Share

Bab 3. Si Penggoda

Penulis: Ara Angin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ibu ini bicaranya kok, seperti mau buat fitnah saja?” tanya Wida, ia heran dengan ucapan Warsi yang menyudutkan dirinya.

“Iya, kan? Kamu tadi ngobrol lama sama laki-laki itu?” kata Warsi.

“Ibu tidak usah begitu, deh. Saya tidak lama! Cuma tanya nama saja,” tandas Widati.

“Halah! Dia juga bikin rengginang Ibu gosong, tambah bodoh aja istri kamu ini, Was! Kamu tahu, kan? Rengginang itu makanan kesukaan Ibu?” tanya Warsi.

Wasis tidak berkomentar, tapi pandangan matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam pada istrinya. Ia meneguk air mineral yang diberikan oleh Wida dengan sikap acuh tak acuh.

“Dia bilang lagi pusing, padahal itu cuma alasan saja karena malas kerja,” kata Warsi.

“Astagfirullah!” kata Wida dalam hati.

“Sudah, Bu, mengadunya? Mas Wasis biar makan dulu, ya Bu. Nanti dilanjut lagi ngomelnya, kalau sudah makan, kasihan ... anak ibu ini baru datang,” kata Wida lagi, sambil memegang tangan suaminya.

“Kamu ini, Wid, tidak sopan sama orang tua, hakku sebagai ibu itu jauh lebih besar dari hakmu! Tahu?” kata Warsi lagi, sambil melirik pada menantunya dengan sengit.

Tanpa mengindahkan Warsi, Wida mengiringi langkah suaminya ke meja makan, sambil menggendong Wahyu. Lalu, mengambil beberapa makanan yang berhasil dia masak hari ini, ke dalam piring yang sudah ia siapkan untuk suami dan anaknya.

Saat mereka sedang menikmati makanan, Wardan—adik laki-laki dari Wasis, datang dan langsung menuju ke meja makan tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu. Bahkan, laki-laki itu melewati ibunya begitu saja.

Wardan seorang pengangguran, setelah tamat kuliah ia langsung bekerja tapi, hanya bertahan selama tiga tahun. Baru beberapa bulan yang lalu ia keluar dari pekerjaannya dengan alasan bosan. Meskipun begitu, ia selalu pergi setiap hari seperti orang sibuk yang jarang ada di rumah.

“Kamu ini, War! Kebiasaan, langsung makan tanpa cuci tangan, kalau dari mana-mana itu jangan langsung makan, cuci tangan dulu sana!” Wida berkata sambil menyuapi nasi pada Wahyu dan ke mulutnya sendiri.

“Mbak yang cuci tangan aku dong! Aku pasti mau dengan senang hati,” kelakar Wardan membuat Wida merasa kesal, sudah sangat sering laki-laki itu menggodanya, tanpa malu-malu di depan ibu dan juga kakaknya.

Sebenarnya Wida sangat risi, tetapi baik Wasis maupun Warsi menganggapnya hal yang biasa.

“Kamu, kan bisa cuci tangan sendiri kenapa harus aku, sih?” Wida berkata dengan nada ketus sedangkan Wasis tetap sibuk makan sendiri.

“Kan, sudah aku bilang tadi, kalau Mbak Wida yang nyuci, aku baru mau ... tapi, kalau tidak mau ya, sudah! Aku makan saja!” seru Wardan tanpa basa-basi.

“Terserah!” Hanya itu yang bisa diucapkan Wida, ia terus menyuapi Wahyu yang makan dengan lahap. Anak itu mengunyah sambil mengoceh tapi, kata-kata yang dikeluarkannya tidak jelas.

“Eeh Jagoan! Om mau disuapin juga nih, masa kamu terus?” kata Wardan sambil melirik Wida dan tersenyum genit.

Warsi yang mendengar kelakar anak keduanya itu, melangkah ke meja makan, ia duduk di samping Wardan lalu menepuk pundak anak keduanya dengan keras.

“Hus! Kamu ini, War! Jangan ganggu Mbakmu terus! Bisa-bisa gede kepala dia karena banyak laki-laki yang goda, kayak sudah paling cantik saja!” Warsi berkata sambil melirik Wida sekilas.

“Memang siapa lagi yang suka goda Mbak Wida selain aku?” tanya Wardan terkesan cemburu.

“Ada ... tetangga baru!” kata Warsi ketus.

“Memang kita punya tetangga baru, siapa gitu, Bu?” tanya Wardan, sambil menoleh pada ibunya.

“Ya. Sana, tanya sama Mbakmu itu, dia yang sudah ngobrol banyak sama orang itu!” kata Warsi, membuat Wida semakin kesal, karena ia tidak mengetahui banyak hal tentang tetangganya itu.

“Astagfirullah, Bu! Saya tidak tahu apa-apa soal tetangga kita, saya cuman tahu namanya saja!” sahut Wida.

“Siapa namanya?” tanya Wardan.

“Mana saya tahu, saya lupa!” jawab Wida.

“Eeh! Tadi bilangnya tahu namanya? Gimana sih, Mbak?” kata Wardan sambil berdiri dari duduknya, ia hendak menyambangi tetangga mereka, karena mendengar ucapan ibunya jika orang itu sudah menggoda Wida.

“Kamu mau ke mana, War? Kan, belum habis makannya?” tanya Warsi setelah melihat anak lelaki keduanya itu pergi.

“Ke tempat tetangga!” jawab Wardan datar.

Wasis menyelesaikan makan, tanpa banyak bicara, lalu pergi ke kamar mandi dengan mengabaikan semua yang terjadi di hadapannya tanpa komentar apa-apa. Wida membersihkan mulut Wahyu, karena anak itu pun sudah selesai makan dan membiarkannya bermain di depan televisi yang menyala.

Wida membereskan bekas makan dan membersihkan meja, setelah itu, ia bicara pada ibu mertuanya yang masih duduk sambil makan rengginang kesukaannya.

“Ibu, bisa tidak, sih? Kalau bicara itu dipikir dahulu baik dan buruknya, benar atau tidaknya? Kita ini diberi modal dasar berupa tubuh, pikiran dan hati nurani, untuk digunakan saat bertindak dan bicara, karena semua bakal ada hisabnya, apalagi Ibu sudah tua, jangan asal bicara, Bu." Wida berkata penuh kelembutan, sambil mengusap punggung Warsi yang duduk di sampingnya.

“Apa maksud kamu, Wid? Memangnya kenapa kalau Ibu sudah tua, terus masalahnya apa? Semua yang Ibu bicarakan itu benar! Aku ini tidak pernah salah kalau ngomong!” Ujar Warsi membantah semua nasihat Wida pada dirinya.

“Bu, yang Ibu bilang kalau saya digoda itu salah, kalau saya ngobrol lama sama tetangga itu juga salah ... Ibu ini sadar tidak? Kalau ucapan itu bisa bikin orang salah paham!”

“Halahh! Kamu ini sok suci dari dulu, padahal kamu ini siapa? Kalau bukan karena anakku, tidak ada laki-laki yang mau sama kamu!” Warsi pergi setelah mengucapkan kata-kata yang paling tidak disukai Wida.

Wanita itu ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Wasis—suaminya dahulu, ia adalah seorang penari tradisional yang sering diminta untuk tampil dalam berbagai acara baik resmi maupun tidak resmi di daerahnya.

Pada suatu hari, ia berkesempatan membawakan sebuah tarian tradisional khas salah satu suku, sebagai penyambutan kepala daerah yang datang berkunjung. Saat itulah ia berkenalan dengan Wasis, sebagai salah satu pegawai sipil pemerintah yang terlibat dalam acara itu.

Hubungan mereka pun berjalan dengan baik dan langgeng, apalagi mereka kemudian terlibat dalam beberapa acara yang sama, membuat mereka semakin akrab.

Wida sebagai pemilik Pesanggrahan tari tradisional yang cukup terkenal, sering diminta Wasis, untuk mengisi atau mengutus murid dan binaannya, mempersembahkan tarian di berbagai acara. Bahkan, mereka sering pergi berdua untuk menjalankan agenda bersama.

Dari seringnya bertemu itulah, akhirnya timbul cinta di antara mereka. Tidak lama setelah mantap dengan perasaan yang ada, mereka sepakat untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih serius. Apalagi sudah menemukan kecocokan dan kenyamanan di hati masing-masing, hingga wajar bila kemudian mereka menikah.

Wasis bekerja menjadi pegawai negeri di kantor kepegawaian pemerintahan yang, sering terlibat dalam agenda kunjungan ke luar kota yang dilakukan oleh pemimpin daerahnya.

Oleh karena itu, setiap kali pergi ke luar kota, ia bisa menginap sampai dua atau tiga hari lamanya. Semua dilakukan untuk kelancaran acara sang pimpinan ke berbagai tempat yang sudah direncanakan sebelumnya.

“Wasis ..., kamu serius mau memperistri seorang penari seperti dia?” kata Warsi saat bertemu pertama kali dengan calon menantunya.

Bab terkait

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 4. Oleh-oleh Untukku

    Oleh-oleh Untukku“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!” “Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!” “Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi. Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu. Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk mengh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 5. Memikat Hati

    Tatapan Mata “Tapi, Mas ... kan, bisa cari pembantu buat bantuin aku ngurus rumah sebesar ini sendiri, sekarang aku lagi hamil terus terang aku tidak sanggup, Mas!” “Nah, makanya jangan hamil dulu ... sudah tahu repot kalau punya anak!” tandas Warsi dengan tatapan culas. “Terus, saya harus gimana Bu, apa bayi ini harus digugurkan dan saya jadi pembunuh gitu?” sahut Wida sambil menggelengkan kepalanya tidak terasa air mata kembali meleleh di pipinya, “Bu, saya ini menantu Ibu, bukan pembantu!” Warsi tidak menanggapi ucapan Wida dan ke luar dari kamar itu, dengan kesal disusul oleh Wasis yang juga pergi setelah memakai kaos oblong. “Jangan membantah Ibu terus, Wid! Kasian Ibu sudah tua!” kata Wasis sambil berlalu, membuat Wida tidak percaya kalau suaminya itu semakin hari semakin membela ibunya. Wida berdiri di dekat jendela sambil memandang keluar sesekali ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Ia tidak sadar ada orang lain yang melihat ke arah jendelanya, dengan tatapan r

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bukan Wanita Murahan

    Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Memikat Hati Tetangga    Bab 11. Jangan Ikut Campur

    Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 14. Pertengkaran

    Pertengkaran “Aku bukan pelakor!” teriak Wisnaya, sambil memegangi kepalanya yang dijambak oleh Wardah, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dan kini tersungkur di teras.“Aku bukan pelakor!” Katanya lagi sambil menangis, ia terus menatap Wardah penuh iba. Namun, yang ditatap tidak juga merasa iba padanya. “Kamu masih berani bilang bukan pelakor? Hah!” kata Wardah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wisnaya dan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam karena marah dan dadanya terlihat turun naik secara cepat menandakan napasnya yang memburu karena berteriak keras.“Aku selama ini sudah baik padamu! Apa salahnya aku! Hah! Sampai kamu tega merebut suamiku?” kata Wardah lagi, kini Warsi sudah berdiri di belakangnya sambil memegang bahu anak perempuannya itu, untuk menenangkannya. “Saya tidak merebut Pak Wira, Bu! Pak Wira sendiri yang bilang pada saya kalau Ibu sudah tidak bisa melayani ...!” sahur Wisnaya sambil menangis. “Apa?” tanya Wardah tak percaya.Wida dan Warsi melihat semuanya

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 13. Pelakor VS Istri Sah

    Pelakor VS Istri Sah “Alhamdulillah, akhirnya dia jadi ke sini juga!” gumam Wida begitu selesai membaca pesan itu. Ia tampak semangat menyelesaikan pekerjaannya, dalam hati ia bersyukur karena ia tidak terlalu mengalami mual dan muntah. Pada kehamilannya kali ini, janin di rahimnya tidak terlalu rewel, sehingga ia bisa dengan leluasa bekerja tanpa banyak mengeluh. Namun, yang sedikit merepotkan adalah, ia harus mengasuh Wahyu kecil di samping menyelesaikan tugasnya itu. Wida akan kedatangan Wisnaya--temannya yang dulu pernah menjadi sahabat, ketika masih sekolah. Mereka sudah lama terpisah, tapi sekarang kembali berteman, setelah secara tidak sengaja dua wanita itu dipertemukan saat berbelanja di pasar. Beberapa bulan lalu mereka saling bertukar informasi tentang, kehidupan, pekerjaan dan tempat tinggal, hingga bertukar nomor telepon. Lebih dari dua jam Wida berkutat dengan pekerjaannya di dapur sampai selesai. Namun, ia benar-benar lega dan puas dengan hasil masakannya. Lalu, ia s

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 12. Menantu Lawan Mertua

    Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 11. Jangan Ikut Campur

    Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to

  • Memikat Hati Tetangga    Bukan Wanita Murahan

    Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar

  • Memikat Hati Tetangga    Ingin Ikut Campur

    Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me

  • Memikat Hati Tetangga    Klinik Bersalin

    Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas

  • Memikat Hati Tetangga    Dia Punya Otak Juga

    Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak

  • Memikat Hati Tetangga    Bab 6. Memikat Hati Tetangga

    Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere

DMCA.com Protection Status