Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun.
Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjahili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala.
Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, gak?
Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasiswanya itu menundukkan pandangan sambil tersipu di sepersekian detik saat tatapan mereka beradu.
Cuma segitu nyalimu wahai anak muda, batin Tita seraya tertawa kecil dengan ekspresi puas. Namun, ia tergemap saat Gala kembali menatapnya. Perempuan penyuka masakan padang itu pun kembali fokus dengan bukunya.
Gala terkekeh pelan karena bisa membuat Tita salah tingkah. Ia pun melanjutkan aksinya memandangi wajah manis dosennya.
“Hei, Gala!”
Lambaian tangan dan sapaan Resta yang duduk di depannya membuat Gala terkejut.
“Apa, sih, Ta? Ganggu saja.”
“Ganggu orang ngelamun maksudnya?”
“Udah, kamu hadap sana lagi,” ujar Gala mengusir Resta yang menghadap ke arahnya.
Resta mengangkat bahunya. Ia mulai heran dengan kelakuan Gala beberapa hari ini. Pesaingnya untuk menjadi yang teraktif di kelas itu mendadak jadi pendiam saat mata kuliah dosen termuda itu sedang berlangsung.
Tita mengakhiri kelas saat dua SKS sudah terlewati. Laki-laki itu mendengkus kesal karena tidak bisa lagi memandangi pujaan hatinya.
“Ga, kamu habis bikin gara-gara sama Bu Tita, ya?” tanya Resta yang masih penasaran.
“Enggak,” jawab Gala menyembunyikan kebenaran yang terjadi. “Emang kenapa?”
“Jadi pendiem kamu sekarang. Cuma di kelas Bu Tita masalahnya.”
“Perasaan kamu saja,” elak Gala seraya membereskan tasnya.
Resta menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia tidak percaya dengan jawaban Gala. Laki-laki yang kerap bersikap jahil itu mulai beranjak dari kursi.
Gala mengernyitkan kening melihat ekspresi Resta yang masih bergeming. Ia lalu mengusap sebentar pucuk kepala gadis berusia 20 tahun tersebut.
“Sana pergi rapat.”
Resta mendengkus kesal. Rasa penasarannya tidak juga terjawab. Ia pun menyusul Gala keluar kelas.
“Kamu itu mau jadi politikus apa pengusaha?” tanya Gala sambil berjalan bersisian dengan Resta.
“Gak tau masih lama itu, berproses dulu yang penting. Eh, jadi kaya kamu kayanya seru, Ga. Entrepreneur, wih, keren.”
Gala tertawa menanggapi pujian sahabatnya tersebut.
“Ya, sudah. Fokus kuliah jangan organisasi melulu yang ada di kepala,” tutur laki-laki dengan tas selempang berwarna coklat tua tersebut sambil menunjuk pelipis Resta.
Resta mencebik manja.
“Kamu gak tau, sih, Ga. Betapa nikmatnya jadi aktivis kampus.”
“Buang-buang waktu kalau buat aku,” ucap Gala dengan tampang mengejek.
Resta mengepalkan tangannya. Darahnya selalu mendidih jika Gala menjelekkan citra aktivis kampus dan juga organisasinya. Laki-laki di sebelahnya itu segera menghindar dengan berlari menjauhinya.
“Aku sumpahin kamu jadi aktivis kampus, Galaksi!” Pekikan Resta mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Gak bakal mempan!”
Dari jarak sepuluh meter, Gala terbahak karena bisa membuat teman terdekatnya di kelas tersebut akhirnya jengkel. Ia pun melangkah menuju kantin. Perutnya terasa melilit. Ia tidak sempat sarapan walaupun ibunya sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat kuliah.
Setelah memilih makanan, ia pun menuju meja yang tersedia di kantin. Saat mencari tempat kosong, matanya seketika berbinar. Ia menemukan perempuan pujaannya sedang duduk bercengkerama dengan beberapa mahasiswa. Gala pun mengambil posisi di belakang Tita.
“Alhamdulillah,” ucap Gala begitu melihat mahasiswa tadi beranjak dari bangku yang berada di hadapan Tita. Ia pun bergegas mendatangi wanita dengan seragam kerja berwarna abu-abu tersebut.
“Assalammualaikum, Bu Tita.”
Gala tersentak karena ucapan salamnya bersamaan dengan Fahmi, salah satu dosen yang juga menjabat sebagai Pembantu Dekan Tiga.
“Kok, Bapak di sini, sih?” protes Gala.
“Kamu yang ngapain di sini?”
“Ya, mau makan, Pak.”
“Sama, saya juga mau makan,” ujar Fahmi sambil memberikan senyuman pada Tita. “Kamu pindah sana, masih banyak juga meja kosong.”
“Bapak juga, gak harus di sini, kan?” Gala tidak terima diusir.
Gala dan Fahmi terus berdebat. Tita hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dosen dan mahasiswa tersebut. Ia lalu membereskan bungkus makanan yang sudah disantapnya tadi.
“Waalaikumsalam, Pak Fahmi dan Galaksi. Saya pamit dulu. Silakan dilanjutkan obrolannya,” ucap Tita seraya berdiri.
Tita bergegas meninggalkan meja tersebut. Ia geregetan jika bertemu atasannya tersebut. Laki-laki bujang berusia 45 tahun itu selalu terang-terangan mendekatinya. Hampir satu jurusan tahu jika Fahmi memuja dirinya.
“Fahmi sama Gala klop horornya,” ucap Tita sambil bergidik.
Dua laki-laki itu hanya melongo melihat perempuan pujaan mereka berlalu dari hadapan. Mereka kembali beradu mulut.
“Gara-gara kamu ini, Galaksi Bima Sakti.”
“Bapak, dong. Coba ngalah sama yang muda.”
Mata Fahmi mendelik. Ia menampakkan muka sangar di depan mahasiwanya.
“Nilai kamu saya pangkas jadi D!”
Gala terperanjat. Ia lalu menangkupkan kedua tangannya. Fahmi pun beranjak meninggalkan meja dengan tertawa lepas karena bisa menjahili mahasiswanya.
“Gila! Sainganku gak kaleng-kaleng. Kelas kakap, usianya,” ucap Gala dengan tawa berderai.
***
Gala hanya bisa pasrah. Ia sulit sekali menemukan waktu untuk bisa berbincang berdua dengan Tita. Perempuan berbibir tipis itu selalu saja menghindar saat langkahnya mulai mendekat, entah itu di kantin atau pun depan kantor jurusan. Dirinya mulai kehabisan cara untuk meyakinkan Tita akan ucapannya di kelas saat itu. Ia bisa saja menggunakan ponsel. Namun, Gala bukan laki-laki seperti itu. Ia lebih memilih face to face untuk menunjukkan kesungguhan sikapnya. Bukan hanya kata-kata gombal lewat chat atau telepon.
Pagi ini Gala sudah bersiap untuk berangkat lebih pagi. Jarak antara kampus dan rumahnya hanya sekitar tiga puluh menit. Namun, sejak pukul setengah enam pagi laki-laki bertubuh atletis itu sudah tampil rapi. Kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga sebatas siku dan celana denim abu-abu. Gala terlihat sangat manly.
“Ga, cepetan sarapan,” titah ibu Gala dari arah dapur begitu mendengar putra bungsunya menyalakan mesin mobil.
“Iya ibuku sayang.”
“Sayang, sayang. Kemarin gak sarapan akhirnya malamnya ngeluh sakit perut.”
“Maaf,” ucap Gala manja seraya memeluk sang ibu dari arah belakang. Perempuan paruh baya tersebut tersenyum mendapati perlakuan manis dari sang anak.
“Kenapa berangkat pagi banget?”
“Mau jemput calon menantu Ibu.”
Ibu Gala membulatkan matanya. Beliau sangat senang mendengar kalimat tersebut. Sudah bertahun-tahun dirinya tidak melihat Gala mengenalkan pacarnya.
“Alhamdulillah, ternyata anakku masih normal. Masih suka cewek.”
Gala mengernyitkan kening. Mulutnya pun terbuka. Ia merasa ada yang aneh dengan kata-kata sang ibu.
“Ibu pikir aku suka sesama jenis? Astaghfirullah, ibuku.”
Ibu Gala tergelak. Beliau mengusap rambut sang anak dengan lembut.
“Bukan gitu. Beberapa tahun ini yang kamu ajak ke rumah itu cuma Dodi kalau gak teman cowok lainnya. Wajarlah ibu mikir yang aneh-aneh.”
Gala memukul keningnya pelan. Ia memang menutup hatinya untuk perempuan sejak putus dari Silmi, matan kekasihnya.
“Ibu setuju apa gak kalau punya mantu dosen, cantik, pintar, soleha?”
“Ibu itu demokratis. Terserah anaknya mau sama siapa. Yang penting cuma satu.”
“Apa itu?”
“Mencintai anakku apa adanya,” ucap ibu Gala sambil merengkuh sang anak dalam dekapan.
“Uuuuh, ibuku tayaaangg.”
“Eh, satu lagi, Ga.”
“Apa itu?”
“Seiman, syarat paling penting itu.”
Gala kembali memeluk ibunya. Sebagai anak bungsu, Gala memang sangat dekat dengan sang ibu yang sudah menjadi orang tua tunggal sepeninggal ayahnya sejak tiga tahun yang lalu. Ia berharap bisa menemukan jodoh yang mampu mencintai ibunya dengan tulus. Dan, Gala meyakini bahwa Tita adalah orang yang tepat.
***
Jam menunjukkan pukul 06.15 Wib. Mobil Honda Yaris yang dikendarainya sudah berada di area indekos Tita. Ia memang sengaja membuntuti dosennya itu agar mendapatkan waktu untuk berbincang berdua sebelum jam kuliah dimulai. Tidak ada sepuluh menit, terlihat motor Beat merah muda dikeluarkan dari pagar oleh perempuan berkerudung motif bunga tersebut. Gala menegakkan punggungnya bersiap mengikuti Tita.
“Titaku mantap juga bawa motornya,” ucap Gala berdecak kagum sambil menggelengkan kepala menyaksikan kecepatan Tita dalam mengendarai motor.
Namun, baru satu kilo meter jarak yang ditempuh, Tita meminggirkan motornya. Ia terlihat kesal ketika mencoba menghidupkan tombol starter.
Gala pun ikut menepikan mobilnya. Ia lalu turun menghampiri Tita.
“Motornya kenapa, Bu?”
Tita menoleh ke arah suara. Ia tercengang melihat Gala sudah ada di sampingnya.
“Kok, kamu di sini?”
“Saya lagi lewat, kan, jalan raya. Kenapa motornya?”
“Gak tahu. Mati.”
Gala pun memeriksa motor Tita. Ia juga kesulitan menyalakan mesinnya walaupun tangki bensin masih penuh.
“Gak bisa nyala ini. Coba saya hubungi dulu teman yang punya bengkel dekat sini.”
Tita mengangguk pelan. Ia tidak mau sampai terlambat datang ke kampus.
“Bu Tita tinggal di dekat sini?” tanya Gala basa-basi.
Tita kembali mengangguk tanpa senyuman. Ia masih jengkel dengan tingkah mahasiswanya itu. Tidak lama kemudian teman Gala datang. Montir itu pun memeriksa motor.
“Gimana, bisa gak?”
“Bisa. Ini masalah kecil, habis ini juga nyala.”
Tiba-tiba terlintas ide untuk kembali menjahili Tita.
“Bilang saja ini masalahnya berat harus dibawa ke bengkel,” ucap Gala lirih.
“Harus gitu?”
“Iya cepetan, Bro.”
Teman Gala pun menjelaskan pada Tita tentang kondisi motornya sesuai instruksi yang diberikan. Raut wajah panik mulai menghinggapi wajah bersih tersebut.
“Gak bisa cepat, Mas?”
“Gak bisa, Mbak. Harus dibongkar mesinnya.”
Tita hanya bisa pasrah. Baru kali ini kendaraan roda dua miliknya itu harus bongkar mesin. Ia pun mengizinkan motor kesayangannya dibawa ke bengkel. Perempuan dengan sepatu hitam setinggi tiga sentimeter itu mendengkus kesal. Pulsa pada ponselnya habis. Ia tidak bisa memesan ojek online.
“Bareng sama saya aja, Bu,” pinta Gala yang sedari tadi memperhatikan kegelisahan Tita.
“Gak perlu, terima kasih. Saya mau cari angkot aja,” ucap Tita sambil berlalu meninggalkan Gala.
“Yakin mau keringetan sampai kampus? Angkot masih jauh dari sini!” ujar Gala setengah berteriak.
Tita menghentikan langkahnya. Apa yang diucapkan Gala ada benarnya. Ia baru bisa menemukan angkot di pertigaan yang masih berjarak 500 meter dari tempatnya berdiri. Tentu itu akan membuatnya basah oleh keringat. Tita bergidik membayangkan tubuhnya lengket. Perempuan yang pandai memasak itu anti terhadap tubuh yang bau. Ia harus selalu wangi setiap saat.
Gala tersenyum penuh kemenangan. Tita akhirnya berbalik menuju tempatnya berdiri. Ia segera menuju mobil, lalu membukakan pintu untuk dosennya.
“Enggak, saya di belakang saja.”
“Emangnya saya taksi online, Bu? Sopir sama penumpang, depan belakang, gitu?”
Tita tidak menghiraukan Gala. Ia mencoba membuka pintu belakang, tetapi tidak berhasil juga. Masih dengan wajah yang terlihat dingin, ia pun menuju bangku depan.
Gala tersenyum puas. Ia lalu menutup pintu dengan pelan. Pemuda itu sontak mengepalkan tangan ke udara.
“Yes!” ucapnya semringah.
Tita yang memperhatikan Gala dari spion, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ada perasaan terhibur yang menyelinap saat ini ketika melihat tingkah mahasiswanya tersebut.
Mobil pun melaju pelan. Suasana hening menyergap. Gala mengetukkan jemarinya pada kemudi untuk mengusir rasa gugup duduk berdua dengan pujaan hatinya.
“Ibu masih gak percaya dengan perasaan saya?” tanya Gala membuka obrolan.
Tita bergeming. Matanya fokus melihat jalanan.
“Demi Allah saya tidak main-main ingin melamar Ibu untuk jadi istri,” jelas Gala dengan tangan bergetar. Ia mengulang kedua kalinya ungkapan lamaran yang pernah terucap di kelas. “Demi Allah, Bu. Ini gak main-main.”
Tita terperanjat saat mendengar kembali pengakuan Gala. Ia bisa merasakan kesungguhan dari ucapan laki-laki yang selalu berpenampilan rapi tersebut. Perkataannya yang membawa nama Allah terasa menyentuh hatinya. Tita menghela napas dalam.
“Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi. Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan. “Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?” Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya. “Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?” Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah. “Saya udah tua, Bu.” “Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala. “Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?” “Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.” “Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.” Tita tertawa mendeng
Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa. Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir. “Ga, ini uangku.” “Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.” “Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus
Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat. Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya. “Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya. Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala. “Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.” “Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gal
“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.“Saya akan berjuang, tidak aka
Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar
Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.“Niatan yang bagus juga.”“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”“Sore ini setelah kuliah.”“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”“Sama-sama.”Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dal
Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala
“Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,
Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek
“Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala
Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang
Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan
Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti
“Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b
Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be
Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda