Home / Pernikahan / Memikat Hati Tetangga / Bab 4. Oleh-oleh Untukku

Share

Bab 4. Oleh-oleh Untukku

Author: Ara Angin
last update Last Updated: 2022-12-28 06:50:14

Oleh-oleh Untukku

“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!”

“Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!”

“Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi.

Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu.

Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk menghampiri suaminya, saat terdengar suara sepeda motor matic memasuki halaman.

“Mas Wasis udah pulang, ya? Mana oleh-olehnya!” teriak seorang wanita berpakaian kasual yang nyentrik dan modis, ia berjalan sambil melepaskan tas dan melemparnya di sofa begitu saja. Ia tahu kepulangan sang kakak, karena melihat kendaraan bermotornya terparkir di halaman depan rumah mereka.

Ia adalah Wuri Naisima, adik bungsu Wasis yang sekarang sedang menimba ilmu kedokteran semester kedua, di salah satu universitas terkenal di kota. Gadis itu langsung mengetuk pintu kamar kakaknya dengan keras.

Setiap kali Wasis pulang dari luar kota, oleh-oleh adalah hal yang paling dinantikannya, selain dari bonus uang tentunya.

Sementara Wida, lebih memilih untuk mengalah dari pada harus bertengkar, dengan saudara ipar yang pasti akan menguras energi. Ia membuka pintu kamar setelah memakai kerudung dan, melihat Wuri yang tersenyum sambil mengedarkan pandangan di kamar pribadi Kakaknya.

Wuri melihat Wasis sedang rebahan sambil melihat layar ponsel dan bertelanjang dada.

“Hai! Kak? Apa kalian mau melakukan anu, anu? Ini masih sore, lagi?” katanya tanpa sopan santun, sifat yang sudah dihafal oleh Wida, sebagai ciri khas keluarga suaminya.

“Memangnya kenapa kalau sore? Mau pagi, siang, malam juga boleh, kok!” Sahut Wida yang masih berdiri di dekat pintu.

Wuri mengabaikan Wida dan duduk di sisi tempat tidur sang kakak seraya bertanya, “Mas Wasis tidak lupa barang pesananku, kan?”

“Ada, aku simpan di tas,” kata Wasis tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar ponsel.

“Wuri pesan apa, Mas?” tanya Wida.

Wasis menoleh pada Wida, seraya bertanya, “Kamu tadi beresin isi tasku, kan? Pasti kamu lihat dompet dari enceng gondok warna putih, itu punya Wuri, kasihin sana!”

Wuri dan Wida seketika saling melempar pandangan, memperlihatkan rasa tidak sukanya masing-masing. Sejak mulai kuliah, Wuri mulai bertingkah sok berkuasa pada wanita yang menjadi saudara karena pernikahan kakaknya itu. Jadi, hubungan mereka yang memang kurang akrab, semakin buruk saja.

“Jadi, itu punya Wuri, Mas?” tanya Wida heran, ia memang menyimpan benda itu dan baru saja hendak mengucapkan terima kasih sebelum Wuri datang menggedor pintu kamar.

“Ya. Dia pesan sebelum berangkat, itu cinderamata khas daerah sana!” jawab Wasis tanpa rasa bersalah. Sementara Wuri terlihat mencibir padanya.

“Terus, oleh-oleh buat aku mana? Aku kira memang kamu beli buat aku, Mas!” kata Wida sambil berjalan ke lemari pakaian dan mengambil sebuah tas berwarna putih.

“Kamu nanti beli yang biasa saja, lagian buat apa tas seperti itu, kamu tidak mau pergi ke mana-mana, kan?” ujar Wasis.

Wida hanya mencebikkan bibirnya yang mungil saat mendengar ucapan suaminya, lalu memberikan tas kecil itu pada Wuri yang tersenyum puas. Ia merasa menang.

“Terima kasih ya, Mas!” kata Wuri, sambil menepuk pundak Wasis, lalu pergi setelah melirik sekilas pada, kakak iparnya.

Namun, tiba-tiba Wida merasa mual dan ingin muntah saat Wuri baru saja melintas di depannya, karena mencium aroma parfum adik iparnya yang, sudah bercampur dengan keringat. Ia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, padahal ia baru saja makan.

“Kamu kenapa, Mbak? Jijik sama aku sampai muntah? Keterlaluan kamu Mbak!” kata Wuri ketus. Ia sudah berdiri di pintu kamar mandi.

Wida menggelengkan kepalanya sambil terus muntah, Wasis ikut melihat istrinya yang masih menunduk di wastafel untuk mengeluarkan isi perutnya.

“Kamu masuk angin, Wid?” tanya Wasis yang berdiri di samping Wuri.

Wida diam saja sampai rasa mualnya hilang, setelah berkumur dan membersihkan mulutnya, barulah ia berkata sambil melihat dua orang yang, berdiri di depan pintu itu.

“Aku memang sering mual akhir-akhir ini, tapi bukan karena Wuri, aku hamil, Mas!” Wida terpaksa mengatakan tentang kehamilannya agar tidak terjadi salah paham di antara mereka. Ia mengambil alat tes yang baru saja dia gunakan tadi pagi yang disimpan dalam laci dan menunjukkannya pada Wasis.

“Jadi, kamu positif hamil? Wahyu masih kecil, masa sudah mau punya adik, sih?” kata Wasis sambil berjalan ke sana kemari dan mengacak rambutnya sendiri mirip orang bingung.

“Mbak Wida selama ini tidak minum pil KB atau pakai apa, gitu, biar tidak cepat hamil?” Wuri menimpali ucapan kakaknya.

Wida menggeleng lemah, ia tidak menyangka jika reaksi dua orang di depannya begitu aneh dengan kehamilannya. Memiliki anak adalah anugerah baginya demi mengingat saat ia harus mengorbankan kegiatan dan pekerjaannya agar bisa punya anak, dan tidak disangka mandul setelah empat tahun belum juga hamil.

Oleh karena itu, ia memilih tidak memakai alat kontrasepsi apa pun setelah melahirkan dan, terbukti ia tidak segera hamil. Sekarang Wahyu sudah berumur dua tahun, sebenarnya tidak masalah kalau ia punya anak lagi.

Wuri segera berjalan keluar dari kamar kakaknya lalu berteriak memanggil ibunya.

“Apa sih, kok, teriak-teriak?” kata Warsi saat ia sudah berhadapan dengan Wuri di ruang tengah.

“Masa, Mbak Wida hamil, Bu!” katanya sambil melirik Wahyu yang sedang bermain di depan televisi.

“Apa? Kan Wahyu masih kecil, mana dia?” sahut Warsi sambil berjalan ke dalam kamar anak dan menantunya, seraya berkata, “bener kamu hamil, Wid? Kamu tidak kasihan apa sama Wahyu, masih kecil gitu sudah dikasih adik lagi?”

“Bu, bukan salah saya, kita harus bersyukur, kan? Mas, Allah sudah mempercayai kita lagi untuk punya anak!” seru Wida sambil memegang tangan suaminya.

“Bener kata Ibu, Wahyu masih kecil kenapa kamu tidak pakai alat KB saja?”

“Mas, aku tidak pakai alat kontrasepsi saja, lama baru bisa hamil lagi, apalagi aku pakai alat seperti itu bisa lebih lama, kalau orang lain mungkin sudah punya anak banyak dalam waktu enam tahun kalau tidak pakai alat itu!” Wida menjelaskan alasannya pada suami dan ibu mertuanya, berharap mereka bisa mengerti dan menerima kehamilannya.

“Terserah kamu saja kalau begitu, kamu yang hamil kamu yang melahirkan dan kamu juga yang repot sendiri, harus ngurus ini dan itu juga sendiri padahal Wahyu masih kecil!” kata Wasis, terkesan tidak peduli.

Related chapters

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 5. Memikat Hati

    Tatapan Mata “Tapi, Mas ... kan, bisa cari pembantu buat bantuin aku ngurus rumah sebesar ini sendiri, sekarang aku lagi hamil terus terang aku tidak sanggup, Mas!” “Nah, makanya jangan hamil dulu ... sudah tahu repot kalau punya anak!” tandas Warsi dengan tatapan culas. “Terus, saya harus gimana Bu, apa bayi ini harus digugurkan dan saya jadi pembunuh gitu?” sahut Wida sambil menggelengkan kepalanya tidak terasa air mata kembali meleleh di pipinya, “Bu, saya ini menantu Ibu, bukan pembantu!” Warsi tidak menanggapi ucapan Wida dan ke luar dari kamar itu, dengan kesal disusul oleh Wasis yang juga pergi setelah memakai kaos oblong. “Jangan membantah Ibu terus, Wid! Kasian Ibu sudah tua!” kata Wasis sambil berlalu, membuat Wida tidak percaya kalau suaminya itu semakin hari semakin membela ibunya. Wida berdiri di dekat jendela sambil memandang keluar sesekali ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Ia tidak sadar ada orang lain yang melihat ke arah jendelanya, dengan tatapan r

    Last Updated : 2022-12-28
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

    Last Updated : 2023-02-02
  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

    Last Updated : 2023-02-04
  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

    Last Updated : 2023-02-05
  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

    Last Updated : 2023-02-05
  • Memikat Hati Tetangga    Bukan Wanita Murahan

    Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar

    Last Updated : 2023-02-07
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 11. Jangan Ikut Campur

    Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to

    Last Updated : 2023-04-05
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 12. Menantu Lawan Mertua

    Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a

    Last Updated : 2023-04-06

Latest chapter

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 14. Pertengkaran

    Pertengkaran “Aku bukan pelakor!” teriak Wisnaya, sambil memegangi kepalanya yang dijambak oleh Wardah, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dan kini tersungkur di teras.“Aku bukan pelakor!” Katanya lagi sambil menangis, ia terus menatap Wardah penuh iba. Namun, yang ditatap tidak juga merasa iba padanya. “Kamu masih berani bilang bukan pelakor? Hah!” kata Wardah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wisnaya dan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam karena marah dan dadanya terlihat turun naik secara cepat menandakan napasnya yang memburu karena berteriak keras.“Aku selama ini sudah baik padamu! Apa salahnya aku! Hah! Sampai kamu tega merebut suamiku?” kata Wardah lagi, kini Warsi sudah berdiri di belakangnya sambil memegang bahu anak perempuannya itu, untuk menenangkannya. “Saya tidak merebut Pak Wira, Bu! Pak Wira sendiri yang bilang pada saya kalau Ibu sudah tidak bisa melayani ...!” sahur Wisnaya sambil menangis. “Apa?” tanya Wardah tak percaya.Wida dan Warsi melihat semuanya

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 13. Pelakor VS Istri Sah

    Pelakor VS Istri Sah “Alhamdulillah, akhirnya dia jadi ke sini juga!” gumam Wida begitu selesai membaca pesan itu. Ia tampak semangat menyelesaikan pekerjaannya, dalam hati ia bersyukur karena ia tidak terlalu mengalami mual dan muntah. Pada kehamilannya kali ini, janin di rahimnya tidak terlalu rewel, sehingga ia bisa dengan leluasa bekerja tanpa banyak mengeluh. Namun, yang sedikit merepotkan adalah, ia harus mengasuh Wahyu kecil di samping menyelesaikan tugasnya itu. Wida akan kedatangan Wisnaya--temannya yang dulu pernah menjadi sahabat, ketika masih sekolah. Mereka sudah lama terpisah, tapi sekarang kembali berteman, setelah secara tidak sengaja dua wanita itu dipertemukan saat berbelanja di pasar. Beberapa bulan lalu mereka saling bertukar informasi tentang, kehidupan, pekerjaan dan tempat tinggal, hingga bertukar nomor telepon. Lebih dari dua jam Wida berkutat dengan pekerjaannya di dapur sampai selesai. Namun, ia benar-benar lega dan puas dengan hasil masakannya. Lalu, ia s

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 12. Menantu Lawan Mertua

    Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 11. Jangan Ikut Campur

    Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to

  • Memikat Hati Tetangga    Bukan Wanita Murahan

    Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar

  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

DMCA.com Protection Status