jagain Mama dan jangan rewel." Sebuah kecupan didaratkan Satya di puncak kepala Sabia setelah melangkah keluar diikuti Tari dibelakangnya. "Aku berangkat ya," ucap Satya di depan pintu depan. "Iya, Kak." Tari mengambil tangan Satya lalu mencium punggung tangannya takdim. "Ada banyak pekerjaan. Mungkin nan
"Kak, di pabrik ada masalah?" tanya Tari setelah Satya meletakkan gelas yang bekas minumnya setelah makan malam. Jam sembilan malam Satya baru pulang. Dan saat sampai dia mengeluh sangat lapar karena bekum makan malam. Dengan hati yang sedikit dongkol tapi berusaha tetap tersenyum Tari pun menghangatkan makanan yang sudah dimasaknya sore tadi. Kari ayam dengan sambal goreng pedas ati ampela. "Masalah apa? Nggak ada kok," jawab Satya dengan senyum di wajahnya. "Aku pulang malam karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum peresmian." "Kak Satya yakin?" Tari menatap lekat wajah lelah suaminya. "Yakin. Hanya saja, sepertinya tidak bisa beroperasi sesuai jadwal. Bekum siap." "Belum siap atau dananya yang gak ada?" Satya menatap Tari yang juga menatapnya. "Erika membatalkan kontrak kerjaan sama kan?" tanya Tari lagi. Satya mendesah berat. "Pasti Jihan yang memberitahumu?" tebaknya. Ganendra pasti yang menyuruh istrinya untuk memberitahu Tari karena Sa
"Ma-maksudnya?" Tari memicingkan matanya. Satya tersenyum, tangannya bergerak menyentuh bibir sang istri yang terlihat memerah akibat ciumannya. "Dengerin baik-baik ya," katanya menakup wajah cantik yang sudah membuatnya tergila-gila itu. " Sebelum kamu lahir, aku adalah orang yang paling menantikan kehadiranmu setelah Papa Ibra. Aku orang pertama yang tahu kamu akan diberi nama Bestari Ayu dan akulah orang yang memberimu nama panggilan Tari." Sebuah kecupan Satya daratkan di bibir tipis yang begitu menggodanya. Dia selalu tak bisa mengendalikan diri jika menatap bibir merah muda itu lama-lama. Tari menggeliat dan mendorong dada Satya. "Ck, mau cerita nggak sih?" Tari sedikit kesal. "Iya... iya maaf. Aku tak bisa menahan diri kalau sama kamu." Satya menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Tarii menaikkan kakinya lalu bersila menghadap Satya. Memberi jarak agar pria itu tak lagi menciumnya sampai ceritanya selesai. Satya tersenyum lebar melihat tingkah istri kecilnya itu
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.