Share

Tiga

Author: Reni Hujan
last update Last Updated: 2021-09-28 18:15:47

“Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi.

Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan.

“Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?”

Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya.

“Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?”

Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah.

“Saya udah tua, Bu.”

“Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala.

“Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?”

“Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.”

“Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.”

Tita tertawa mendengar kalimat terakhir Gala. Ia merasa mahasiswanya itu memang sudah sangat ingin menikah.

“Apalagi umur saya, Ga. Terlambat nikah kali, ya, lebih tepatnya,” ujar Tita sambil menertawakan dirinya sendiri.

Gala tersenyum jahil. Ia mempunyai celah untuk bisa meyakinkan Tita.

“Makanya, Bu. Sebelum semakin terlambat, lebih baik kita cepat saja menikah. Menyempurnakan separuh agama.”

Tita tersentak, ia seketika menoleh ke arah mahasiswanya tersebut. Rasa percaya diri Gala bukannya berkurang setelah membahas usia, malah semakin bertambah. Tita hanya mampu menggelengkan kepalanya.

“Ya, ajak saja salah satu temanmu untuk nikah. Resta mungkin?”

Gala mendengkus pelan. Menurutnya, Tita perlu dikasih ketegasan agar cepat paham dengan keseriusannya.

“Saya maunya sama Titania Pangesti. Titik gak pakai ditawar jadi koma.”

“Tapi saya lebih tua dari kamu, Ga,” ungkap Tita dengan raut wajah serius.

“Lima tahun bukan jarak yang jauh.”

Tita menoleh ke arah Gala. Keningnya terlihat berkerut.

“Kamu tahu dari mana usia saya?” tanya Tita kaget. Gala hanya terkekeh. “Benar-benar ini anak.”

“Benar-benar serius ingin menikahi ibu dosen di sebelah.”

Tita menyandarkan kepala di bantalan kursi. Ia mengakui usaha Gala mendekatinya tidak main-main. Mahasiswanya itu berbeda dengan beberapa laki-laki yang mendekatinya. Terutama dari sisi keseriusan saat memintanya menjadi istri. Bukan bersikap penuh kepalsuan alias menjaga image. Gala terlihat lebih apa adanya bahkan terkesan jahil.

“Ibu gak akan paham, rasa ini hadir sudah sejak lama. Sebelum ibu berangkat ke Spanyol, loh,” ucap Gala mulai membuka isi hatinya. 

Tita terperanjat dalam diamnya. Ia tiba-tiba ingin mengetahui awal mula rasa cinta itu hadir di hati mahasiswanya tersebut.

“Ngarang, kan?”

“Demi Allah, Bu. Waktu itu ospek hari terakhir, Jumat. Saya masih ingat tanggalnya, empat September,” ungkap Gala dengan mata fokus menatap jalanan. “Jajaran dosen waktu itu memperkenalkan diri di hadapan mahasiswa baru. Itu adalah pertama kalinya saya melihat Ibu. Saat itu Ibu memakai kerudung berwarna abu-abu polos. Seragam kantor yang senada dengan kerudung. Pakai ransel warna hitam. Jam tangan model kotak talinya putih, serasi sama sepatu yang tidak terlalu tinggi.”

Tita melongo mendengar penjelasan Gala yang begitu lengkap tentang outfit-nya. Ia lalu manggut-manggut. Laki-laki di sebelahnya itu tidak salah menyebutkan semuanya. Ia memang kerap berpenampilan seperti itu saat ke kampus.

“Ibu dapat giliran terakhir untuk ngomong. Dan, ketika Ibu mengucapkan salam, saat itulah hati ini meyakini bahwa jodoh saya adalah Titania Pangesti.”

Hati Tita mulai tersentuh dengan ingatan Gala atas pertemuan pertama dengan dirinya. Namun, kalimat terakhir laki-laki di sebelahnya itu sontak membuatnya terbahak.

“Gombalanmu kebangetan anak muda. Parah, parah.”

“Demi Allah, Bu. Gak bohong.”

“Masa dari suara langsung yakin itu jodoh?”

Gala kembali berdecak.

“Ibu gak bakalan paham, kayanya. Pernah gak, saat melihat seseorang, hati kecil Ibu berkata bahwa dia jodohku?” tanya Gala seraya menoleh sekilas ke arah Tita.

“Enggak pernah,” jawab Tita dengan lirih. Wanita itu segera membuang muka ke samping kiri, menatap jalanan dengan pandangan sayu. Ada sesak di dada yang kembali terasa.

Gala mengembuskan napas panjang. Ia pasti akan dianggap mengada-ada oleh Tita.

“Kapan ibu bisa percaya dengan ucapan saya?” Nada bicara Gala terdengar putus asa. “Atau saya langsung ke Ngawi saja menemui keluarga Ibu? Biar kesungguhan saya ini lebih meyakinkan.” 

Tita tersentak dengan rencana Gala yang terbilang nekat. Ia tidak boleh membiarkan mahasiswanya itu menemui keluarganya, terutama sang ayah.

“Saat ini fokus saya adalah karir, belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.”

Gala manggut-manggut. Ucapan yang terlontar barusan dirasakannya bukanlah sebuah penolakan. Dirinya akan tetap berjuang meluluhkan hati wanita di sebelahnya itu. Ia juga memaklumi pandangan Tita yang memang terkenal sebagai dosen muda berprestasi di kampusnya, untuk fokus pada karir. Apalagi kabar terakhir yang beredar, wanita berbulu mata lentik itu tengah mengajukan beasiswa untuk program doktoral.

Gala tidak bersuara lagi setelah kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Suasana di dalam mobil kembali hening. Tidak terasa mereka sudah sampai di parkiran kampus.

“Bu, nanti saya antar pulang, ya?”

“Gak perlu, nanti saya pesan ojek online saja,” jawab Tita seraya membuka pintu mobil. Namun, baru akan melangkah, ia merasakan tangannya dipegang.

“Saya mohon, Bu. Kali ini saja.”

“Lihat nanti dulu,” ucap Tita singkat, ia tidak ingin berlama-lama berdua dengan Gala di dalam mobil. Ia bergegas keluar, sebelum kedatangannya disadari Fahmi yang berada di mobil sebelah.

“Loh, Bu Tita?” panggil Fahmi saat rekan kerjanya itu baru berjalan beberapa langkah dari mobil.

Tita terpaksa berhenti. Dengan berat hati, ia pun menjawab sapaan Fahmi.

“Eh, iya, Pak Fahmi. Saya duluan, ya.” Tita kembali berjalan.

“Tunggu dulu, Bu.” Fahmi berlari kecil mendekati Tita. Perempuan itu mendengkus, kesal. “Sekarang bawa mobil, ya?”

“Bukan, Pak. Tadi saya nebeng saja.”

Fahmi manggut-manggut. Rasa ingin tahu mulai menguasainya.

“Nebeng siapa kalau boleh tahu?”

“Bu Tita berangkat bareng saya, Pak Fahmi.”

Fahmi menoleh ke belakang. Ia terperanjat begitu melihat Gala yang berbicara.

“Kamu lagi, kamu lagi, Galaksi Bima Sakti.”

“Galaksi Mahendra, Pak.”

“Suka-suka saya mau manggil apa.”

“Gak bisa gitu, Pak. Orang tua saya penuh perjuangan mendapat nama itu.”

Gala dan Fahmi kembali berdebat. Tanpa mereka sadari Tita sudah berjalan jauh meninggalkan dua laki-laki berbeda profesi tersebut.

“Tuh, kan, Bu Tita udah pergi lagi. Kamu ini gak bisa lihat bapak senang,” tukas Fahmi dengan wajah kecewa.

Gala hanya terkekeh mendapati dosen di depannya sedang memarahinya. Ia tidak peduli akan itu. Hanya satu yang ia rasakan saat ini. Kebahagiaan yang membuncah karena bisa berbincang lebih lama dengan Tita untuk pertama kalinya.

***

“Ndu, Bu Tita selesai ngajarnya jam berapa?” tanya Gala pada Rindu yang sedang duduk di depan meja kerjanya.

“Kenapa emangnya?”

“Penting pokoknya. Cepetan jawab.”

Mata Gala terus mengamati pintu dan jendela di kantor jurusan. Ia was-was jika sampai ketahuan Tita karena tengah bertanya tentang jadwalnya pada Rindu.

“Jam lima sore.” 

Gala manggut-manggut, ia lalu melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Kurang dua jam lagi. Itu bukanlah waktu yang lama untuk menanti pembawa hatinya itu selesai mengajar.

“Tapi habis maghrib ada rapat jurusan. Biasanya sampai isya,” tambah Rindu yang di balas dengan anggukan lemah dari Gala.

Gala pun keluar dari ruangan menuju kursi besi yang berjajar di depan. Ia menyandarkan punggungnya di sana. Pengusaha muda dengan lima gerai kedai kopi kekinian yang tersebar di dekat kampus besar di kota Malang itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Jemarinya mulai mengetik pesan W******p untuk Resta.

Lagi di mana?

Kantor BEM.

Rapat?

Gak, ngrumpi saja.

Tunggu di sana.

Ngapain?

Temani makan bakso di belakang kampus.

Oke.

Gala menuju kantor BEM untuk menjemput Resta. Gadis itu adalah satu-satunya teman kuliah yang dekat dengannya. Ia menghentikan langkah saat mengetahui di dalam basecamp organisasi intrakampus tertinggi di fakultasnya itu cukup ramai mahasiswa.

Aku udah di depan.

Oke, balas Resta sambil beranjak dari duduknya. Ia pun bersiap memakai sepatu.

“Resta mau ke mana?” tanya Ghifari yang menjabat sebagai sekretaris BEM. Ia tadi tengah berbincang dengan Resta dan yang lainnya.

“Aku mau ke belakang dulu. Nanti balik lagi.”

Ghifari manggut-manggut. Matanya terus mengikuti langkah Resta yang keluar dari ruangan. Laki-laki berkulit bersih itu menatap tajam dua mahasiswa yang tengah terbahak bersama di depan kantor.

***

Gala dan Resta tiba di kedai bakso. Mereka segera memesan menu pilihan masing-masing, kemudian mengambil tempat di meja paling depan.

“Kamu gak pulang?” tanya Resta yang penasaran dengan keberadaan Gala di kampus padahal sudah tidak ada jam kuliah lagi. Biasanya laki-laki yang gemar berolah raga itu segera menuju lokasi usahanya setelah kuliah berakhir. Gadis dengan gigi kelinci itu sangat paham bahwa seorang Galaksi Mahendra tidak suka berada di kampus kecuali kuliah.

“Belum.”

“Mau ngapain?”

“Ada saja pokoknya.”

Resta mengernyitkan kening seraya merapikan rambut bagian depan ke arah belakang telinga. Ia heran dengan beberapa sikap aneh dari salah satu teman sekelasnya tersebut akhir-akhir ini.

“Eh, kamu ditanyain Dodi. Suruh main ke kedai.”

“Iya, aku udah lama gak ngopi ke sana.”

“Katanya dia kangen sama kamu,” ucap Gala sambil terkekeh.

Resta terdiam sambil menoleh sekilas ke arah laki-laki muda yang sedang menyantap bakso dengan lahap. Gadis dengan rambut lurus sepunggung itu menghela napas pelan. Gala tidak juga menyadari perasaannya.

Aku maunya kamu, bukan Dodi, Ga.

Related chapters

  • Meminang Bu Dosen   Empat

    Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa. Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir. “Ga, ini uangku.” “Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.” “Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Lima

    Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat. Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya. “Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya. Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala. “Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.” “Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gal

    Last Updated : 2021-09-28
  • Meminang Bu Dosen   Enam

    “Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.“Saya akan berjuang, tidak aka

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Tujuh

    Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Delapan

    Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.“Niatan yang bagus juga.”“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”“Sore ini setelah kuliah.”“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”“Sama-sama.”Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dal

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Sembilan

    Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Sepuluh

    “Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,

    Last Updated : 2023-10-06
  • Meminang Bu Dosen   Sebelas

    “Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah.”Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.“Ga, kamu gak ikutan salat?” tanya teman satu tenda Gala.“Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja.”“Oh, ya sudah. Aku keluar dulu.”Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.“Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok.”“Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya.”“Serius?”Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara

    Last Updated : 2023-10-06

Latest chapter

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tujuh

    Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Enam

    Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Lima

    “Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Empat

    Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tiga

    Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Dua

    Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Satu

    “Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh

    Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be

  • Meminang Bu Dosen   Sembilan Belas

    Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status