Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”
Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.
“Niatan yang bagus juga.”
“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”
“Sore ini setelah kuliah.”
“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”
“Sama-sama.”
Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dalam relung hatinya.
Gala dan Resta menikmati jeda waktu kuliah sambil makan siang. Menjelang pukul satu, mereka pun kembali ke kampus. Ada jadwal kuliah hingga sore. Total enam SKS untuk hari ini.
***
Mata kuliah terakhir hampir usai. Gala masih memikirkan respon anak BEM saat dirinya muncul kembali. Jika tidak mendapat sambutan yang baik, pasti akan mendapat timpukan sepatu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Demi rasa cintanya untuk Tita, ia harus menjilat ludahnya sendiri.
Cinta kenapa seberat ini?
Ponsel di saku celana denim Gala bergetar. Ada notifikasi W******p dari Tita. Ia segera membukanya.
[Jangan lupa anterin ambil motor]
[Gak mau]
[Nilai D]
[Ampun cinta]
Setelah balasan terakhir Gala, Tita hanya menjawab dengan gambar tangan mengepal. Gala terkekeh pelan.
[Selesai ngajar jam berapa?]
[Habis ini. Tunggu di parkiran. Jangan kelihatan jalan bareng]
[Kenapa?]
[Dosen dan Mahasiswa X]
Gala menahan tawanya. Ia mengusap keningnya membaca huruf X besar berwarna merah. Tita masih juga menganggap tabu hubungan antara dosen dan mahasiswa.
Perkuliahan pun berakhir. Gala bergegas ke luar kelas. Belum sampai pintu, ia menghentikan langkah, kemudian memutar tubuhnya.
“Ta, ditunda dulu ke BEM-nya, ya.”
“Kenapa? Malu sama Ghifari, ya?”
“Enggak, enak saja.”
“Terus, kenapa gak jadi?”
“Ada janji, penting,” ujar Gala seraya berlalu dari hadapan Resta.
Gadis itu pun beranjak dari duduknya. Ia berjalan menyusuri koridor lantai lima. Sejenak, ia mendekat ke pagar tembok yang di bawahnya terdapat tempat parkir khusus mobil. Keningnya berkerut saat matanya menangkap sosok Gala yang berdiri di samping mobil Yaris putih. Laki-laki itu sedang membukakan pintu untuk perempuan berkerudung.
“Bu Tita?”
****Pagi ini, Gala kembali berangkat ke kampus seorang diri. Motor Tita sudah diambil dari bengkel kemarin sore. Tidak ada lagi alasan untuk bisa mengajak dosennya itu semobil bersamanya. Ada rasa rindu menyelinap dalam hatinya. Jatuh cinta kepada seorang Titania membuatnya merasa mendapatkan suntikan semangat untuk menjalani hidup yang lebih baik. Tidak ada lagi penyesalan atas masa lalu yang pernah memberi luka.Hanya ada dua mata kuliah untuk hari ini. Gala sudah membuat janji kembali dengan Resta untuk berkunjung ke kantor BEM. Ia harus mengesampingkan gengsi demi mencapai tujuannya menjadi Gubernur Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dirinya akan meminta maaf kepada Ghifari dan teman-temannya atas ucapannya kemarin.
“Kalau gagal lagi, aku gak mau bantu untuk masuk BEM,” ancam Resta begitu sahabatnya itu masuk kelas dan duduk di sebelahnya.
“Sadis banget. Jadi, pasti jadi hari ini.”
“Tapi aku masih penasaran. Tujuanmu yang sebenarnya untuk jadi aktivis.”
Gala tergemap, Resta masih menyangsikan niatannya.
“Kan, aku sudah bilang.”
“Masih gak percaya aja, Galaksi yang suka mengejek Claresta dengan aktivitasnya di organisasi, tiba-tiba mau gabung. Aneh, sih.”
Gala mengusap keningnya. Ia maklum jika Resta berpikir seperti itu. Apalagi gadis secerdas itu pasti mampu menganalisa keadaan.
“Ya sudah kalau gak mau. Aku minta bantuan yang lain saja,” ucap Gala dengan wajah cemberut.
“Udah tua masih suka ngambek,” cetus Resta sambil tergelak. Gala pun mendengkus kesal.
“Eh, kemarin kamu pulang bareng Bu Tita?”
Gala terperanjat mendengar ucapan Resta yang mengetahui bahwa dirinya pulang bersama dosen mereka itu.
“Kok, tahu?”
“Pas lihat aja dari lantai lima.”
“Oh ... kebetulan ketemu di dekat parkiran. Sekalian aja aku barengin, satu arah juga, kan.”
Resta manggut-manggut. Tidak ada yang perlu dicurigai untuk mahasiswa yang berbuat baik terhadap dosennya.
“Aku pikir kamu mau nyogok nilai,” cetus Resta sambil terbahak. “Eh, aku penasaran tau, Ga. Kok, Bu Tita yang almost perfect itu belum nikah juga, ya?”
“Mulai nggosip, nih. Coba tanyain,” ujar Gala menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia harus menyimpan erat pendekatannya kepada Bu Tita dari siapa pun yang ada di kampus ini.
Obrolan mereka terhenti saat dosen masuk ke kelas. Dua mata kuliah pun terlewati. Resta, sesuai janjinya akan mengajak Gala ke kantor. Menjelang siang, basecamp aktivis mahasiswa ekonomi itu tampak lengang. Hanya ada Ghifari dan satu temannya yang berada di sana.
“Assalammualikum,” sapa Resta.
“Waalaikumsalam. Wah, kebetulan anget, aku baru mau W******p,” ucap Ghifari begitu melihat Resta. Ia lalu membuka tasnya, mencari proposal yang akan dibicarakannya bersama gadis berhidung mancung tersebut. “Ini ada yang—“
Ucapan Ghifari terputus begitu melihat sosok yang berada di belakang Resta.
“Kamu mau apa lagi?” Mata Ghifari tajam menatap Gala. “Masih kurang puas mengejek kami?”
Resta menghela napas dalam. Ia sudah menduga reaksi yang akan ditunjukkan teman-temannya.
“Tenang, Gala ke sini gak ada maksud seperti dulu,” ujar Resta mencoba menenangkan Ghifari yang mulai tersulut emosi. Ia pun meminta Gala duduk di sebelahnya.
“Mau kesini ngapain?” tanya Ghifari dengan raut wajah sinis.
Bukan karena Tita, gak sudi aku ke sini, rutuk Gala dalam hati. Dirinya muak dengan sikap belagu Ghifari.
Resta menyenggol lengan Gala dengan sikunya. Gadis itu memberi instruksi lewat tatapan mata.
“Jadi begini, aku ke sini mau minta maaf karena ucapanku kemarin.”
Ghifari dan teman-temannya terkejut dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir Gala.
“Ikhlas minta maafnya?” tanya Ghifari masih dengan tatapan ketus.
Gala mengernyitkan kening. Ia berusaha untuk tidak terpancing emosi. Meladeni sikap Ghifari sama saja menyetarakannya dengan usia mahasiswa itu. Gala sudah pernah melewati masa-masa tersebut.
“Insya Allah, ikhlas,” ucap Gala tenang. Ghifari pun terdiam, raut wajahnya berubah lebih bersahabat.
“Jadi gini, Ghi. Gala sudah menyadari, apa yang keluar dari ucapannya itu karena pengetahuannya yang minim akan organisasi di lingkup mahasiswa,” jelas Resta. ”Gala ingin mulai belajar organisasi.”
Ghifari tercengang mendengar penjelasan Resta. Laki-laki keturunan arab itu melirik sekilas ke arah Gala yang tengah manggut-manggut.
“Yakin mau gabung sama kita, Ga?”
“Insya Allah, yakin. Persyaratannya apa?” tanya Gala bersemangat.
“Loh, kamu belum kasih tahu Gala, Ta?”
Resta menggelengkan kepala. Ia menyerahkan penjelasan tentang prosedur masuk BEM kepada Ghifari. Dirinya takut dibilang mengada-ada oleh Gala, melihat langkah-langkah yang tidak semudah membalikkan telapak tangan itu.
“Jadi gini, untuk jadi anggota itu bergantung pada ketua BEM yang sedang menjabat setiap periodenya. Bukan perwakilan tiap jurusan seperti di tingkat universitas karena pemilihan umum pun sudah dilakukan secara demokrasi, seperti yang ada di negara kita.”
Gala manggut-manggut. Dalam hatinya masih mencibir para mahasiswa yang ingin berpolitik.
Ghifari melanjutkan penjelasannya.
“Kalau mau masuk jadi anggota BEM harus ikut organisasi ekstrakampus terlebih dahulu, Ga.”
Gala mengernyitkan keningnya.
“Gak bisa langsung masuk?”
Resta menggeleng pelan.
“Kamu harus ikut Ikatan Mahasiswa Gemilang atau Himpunan Mahasiswa Surya. Itu dua organisasi terbesar di kampus kita.”
Gala menghela napas dalam. Ia malas berurusan dengan prosedur yang berbelit.
“Harus seperti itu?” tanya Gala pada dua mahasiswa di hadapannya. Mereka mengangguk dengan kompak.
“Kamu harus terdaftar dulu menjadi anggota IMG atau HMS.”
Kepala Gala berdenyut. Ia membayangkan aktivitasnya akan tersita dengan prosedur masuk organisasi. Gala berdecak kesal mengingat permintaan Tita.
“Kalian anggota apa?”
“Aku sama Resta ikut IMG.”
“Ya sudah, aku mau daftar IMG.”
Resta tercengang mendengar keinginan Gala. Ia tidak memberitahukan sejak awal karena paham Gala akan kembali mencibir prosedural yang lumayan ketat. Ternyata dirinya salah, Gala berminat bergabung dengan IMG.
“Yakin?” tanya Resta kembali menegaskan.
“Iya, jangan banyak tanya lagi.”
Resta tersenyum, kemudian mengambil berkas untuk pendaftaran IMG. Gadis itu menyuruh Gala mengisi formulir.
“Sudah. Resmi jadi anggota sekarang?” tanya Gala selesai mebubuhkan tanda tangan pada selembar kertas berwarna putih tersebut.
Ghifari terbahak menanggapi pertanyaan Gala.
“Belumlah, kamu harus ikut diklat dulu baru diterima sebagai anggota.”
“Apa?!”
Kepala Gala semakin berdenyut. Diklat berarti harus bermalam. Jika seminar seperti bidang yang ditekuninya, ia tidak masalah. Namun, jika harus menginap ia tidak bisa. Bisnisnya harus selalu dipantau setiap hari.
“Kebetulan diklat open member gelombang kedua jadwalnya minggu depan. Kamu datang di saat yang tepat,” imbuh Resta yang dijawab dengan anggukan lemah oleh Gala. Mau tidak mau dirinya harus ikut serta, demi Tita dan cinta yang tengah diperjuangkannya.
Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala
“Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,
“Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah.”Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.“Ga, kamu gak ikutan salat?” tanya teman satu tenda Gala.“Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja.”“Oh, ya sudah. Aku keluar dulu.”Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.“Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok.”“Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya.”“Serius?”Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara
“Ketika ijazah sudah di tangan, saya bukannya sibuk mencari lowongan. Kenapa bisa begitu? Karen orang-orang yang saya kenal saat jadi aktivis yang memberikan informasi tentang itu semua. Jadi, salah satu manfaat ikut organisasi saat kuliah itu adalah memudahkan kalian mendapatkan pekerjaan. Oh, iya, satu lagi. Simpan baik-baik sertifikat kalian. Banyak yang bilang kertas-kertas itu gak ada fungsinya. Salah besar!”Sekali lagi, Gala merasa dikuliti. Semua yang ada di pikirannya selama ini dibahas oleh pemateri.“Ketika kalian melamar pekerjaan, sertakan sertifikat-sertifikat itu. Baik IMG, HMJ, BEM, bahkan kalau kalian ikut organisasi minat bakat seperti fotografi atau olah raga di kampus. Masukkan semua bareng ijazah. Insya Allah, pihak yang kalian tuju akan mempertimbangkan. Asal IPK kalian bukan nasakom loh, ya.”Semua tergelak mendengar kata nasakom atau nasib satu koma. Indeks prestasi kumulatif yang dipastikan susah untuk segera lulus. Pemateri pun melanjutkan ceritanya.“Kenapa
“Kamu mau mundur? Berarti Tita gak salah kalau bilang Gala itu seperti anak kecil.”Gala terkesiap mendengar ucapan Dodi. Ia lalu mengusap wajahnya. Dirinya merasa seketika berubah menjadi tidak bijaksana saat kasmaran kali ini.“Aku harus tetap nuruti persyaratan Tita, gitu?”“Ya, kalau kamu udah gak cinta, ngapain dituruti. Logikanya tolong dimainkan.”Gala menghela napas panjang. Di hatinya masih terlukis jelas sebentuk cinta yang utuh untuk Tita.“Masalahnya kamu terlalu cinta sama dia, itu!” ungkap Dodi dengan jari telunjuk mengarah pada wajah Gala.“Terus gimana? Aku chat gak dibaca. Ke kosnya, dibilang gak ada terus. Ke kantor jurusan, menghindar. Di kelas pun, dingin. Serba salah rasanya.”“Bro ... Bro, kamu itu ganteng. Tapi pengalaman sama cewek kalah level sama aku,” ejek Dodi sambil terbahak. “Nih, aku kasih tahu. Beberapa cewek itu ada yang gak suka terlalu dikejar. Yang ada mereka suka ilang feeling kalau cowoknya agresif. Ngerti gak?”“Kaya gimana itu?”“Kaya kamu,” ja
Tita tersentak mendengar kalimat ancaman yang keluar dari bibir Gala. Kenekatan laki-laki itu masih saja belum berkurang. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum puas karena lift berhenti di lantai tujuannya.Gala mendengkus kesal mendapati strateginya gagal. Akan tetapi, dirinya tidak kehilangan akal.“Titania Pangesti!” panggil Gala yang juga keluar dari lift dengan nada sedikit keras. Lorong gedung kuliah bersama itu sudah sepi karena aktivitas terpusat di kelas. Tita masih terus berjalan, tidak memedulikan ulah konyol Gala.“Maukah kamu—“Ucapan Gala terhenti saat Tita berbalik arah. Tatapan wanita dengan ransel berwarna hitam di punggungnya itu tajam, tanpa seutas senyuman. Ia berjalan mendekat ke arah pemanggil.Tita berdiri di hadapan Gala yang seketika mematung. Ia menarik napas dalam.“Sebagai seorang muslimah yang baik, aku memaafkanmu. Sudah paham? Terima kasih.”Tita meninggalkan Gala tanpa menunggu respon atas ucapannya. Pemuda di belakangnya itu tersenyum bahagia.“Terima k
Angka terakhir yang tertera di papan berwarna putih sontak membuat Gala syok. Dari sepuluh kertas tersisa, hanya tiga yang memilih dirinya. Ghifari bisa dipastikan melenggang dengan mulus ke pemilihan umum raya mahasiswa bulan depan. 46 berbanding dengan 44, hanya selisih dua angka, sangat tipis.Gala menghela napas panjang. Dalam pikirannya sekarang cuma ada satu, bersiap kehilangan cinta yang sedang ia perjuangkan.“Ini namanya politik, Ga. Ada yang menang ada yang kalah,” kata Resta menguatkan Gala. Ia merasa kecewa teman satu kelasnya itu tidak lolos. Visi dan misi Gala menurutnya sangat unggul di atas Ghifari. Namun, hasil akhir memang berada di tangan para pemilih.Gala izin pulang lebih awal. Ia menjabat tangan semua yang ada di ruangan tersebut. Dirinya berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk betukar pikiran.“Kamu orang yang punya pendirian, karaktermu kuat. Suatu saat BEM butuh orang sepertimu.”Wildan merangkul Gala yang mengangguk sambil tersenyum.Tapi tidak
Mobil Gala sudah terparkir di depan indekos Tita. Ia bahagia karena bisa kembali menjemput pujaan hatinya. Awalnya, ibu dosen itu menolak untuk ikut rencananya. Namun, Gala kembali mengingatkan perjanjian mereka saat di restoran dulu. Tita tidak mungkin membiarkan Gala menang dan menikahinya.Tita sudah siap di depan rumah. Ia mengenakan kulot plisket dan kemeja dengan hiasan tali pada pinggangnya. Gala berdecak kagum atas ciptaan tuhan yang hampir sempurna di matanya itu.“Ada yang aneh?” tanya Tita saat melihat Gala mengamati penampilannya.“Ada.”“Yang mana?”Tita tampak sibuk meneliti setiap inci pakaian dan kerudung yang dikenakannya. Namun, ia tidak menemukan satu pun yang dianggapnya aneh. Gala tertawa kecil melihat Tita panik.“Cuma satu yang aneh.”“Iya, apa?”“Suaminya mana, Bu?”Tita mencebik, lalu memukulkan tas selempang kecil berwarna marun ke lengan Gala. Pemuda itu pura-pura mengaduh. Ia segera membukakan pintu mobil untuk wanita cantik itu.“Kita mau ke Kopipiko?”“Bu
Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek
“Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala
Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang
Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan
Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti
“Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b
Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be
Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda