“Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala
Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek
Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
“Kapan kamu mau nikah? Udah kepala tiga, Nduk. Mbok, ya, jangan mikir karir terus. Temenmu udah pada punya anak. Apa kamu mau dicarikan jodoh lagi?” Tita tersentak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bapaknya. Hanya sebuah pertanyaan tetapi dirasakannya bagai sebuah ancaman. Sudah dua kali keluarganya berusaha mencarikan jodoh untuknya. Namun, Tita selalu saja punya alasan kuat saat menolaknya. “Nggak usah, Pak. Tita bisa cari sendiri.” “Kapan? Bapakmu ini wes sepuh. Jangan sampai yang jadi wali nikah itu masmu.” “Astagfirullah, Bapak. Kenapa ngomong gitu lagi,” ucap Tita seraya menundukkan pandangannya. Kepalanya mulai pening. Bukan satu atau dua kali bapaknya berkata seperti itu. Setiap meneleponnya, akhir-akhir ini, beliau selalu mengingatkan putri bungsunya bahwa usianya sudah tidak lama lagi. “Mohon doanya saja, Pak. Semoga disegerakan bertemu jodoh.” “Aku gak kurang kalau doakan kamu, Nduk. Kamunya yang ndablek, males nikah!” jelas bapak Tita dengan nada suara yang men
Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun. Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjahili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala. Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, gak? Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasi
“Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi. Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan. “Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?” Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya. “Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?” Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah. “Saya udah tua, Bu.” “Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala. “Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?” “Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.” “Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.” Tita tertawa mendeng
Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa. Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir. “Ga, ini uangku.” “Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.” “Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus
Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat. Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya. “Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya. Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala. “Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.” “Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gal
Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek
“Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala
Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang
Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan
Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti
“Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b
Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be
Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda