Share

Meminang Bu Dosen
Meminang Bu Dosen
Author: Reni Hujan

Satu

Author: Reni Hujan
last update Last Updated: 2021-09-28 18:12:51

“Kapan kamu mau nikah? Udah kepala tiga, Nduk. Mbok, ya, jangan mikir karir terus. Temenmu udah pada punya anak. Apa kamu mau dicarikan jodoh lagi?”

Tita tersentak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bapaknya. Hanya sebuah pertanyaan tetapi dirasakannya bagai sebuah ancaman. Sudah dua kali keluarganya berusaha mencarikan jodoh untuknya. Namun, Tita selalu saja punya alasan kuat saat menolaknya.

“Nggak usah, Pak. Tita bisa cari sendiri.”

“Kapan? Bapakmu ini wes sepuh. Jangan sampai yang jadi wali nikah itu masmu.”

“Astagfirullah, Bapak. Kenapa ngomong gitu lagi,” ucap Tita seraya menundukkan pandangannya. Kepalanya mulai pening. Bukan satu atau dua kali bapaknya berkata seperti itu. Setiap meneleponnya, akhir-akhir ini, beliau selalu mengingatkan putri bungsunya bahwa usianya sudah tidak lama lagi. “Mohon doanya saja, Pak. Semoga disegerakan bertemu jodoh.”

“Aku gak kurang kalau doakan kamu, Nduk. Kamunya yang ndablek, males nikah!” jelas bapak Tita dengan nada suara yang meninggi.

“Bukan gitu, Pak. Jodohnya belum datang yang pas.”

“Wes, terserah! Pokoknya lebaran tahun depan kalau kamu belum punya calon, bapak paksa kamu nikah sama anaknya pak lurah!”

Sambungan telepon pun terputus. Tita mengerjap, tidak percaya dengan kalimat terakhir yang terdengar. Seketika kepala perempuan berusia tiga puluh tahun itu kembali pusing. Ia sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menghindar dari perjodohan. 

Lima tahun yang lalu, saat baru lulus dari program magister, keluarganya sudah mencarikan jodoh tetapi Tita berhasil menolaknya. Ia masih ingin mengabdikan diri menjadi dosen, sesuai cita-citanya. Orang tuanya pun pasrah. Mereka juga bangga dengan pencapaian putri bungsunya yang berhasil direkrut langsung setelah wisuda pasca sarjana oleh almamaternya di Universitas Surya Gemilang, salah satu kampus swasta terunggul di Jawa Timur.

Saat menginjak usia 28 tahun, ayahnya kembali memintanya untuk segera menikah. Kebetulan saat itu, ia mendapat beasiswa Erasmus Plus di Spanyol. Ia pun terhindar dari perjodohan. Namun, sekarang ia harus berpikir keras untuk itu. Kesibukan mengajar di kampus bukanlah hal yang bisa menghambat jalannya perjodohan bagi pandangan keluarganya.

Tita menyandarkan kepalanya di kursi. Hanya ada Rindu, mahasiswi part time di jurusannya.

“Assalammualaikum, Bu Tita.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab Tita dengan mata terpejam. Saat membuka mata, ia tersentak melihat sosok yang menyapanya. Ia lalu menegakkan punggungnya.

“Kamu lagi!” pekik Tita tertahan. “Ada apa, Galaksi?”

Gala hanya mesem mendapat pertanyaan dari dosennya. Ia lalu duduk di depan meja Tita.

“Eh, yang nyuruh kamu duduk siapa?”

“Saya capek, Bu. Naik tangga dari lantai tiga ke lima,” ujar Gala dengan wajah memelas. 

Tita masih menahan emosinya. Ia melirik sekilas ke arah Rindu yang terkekeh sambil membekap mulut. Gadis itu pun segera memutar posisi menghadap komputer begitu mendapati tatapan tajam dosennya tersebut.

“Ada perlu apa ke sini?” tanya Tita dengan raut wajah jutek.

“Ibu gak cocok pasang wajah galak gitu. Jadinya malah kelihatan imut,” ucap Gala sambil menatap Tita yang melongo. Laki-laki bertubuh tinggi itu menyunggingkan seutas senyuman.

“Kamu kurang ajarnya kelewatan. Gak cukup di kelas tadi?”

Tita memajukan tubuhnya dengan kedua tangan saling bertaut di atas meja. Tatapan perempuan berkerudung motif itu semakin tajam. Gala ikut menegakkan punggungnya.

“Maaf, Bu,” ujar Gala sambil menangkupkan kedua tangannya. Dengan gerakan tangan, ia kembali berkata, “bagaimana kalau ibu duduknya agak mundur sedikit?”

“Kenapa memangnya?” tanya Tita heran.

“Cantiknya udah kelewatan soalnya.”

Rindu yang membelakangi mereka tidak bisa menahan tawanya. Ia pun menggelengkan kepala melihat tingkah adik tingkatnya tersebut.

Tita menghela napas dalam. Sorot matanya tajam menatap Gala. Jari telunjuk wanita muda itu terlihat mengarah pada pintu.

“Keluar sekarang dari kantor saya.”

“Bu, saya belum—“

“Keluar!”

“Oke, oke. Ini tugas teman-teman, Bu.”

Tita menerima lembaran kertas yang diserahkan Gala dengan kasar. Laki-laki berambut lurus itu terkesiap. Ia lalu menyunggingkan senyuman yang memperlihatkan lesung pipit pada pipi sebelah kirinya.

“Ga,” panggil Rindu saat Gala melewati mejanya.

“Apa?”

“Kelewatan kamu memang,” jawab Rindu sambil terkekeh. “Tapi keren.”

Gala pun memicingkan matanya sebelah sambil berlalu dari kantor jurusan. Ia menarik napas dalam. Apa yang ia lakukan hari ini, baginya bukanlah hal yang melewati batas. Ia dengan sepenuh hati mengutarakan perasaannya bahwa ia mengagumi seorang Titania Pangesti, dosen Eokonomi Mikro di kelasnya. Namun, Tita menanggapinya dengan pandangan yang berbeda.

Di dalam kantor ....

“Rindu, sini bentar,” panggil Tita. Mahasiswi tingkat empat itu mendekat ke meja dosennya.

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Kamu kenal Galaksi?”

“Kenal, Bu. Dia kan, adik tingkat saya.”

“Maksudnya kenal baik?”

“Gak juga, sih, Bu. Pernah satu kelas saja. Kenapa, Bu?” tanya Rindu penuh selidik.

“Dia trouble maker kayanya, ya?”

Rindu mengernyitkan keningnya. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan.

“Dia itu malah gak neko-neko kaya teman-teman yang lain, Bu. Pendiam, pintar, bijaksana Gala itu, Bu.”

“Masa?” tanya Tita tidak percaya. Ia memang baru mengajar kelas Gala kurang lebih satu bulan ini, sekitar delapan pertemuan. Ia akui laki-laki itu memang termasuk mahasiswa yang pandai dan aktif bertanya. Namun, sikap Gala hari ini begitu menjengkelkan hatinya.

“Gala itu aslinya udah tua, Bu. 25 tahun, telat masuk kuliah saja.”

Tita terperanjat mendengar fakta tentang Gala. Pantas saja sikap yang ditunjukkannya jauh lebih matang dari kebanyakan mahasiswa di kelas tersebut. Wajahnya pun tidak menunjukkan usianya, tetap terlihat muda seperti teman-temannya di kelas.

“Emang kenapa, Bu?”

“Ah, enggak. Cuma mau nanya saja. Ya sudah, kamu balik kerja.”

Tita kembali menyandarkan punggungnya. Ia mulai mengingat setiap pertemuan di kelas Gala. Laki-laki itu memang kerap mencuri pandang ke arahnya. Baginya itu hal biasa. Ia memaklumi dirinya sendiri jika ada mahasiswa yang bertingkah seperti itu. Bagaimana tidak, status yang masih belum menikah, kerap kali dijadikan incaran mahasiswa untuk bersikap sedikit jahil. Namun, apa yang dilakukan Gala tadi di luar perkiraannya.

Aku gak seharusnya emosi kaya gitu.

Tita merutuki dirinya sendiri. Gala tidak sedang mempermalukan dirinya di depan umum. Laki-laki itu mendatanginya saat teman-temannya sudah keluar dari kelas. Hanya tersisa dirinya dan Gala. Biasanya, ia sebagai dosen yang lebih dulu meninggalkan kelas. Akan tetapi, ia harus menunggu file yang baru diunggah selesai, baru bisa menutup laptop.

Notifikasi W******p pada ponselnya berbunyi. Tertera nama Fara—kakaknya—pada layar.

Cepetan cari calon suami. Bapak udah emosi saja bawaannya.

Kepala Tita semakin berdenyut. Ia tidak membalas pesan Fara tetapi malah menenggelamkan wajahnya di atas meja denga berpangku pada kedua tangannya.

***

Gala memasuki coffee shop miliknya dengan langkah gontai. Dodi yang sedang duduk santai menyambut dengan antusias.

“Gimana, Ga? Katakan cintanya sukses?”

“Sukses,” jawab Gala lesu.

“Congrats, Bro! Tapi, kok, lesu?”

“Sukses diamuk yang benar.”

Dodi seketika terbahak mendengar jawaban Gala. Laki-laki bernama lengkap Galaksi Mahendra itu lalu duduk di samping sahabat yang juga rekan kerjanya tersebut.

“Kamu nekat, pantesan diamuk.”

“Gak nekat nanti keburu pergi lagi. Bisa lebih parah kalau sampai diambil orang.”

“Termasuk kuat, loh, ini. Memendam rasa sekian lama dan baru diungkapkan.”

Gala mengangguk sambil menatap layar ponsel. Matanya tidak beranjak dari I*******m atas nama Titania Pangesti. Wanita yang sudah memporak-porandakan hatinya sejak satu setengah tahun yang lalu, saat dirinya masih menjadi mahasiswa baru.

“Beda kayanya jatuh cinta kali ini, Ga? Tapi lebih ke arah positif, sih.”

“Iya, udah lama hatiku mati karena pengkhianatan itu,” tutur Gala mengingat saat menyesakkan lima tahun yang lalu. Mantan kekasih yang ia harapkan menjadi istrinya ternyata berselingkuh hanya karena ia belum menjadi pengusaha sukses.

“Kejar terus bu dosen. Gak ada peraturan mahasiswa dilarang nikahin dosen.”

“Iyalah, jelas. Yang ada itu dilarang nikahin mahasiswi satu kampus.”

“Masa?” tanya Dodi terkejut.

“Bayangin aja, nikahin satu orang aja katanya penuh perjuangan, apalagi satu kampus. Sanggup?”

“Biasa, ae, Bos.”

Gala dan Dodi pun terbahak bersama. Mahasiswa semester empat itu kembali membuka Instagramnya. Ada story terbaru dari Tita. Gala segera membukanya. Terlihat unggahan foto dosen muda dengan baju lengan panjang berwarna kuning dan rok plisket biru navy tersebut yang sedang duduk di tepi kolam renang. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya di tiang. Wajahnya tampak sendu.

Gala membaca dengan saksama tulisan yang tertera di foto tersebut.

Hari ini masih nano-nano. Kapan aku mendapatkan rasa yang manis saja?

“Jika kamu menikah denganku, Titania.”

Related chapters

  • Meminang Bu Dosen   Dua

    Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun. Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjahili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala. Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, gak? Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasi

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Tiga

    “Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi. Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan. “Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?” Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya. “Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?” Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah. “Saya udah tua, Bu.” “Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala. “Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?” “Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.” “Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.” Tita tertawa mendeng

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Empat

    Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa. Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir. “Ga, ini uangku.” “Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.” “Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Lima

    Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat. Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya. “Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya. Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala. “Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.” “Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gal

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Enam

    “Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.“Saya akan berjuang, tidak aka

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Tujuh

    Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Delapan

    Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.“Niatan yang bagus juga.”“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”“Sore ini setelah kuliah.”“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”“Sama-sama.”Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dal

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Sembilan

    Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala

    Last Updated : 2023-10-06

Latest chapter

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tujuh

    Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Enam

    Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Lima

    “Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Empat

    Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tiga

    Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Dua

    Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Satu

    “Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh

    Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be

  • Meminang Bu Dosen   Sembilan Belas

    Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status