Beranda / Pernikahan / Memikat Hati Tetangga / Bab 1. Pandangan Pertama

Share

Memikat Hati Tetangga
Memikat Hati Tetangga
Penulis: Ara Angin

Bab 1. Pandangan Pertama

Penulis: Ara Angin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pandangan Pertama Begitu Menggoda

“Dasar menantu tidak berguna! Menyusahkan saja!” kata seorang wanita tua dari dalam sebuah rumah besar dengan banyak bunga di halamannya. Teriakan itu dibarengi kegaduhan lain yang memekakkan telinga, seperti suara dari beberapa barang yang dibanting dan dilempar, sampai ke teras samping di mana dapur berada.

“Kapan kamu pernah benar bekerja, Wida? Goreng kerupuk saja gosong!” kata orang itu lagi.

“Ibu, tidak usah teriak-teriak, malu didengar tetangga, saya tahu saya salah tapi, tidak semua makanan yang saya masak gosong, kan?” kata seorang wanita lainnya yang terlihat lebih muda.

Ia bernama Widati Ainun yang biasa dipanggil Wida, wanita itu sedang diomeli oleh Warsi—ibu mertuanya, karena kesalahan kecil saja. Walaupun demikian, ia tetap sabar karena menghormati ibu mertua sama saja menghargai suaminya.

Wida berjalan untuk mengambil barang yang di lempar ke luar oleh Warsi. Wajahnya tanpa ekspresi dan pucat, sesekali ia menghela napas dalam dan terlihat sabar dalam menjalani semua yang terjadi.

“Biar saja tetangga tahu, menantu macam apa kamu!” kata Warsi dengan suara menggelegar. Wanita itu sudah berdiri di ambang pintu.

“Memangnya, saya ini perempuan macam apa menurut Ibu? Saya ini sudah nurut, tidak pernah protes walau Mas Wasis memberikan semua uang gajinya sama Ibu!”

“Eh! Dengar, Wida! Semua kebutuhan kamu ini sudah dicukupi, mau protes kayak apa lagi? Hah!”

Wida tidak menyahut lagi, sedangkan Warsi menutup pintunya dengan keras, menunjukkan seberapa besar kemarahannya pada sang menantu yang dianggap tak berguna itu.

“Astagfirullah!” ucap Wida berulang kali sambil mengusap dadanya.

Wida berjongkok, menutupi muka dengan kedua telapak tangan sambil menangis. Ia sedih karena wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu, tega berbuat demikian padanya. Perabot dapur yang sudah dibereskan, ia biarkan tergeletak begitu saja. Sebenarnya sudah biasa Warsi berkata kasar, tetapi kondisi hormonal dari kehamilan membuat perasaan wanita itu jauh lebih sensitif dari biasanya.

Ia merasa pusing saat memasak dan tidak sengaja membuat sebagian kerupuk ketan kesukaan Warsi yang sedang digorengnya gosong. Wajar kalau ibu mertuanya pun marah.

Bukan kali ini saja Warsi membentak dan berkata kasar pada sang menantu hanya karena masalah sepele. Namun, selama itu pula Wida selalu bersabar menghadapinya dan hanya menumpahkan kesedihan dengan membuangnya melalui air mata.

Sudah dua hari ini Wida merasa tidak enak badan dan sering mual di pagi hari, karena curiga, ia melakukan tes kehamilan dan hasilnya pun positif. Ia belum mengatakan tentang kehamilan keduanya itu pada Warsi, karena yang berhak tahu untuk pertama kali adalah sang suami, Wasis Sasongko.

Wida berniat untuk memberikan kejutan pada Wasis, saat sudah ada di rumah nanti. Sekarang, suaminya sedang bekerja di luar kota dan melalui pesannya semalam, ia akan pulang secepatnya kalau tugas sudah selesai. Dalam satu bulan, bisa dua sampai tiga kali, kepala rumah tangganya itu bekerja di luar kota sesuai perintah bosnya.

Sikap Warsi pada Wida, tetap sama, baik Wasis ada di rumah atau tidak. Ia tetap memperlakukan menantunya itu, dengan kasar dan selalu tidak puas pada apa pun yang dikerjakannya.

“Ekhem, ekhem!” tiba-tiba terdengar sebuah suara seorang pria dari arah rumah tetangga sebelah, membuat Wida menoleh dengan cepat bahkan, tidak sempat menghapus air mata.

Wida sangat terkejut ketika melihat seorang pria berdiri di sisi tembok pembatas antara rumah tetangga. Ia tidak menyangka kalau sekarang sudah ada seseorang yang menjadi penghuni baru, dan orang itu adalah pria yang sekarang sedang menatapnya.

Sudah lama rumah tetangganya kosong karena akan dijual. Namun, sejak sebulan yang lalu Wida tidak melihat lagi tulisan ‘Rumah Ini Dijual’ menempel di sana. Baru beberapa hari rumah itu terlihat dibersihkan, diperbaiki dan dindingnya dicat.

Wajar kalau tidak ada yang tahu bahwa, sudah ada penghuni baru di rumah sebelah sebab pria seumuran orang itu biasanya malas bersosialisasi dengan masyarakat.

Bagaimana Wida tidak heran, karena selama ini hampir tidak ada tanda apa pun yang menunjukkan jika rumah itu sudah ada pemiliknya.

Oleh karena itu, sekedar untuk meyakinkan diri jika yang dilihatnya itu benar-benar manusia, Wida pun menghapus air mata dan membalas tatapan pria yang masih terpaku di tempatnya.

Pria itu berambut coklat tebal, tampak wajahnya begitu menawan walaupun penampilannya acak-acakan, karena ia baru saja bangun dari tidur. Kulitnya kuning Langsat dan pahatan wajah dari mulai hidung, mata,. Bibirnya dan dagu semua menjadi satu kesatuan yang sempurna.

Wida pun berdiri, “Bapak yang tinggal di sini?” tanyanya, sambil mengusap hidung dengan punggung tangan.

“Iya, kenapa memangnya?” Pria itu balik bertanya, ia adalah Wastra Adipura yang berdiri sambil berkacak pinggang dan menatap lawan bicaranya dengan intens. Sebagian tubuh kekarnya tertutup oleh dinding pembatas setinggi dada orang dewasa.

Wastra artinya adalah laut, ia sengaja membeli rumah itu karena menyukai lokasi, view dan suasana daerah yang baginya sangat menenangkan. Alasan lainnya adalah, membantu temannya yang membutuhkan uang untuk membayar utang, dengan membeli satu-satunya peninggalan orang tuanya.

Ia akan menggunakan rumah itu sebagai investasi dan juga tempat transit selama mengerjakan proyek, mencari ketenangan dan sebagainya.

Wida menggelengkan kepala, sambil memalingkan pandangan dari tatapan Wastra yang cukup aneh, kemudian ia menunduk.

“Tidak, tidak apa-apa ...,” kata Wida.

“Kalau nangis jangan di situ, gak malu apa?” kata pria itu lagi.

Wastra baru saja tiba di rumah batunya itu dan langsung membereskan pakaian di lemari. Setelah selesai, ia berniat untuk segera istirahat karena perjalanan selama sekian jam dengan pesawat udara itu sangat melelahkan. Namun, belum sempat memejamkan mata, ia mendengar kegaduhan dari tetangga yang membuatnya kesal, lalu ke luar untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan tetangganya.

“Biasanya juga tidak ada orang di sini,” batin Wida, ia merasakan pipinya hangat, karena malu dan mengakui kalau kejadian tadi memang mengganggu.

“Maaf, maafkan saya, Pak!” kata Wida sambil membungkukkan badannya, guna menghindari tatapan Wastra.

“Kamu kenapa? Kena marah Ibumu? Berisik, tahu!”

“Maaf sekali lagi, Pak! Tapi, dia mertua bukan Ibu kandung saya!”

Wastra menarik salah satu sudut bibir sambil memalingkan muka, menyembunyikan raut wajah kecewa. Ia mengabaikan alasan Wida yang memberikan penjelasan mengapa bergaduh di teras samping rumahnya.

Begitu berada di luar tadi, Wastra terkejut melihat ada seorang wanita menangis sambil berjongkok, dan ia lebih terkejut lagi saat melihat gadis itu mengangkat kepala, hingga mereka saling bertatapan satu sama lain selama beberapa detik. Ia begitu terpukau pada wajah perempuan yang bersimbah air mata di hadapannya.

Wanita itu sangat menarik di matanya, berwajah tirus dan tatapan mata lentiknya lembut, seolah danau yang dalam serta siap menenggelamkan siapa pun yang lebih lama menatapnya. Ia memiliki postur tubuh ideal dan berkulit putih dibalik pakaian yang menutupi auratnya.

“Kau? Kau masih hidup?” tanya Wastra dengan gugup dalam keterpanaan.

Wida mengerutkan kening karena tidak mengerti apa yang dikatakan Wastra. Jelas saja dirinya masih hidup.

Wajah Wida mengingatkan Wastra, pada seseorang dalam peristiwa mengerikan yang pernah menimpanya. Sudah tujuh tahun lebih Wastra mencari keberadaan wanita itu di mana pun, tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, baik keluarga dan dirinya sendiri dengan berat hati menganggap orang yang dicari sudah tidak ada lagi.

Namun, sekarang ia melihat wanita yang sedang menangis itu sangat mirip dengan orang yang dicarinya dahulu, dan tidak ingin dilupakan lagi.

“Apa maksud Bapak, saya memang masih hidup!” sahut Wida kesal karena dianggap sebagai orang mati.

“Ah! Sudahlah!” kata Wastra. Sesaat kemudian, ia mencoba untuk menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak tak beraturan.

“Apa bedanya? Mau ibu mertua atau ibu kandung itu sama saja!” kata pria itu lagi, sambil memutar badan dan menghilang di balik pintu yang tertutup secara perlahan.

“Benarkah itu dia? Dan dia sudah punya suami?” gumam Wastra pada dirinya sendiri, sambil menutup pintu rapat-rapat.

Bab terkait

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 2. Jangan Hamil

    Jangan HamilAda gurat kekecewaan yang dalam, terpercik secara jelas di wajahnya, setelah tahu bahwa wanita itu ternyata sudah memiliki pasangan. Hatinya yang semula berbunga-bunga kini menjadi layu seketika. Setelah berada di dalam rumahnya kembali, Wastra berdiri di dekat jendela, melihat ke arah Wida dari balik kaca, ia semakin terkejut ketika tiba-tiba ada seorang anak lelaki kecil yang, berusia sekitar dua tahun berlari memeluk wanita itu dan memanggilnya ibu. “Jadi, dia sudah punya anak juga?” tanyanya dalam hati, Wastra terlihat semakin kecewa. Meskipun begitu, ia tidak lantas beranjak dari tempatnya dan tetap melihat apa yang terjadi antara anak dan ibunya itu. “Mama!” panggil Wahyu sambil menangis, ia anak pertama Wida yang baru saja bangun dari tidurnya. Warsi yang semula berada di kamar segera melihat cucunya yang menangis, lalu wanita tua itu dengan terpaksa membuka kembali pintu yang semula dibanting, untuk mengantar sang cucu pada ibunya. “Urus anakmu yang benar jan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 3. Si Penggoda

    "Ibu ini bicaranya kok, seperti mau buat fitnah saja?” tanya Wida, ia heran dengan ucapan Warsi yang menyudutkan dirinya.“Iya, kan? Kamu tadi ngobrol lama sama laki-laki itu?” kata Warsi. “Ibu tidak usah begitu, deh. Saya tidak lama! Cuma tanya nama saja,” tandas Widati. “Halah! Dia juga bikin rengginang Ibu gosong, tambah bodoh aja istri kamu ini, Was! Kamu tahu, kan? Rengginang itu makanan kesukaan Ibu?” tanya Warsi. Wasis tidak berkomentar, tapi pandangan matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam pada istrinya. Ia meneguk air mineral yang diberikan oleh Wida dengan sikap acuh tak acuh. “Dia bilang lagi pusing, padahal itu cuma alasan saja karena malas kerja,” kata Warsi. “Astagfirullah!” kata Wida dalam hati. “Sudah, Bu, mengadunya? Mas Wasis biar makan dulu, ya Bu. Nanti dilanjut lagi ngomelnya, kalau sudah makan, kasihan ... anak ibu ini baru datang,” kata Wida lagi, sambil memegang tangan suaminya. “Kamu ini, Wid, tidak sopan sama orang tua, hakku sebagai ibu itu jauh le

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 4. Oleh-oleh Untukku

    Oleh-oleh Untukku“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!” “Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!” “Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi. Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu. Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk mengh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 5. Memikat Hati

    Tatapan Mata “Tapi, Mas ... kan, bisa cari pembantu buat bantuin aku ngurus rumah sebesar ini sendiri, sekarang aku lagi hamil terus terang aku tidak sanggup, Mas!” “Nah, makanya jangan hamil dulu ... sudah tahu repot kalau punya anak!” tandas Warsi dengan tatapan culas. “Terus, saya harus gimana Bu, apa bayi ini harus digugurkan dan saya jadi pembunuh gitu?” sahut Wida sambil menggelengkan kepalanya tidak terasa air mata kembali meleleh di pipinya, “Bu, saya ini menantu Ibu, bukan pembantu!” Warsi tidak menanggapi ucapan Wida dan ke luar dari kamar itu, dengan kesal disusul oleh Wasis yang juga pergi setelah memakai kaos oblong. “Jangan membantah Ibu terus, Wid! Kasian Ibu sudah tua!” kata Wasis sambil berlalu, membuat Wida tidak percaya kalau suaminya itu semakin hari semakin membela ibunya. Wida berdiri di dekat jendela sambil memandang keluar sesekali ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Ia tidak sadar ada orang lain yang melihat ke arah jendelanya, dengan tatapan r

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 14. Pertengkaran

    Pertengkaran “Aku bukan pelakor!” teriak Wisnaya, sambil memegangi kepalanya yang dijambak oleh Wardah, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dan kini tersungkur di teras.“Aku bukan pelakor!” Katanya lagi sambil menangis, ia terus menatap Wardah penuh iba. Namun, yang ditatap tidak juga merasa iba padanya. “Kamu masih berani bilang bukan pelakor? Hah!” kata Wardah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wisnaya dan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam karena marah dan dadanya terlihat turun naik secara cepat menandakan napasnya yang memburu karena berteriak keras.“Aku selama ini sudah baik padamu! Apa salahnya aku! Hah! Sampai kamu tega merebut suamiku?” kata Wardah lagi, kini Warsi sudah berdiri di belakangnya sambil memegang bahu anak perempuannya itu, untuk menenangkannya. “Saya tidak merebut Pak Wira, Bu! Pak Wira sendiri yang bilang pada saya kalau Ibu sudah tidak bisa melayani ...!” sahur Wisnaya sambil menangis. “Apa?” tanya Wardah tak percaya.Wida dan Warsi melihat semuanya

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 13. Pelakor VS Istri Sah

    Pelakor VS Istri Sah “Alhamdulillah, akhirnya dia jadi ke sini juga!” gumam Wida begitu selesai membaca pesan itu. Ia tampak semangat menyelesaikan pekerjaannya, dalam hati ia bersyukur karena ia tidak terlalu mengalami mual dan muntah. Pada kehamilannya kali ini, janin di rahimnya tidak terlalu rewel, sehingga ia bisa dengan leluasa bekerja tanpa banyak mengeluh. Namun, yang sedikit merepotkan adalah, ia harus mengasuh Wahyu kecil di samping menyelesaikan tugasnya itu. Wida akan kedatangan Wisnaya--temannya yang dulu pernah menjadi sahabat, ketika masih sekolah. Mereka sudah lama terpisah, tapi sekarang kembali berteman, setelah secara tidak sengaja dua wanita itu dipertemukan saat berbelanja di pasar. Beberapa bulan lalu mereka saling bertukar informasi tentang, kehidupan, pekerjaan dan tempat tinggal, hingga bertukar nomor telepon. Lebih dari dua jam Wida berkutat dengan pekerjaannya di dapur sampai selesai. Namun, ia benar-benar lega dan puas dengan hasil masakannya. Lalu, ia s

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 12. Menantu Lawan Mertua

    Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 11. Jangan Ikut Campur

    Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to

  • Memikat Hati Tetangga    Bukan Wanita Murahan

    Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar

  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

DMCA.com Protection Status