Jangan Hamil
Ada gurat kekecewaan yang dalam, terpercik secara jelas di wajahnya, setelah tahu bahwa wanita itu ternyata sudah memiliki pasangan. Hatinya yang semula berbunga-bunga kini menjadi layu seketika.Setelah berada di dalam rumahnya kembali, Wastra berdiri di dekat jendela, melihat ke arah Wida dari balik kaca, ia semakin terkejut ketika tiba-tiba ada seorang anak lelaki kecil yang, berusia sekitar dua tahun berlari memeluk wanita itu dan memanggilnya ibu.“Jadi, dia sudah punya anak juga?” tanyanya dalam hati, Wastra terlihat semakin kecewa. Meskipun begitu, ia tidak lantas beranjak dari tempatnya dan tetap melihat apa yang terjadi antara anak dan ibunya itu.“Mama!” panggil Wahyu sambil menangis, ia anak pertama Wida yang baru saja bangun dari tidurnya.Warsi yang semula berada di kamar segera melihat cucunya yang menangis, lalu wanita tua itu dengan terpaksa membuka kembali pintu yang semula dibanting, untuk mengantar sang cucu pada ibunya.“Urus anakmu yang benar jangan malas kalau jadi Ibu, baru punya anak satu sudah repot begitu, sampai masak kerupuk saja gosong! Apalagi kalau punya anak banyak! Awas, jangan sampai kamu hamil lagi, kalau belum bisa mengurus kerjaan rumahmu sendiri!”“Tapi, Bu ...!”“Tidak ada tapi-tapian! Pokonya jangan hamil lagi kalau Wahyu belum sekolah dan mandiri! Bisa repot aku nanti!”“Kalau harus menunggu sampai anakku dewasa dan mandiri, mau sampai kapan aku bisa hamil lagi?” batin Wida dalam hati karena ia ingin punya anak perempuan.“Ya. Saya tidak akan merepotkan Ibu soal mengurus anak-anak, Ibu tidak usaha kuatir, lagian ada Wuri, nanti dia bisa bantuin kerjaan rumah?” Wida berkata demi membela diri dan menyebut nama adik ipar perempuannya yang, bisa membantu dalam pekerjaan sehari-hari di rumah.“Eh! Kamu ini selalu saja bilang minta bantuan Wuri—adikmu itu masih kuliah! Dia itu calon dokter! Jadi, dia tidak bisa bantu kamu kerja di rumah, dia itu sibuk! Kalau dia harus masak juga, terus buat apa kamu di sini cuma numpang makan sama tidur? Enak saja!”Mendengar ucapan ibu mertuanya, hati Wida terluka, karena saat ini ia sedang mengandung anak kedua. Ia pun bimbang untuk mengatakan tentang kehamilannua pada Wasis, karena khawatir kalau tahu dirinya hamil, maka, Warsi justru akan semakin membencinya.Wida termasuk wanita yang sulit untuk hamil, bahkan sebelum kehadiran Wahyu, ia sempat keguguran sebanyak tiga kali, karena terlalu lelah dan sibuk dalam berbagai kegiatan. Ia baru bisa hamil dan mempunyai anak, setelah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saat itu pernikahannya dengan Wasis menginjak empat tahun.Ketika mengetahui dirinya hamil untuk kedua kalinya, Wida begitu senang karena tidak menyangka Tuhan akan memberikan momongan dalam waktu singkat, tepat setelah ia selesai menyapih Wahyu sebulan yang lalu.Wahyu merengek dan ia menjadi lebih manja, karena tidak lagi menyusu pada ibunya. Anak itu masih menangis walau sudah digendong.Tidak sama dengan saat masih memberi ASI, Wida akan lebih mudah menenangkan sebab hanya perlu memberikan salah satu sumber kehidupan di dadanya. Namun, sekarang anak itu suka minta jajan, baru bisa tenang.“Sayang ... masih ngantuk? Bubuk lagi, yuk!” kata Wida saat membujuk anaknya yang masih menangis sedangkan Warsi sudah kembali ke kamarnya. Namun, Wahyu tidak berhenti bahkan tangisannya semakin keras.“Hai!” suara seorang lelaki yang rupanya kembali keluar rumah karena terusik oleh suara tangisan anak tetangga, “mau ini? Enak, loh,” katanya lagi.Seketika Wida dan Wahyu menoleh, melihat ke arah Wastra yang mengacungkan sebungkus besar camilan keripik kentang kesukaan anak-anak pada umumnya. Anak itu menoleh pada ibunya sebentar lalu, mengangguk dan mengulurkan tangannya.“Nih! Ambil buat anakmu biar tidak menangis, berisik!” Wastra berkata sambil mendekat ke tembok pembatas, ia tersenyum lucu pada Wahyu.Wida mau tidak mau berjalan menghampirinya, dan anak itu menerima pemberian Wastra dengan malu-malu.“Bilang apa sama Om-nya, terima kasih, Om!” kata Wida, ia mengajari sopan santun sekaligus mengucapkan terima kasih secara tidak langsung pada Wastra.Anak kecil itu belum bisa banyak bicara dan baru mengucapkan beberapa patah kata saja, hingga ia hanya mengangguk sambil mengucapkan ocehan yang tidak jelas. Lalu, turun dari gendongan ibunya.“Terima kasih, Pak!” kata Wida, sebelum berlalu dari tempat itu.“Wastra Adipura!” kata Wastra memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya dari atas tembok pembatas rumahnya. Wida mengangguk dan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, sambil tersenyum ramah.“Widati Ainun! Panggil saja Wida!” sahut wanita itu dan bertanya, “Bapak tinggal sendiri?”Pertanyaan Wida membuat kening Wastra berkerut karena tiba-tiba teringat akan istrinya.“Ya. Sa—“ belum sempat Wastra melanjutkan bicara, ia melihat sebuah sepeda motor bergerak memasuki halaman, setelah pengendaranya mendorong pintu gerbang yang tidak terkunci dengan perlahan.Wida pun melihat ke arah di mana seorang pria sedang memarkirkan motor di teras depan rumah. Ia segera meninggalkan Wastra.“Permisi ya, Pak! Saya tinggal dulu, suami saya pulang,” kata wanita itu.Lalu, Wida menghampiri Wasis, suaminya yang baru datang dari luar kota. Ia mencium punggung tangan pria itu takzim, lalu menutup kembali pintu pagar rumah mereka.Wida tidak melakukan kesalahan, tetapi ia tidak enak pada Wasis yang melihatnya sedang bincang dengan laki-laki lain, seperti orang yang ketahuan tengah mencuri barang.“Papa!” teriak Wahyu melihat Wasis yang sudah turun dari motor besarnya. Anak itu bersorak riang menyambut kedatangan ayahnya.“Alhamdulillah, Papa sudah pulang!” kata Wida sambil menggandeng tangan anaknya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.Wasis membuka helm, mengusap kepala Wahyu tanpa berkata-kata. Maksud hati ingin menyapa laki-laki yang tadi berbincang dengan Wida. Namun, saat ia mematikan mesin motor, pria itu sudah tidak berdiri di tempatnya.“Siapa itu tadi?” tanya Wasis, seraya menatap Wida dengan tatapan menyelidik, sambil melepaskan tas, jaket dan sepatunya. Lalu, ia duduk bersandar di ruang tengah, tempat di mana televisi besar berada. Wajahnya menunjukkan kelelahan.“Tetangga baru, Mas, baru juga lihat hari ini,” kata Wida sambil membereskan jaket dan tas yang berisi pakaian kotor sang suami di atas sofa.“Kamu ngobrol apa tadi sama dia?” tanya Wasis, ada rasa tidak suka dari nada bicaranya.“Tidak ngobrol apa-apa, cuma bilang terima kasih, terus kenalan, dia sudah ngasih Wahyu makanan. Itu saja.” Wida bicara sambil melirik anaknya yang tengah asyik menikmati makanan sambil duduk di lantai.“Mas, makan dulu, pasti bel—“ ucapan Wida terputus saat ibu mertuanya tiba-tiba muncul dan duduk di samping Wasis.“Kamu jangan percaya sama istrimu itu, Was, aku lihat dia tadi ngobrol lama kok, sama tetangga baru itu! Tidak mungkin kalau cuma kenalan sama bilang terima kasih saja,” kata Warsi dengan antusias.Wida tidak mengerti maksud dari pembicaraan Ibu mertuanya itu. Ia yang hendak menyiapkan makan siang pun menghentikan kegiatannya dan kembali ke ruang tengah, ia berdiri di hadapan ibu mertua dan suaminya.“Benar kok, Bu. Saya tidak ngobrol apa-apa sama dia!”“Apa benar itu, Wid?” Wasis bertanya dengan suara keras sambil menegakkan punggungnya."Ibu ini bicaranya kok, seperti mau buat fitnah saja?” tanya Wida, ia heran dengan ucapan Warsi yang menyudutkan dirinya.“Iya, kan? Kamu tadi ngobrol lama sama laki-laki itu?” kata Warsi. “Ibu tidak usah begitu, deh. Saya tidak lama! Cuma tanya nama saja,” tandas Widati. “Halah! Dia juga bikin rengginang Ibu gosong, tambah bodoh aja istri kamu ini, Was! Kamu tahu, kan? Rengginang itu makanan kesukaan Ibu?” tanya Warsi. Wasis tidak berkomentar, tapi pandangan matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam pada istrinya. Ia meneguk air mineral yang diberikan oleh Wida dengan sikap acuh tak acuh. “Dia bilang lagi pusing, padahal itu cuma alasan saja karena malas kerja,” kata Warsi. “Astagfirullah!” kata Wida dalam hati. “Sudah, Bu, mengadunya? Mas Wasis biar makan dulu, ya Bu. Nanti dilanjut lagi ngomelnya, kalau sudah makan, kasihan ... anak ibu ini baru datang,” kata Wida lagi, sambil memegang tangan suaminya. “Kamu ini, Wid, tidak sopan sama orang tua, hakku sebagai ibu itu jauh le
Oleh-oleh Untukku“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!” “Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!” “Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi. Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu. Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk mengh
Tatapan Mata “Tapi, Mas ... kan, bisa cari pembantu buat bantuin aku ngurus rumah sebesar ini sendiri, sekarang aku lagi hamil terus terang aku tidak sanggup, Mas!” “Nah, makanya jangan hamil dulu ... sudah tahu repot kalau punya anak!” tandas Warsi dengan tatapan culas. “Terus, saya harus gimana Bu, apa bayi ini harus digugurkan dan saya jadi pembunuh gitu?” sahut Wida sambil menggelengkan kepalanya tidak terasa air mata kembali meleleh di pipinya, “Bu, saya ini menantu Ibu, bukan pembantu!” Warsi tidak menanggapi ucapan Wida dan ke luar dari kamar itu, dengan kesal disusul oleh Wasis yang juga pergi setelah memakai kaos oblong. “Jangan membantah Ibu terus, Wid! Kasian Ibu sudah tua!” kata Wasis sambil berlalu, membuat Wida tidak percaya kalau suaminya itu semakin hari semakin membela ibunya. Wida berdiri di dekat jendela sambil memandang keluar sesekali ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Ia tidak sadar ada orang lain yang melihat ke arah jendelanya, dengan tatapan r
Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere
Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak
Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas
Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me
Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar
Pertengkaran “Aku bukan pelakor!” teriak Wisnaya, sambil memegangi kepalanya yang dijambak oleh Wardah, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dan kini tersungkur di teras.“Aku bukan pelakor!” Katanya lagi sambil menangis, ia terus menatap Wardah penuh iba. Namun, yang ditatap tidak juga merasa iba padanya. “Kamu masih berani bilang bukan pelakor? Hah!” kata Wardah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wisnaya dan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam karena marah dan dadanya terlihat turun naik secara cepat menandakan napasnya yang memburu karena berteriak keras.“Aku selama ini sudah baik padamu! Apa salahnya aku! Hah! Sampai kamu tega merebut suamiku?” kata Wardah lagi, kini Warsi sudah berdiri di belakangnya sambil memegang bahu anak perempuannya itu, untuk menenangkannya. “Saya tidak merebut Pak Wira, Bu! Pak Wira sendiri yang bilang pada saya kalau Ibu sudah tidak bisa melayani ...!” sahur Wisnaya sambil menangis. “Apa?” tanya Wardah tak percaya.Wida dan Warsi melihat semuanya
Pelakor VS Istri Sah “Alhamdulillah, akhirnya dia jadi ke sini juga!” gumam Wida begitu selesai membaca pesan itu. Ia tampak semangat menyelesaikan pekerjaannya, dalam hati ia bersyukur karena ia tidak terlalu mengalami mual dan muntah. Pada kehamilannya kali ini, janin di rahimnya tidak terlalu rewel, sehingga ia bisa dengan leluasa bekerja tanpa banyak mengeluh. Namun, yang sedikit merepotkan adalah, ia harus mengasuh Wahyu kecil di samping menyelesaikan tugasnya itu. Wida akan kedatangan Wisnaya--temannya yang dulu pernah menjadi sahabat, ketika masih sekolah. Mereka sudah lama terpisah, tapi sekarang kembali berteman, setelah secara tidak sengaja dua wanita itu dipertemukan saat berbelanja di pasar. Beberapa bulan lalu mereka saling bertukar informasi tentang, kehidupan, pekerjaan dan tempat tinggal, hingga bertukar nomor telepon. Lebih dari dua jam Wida berkutat dengan pekerjaannya di dapur sampai selesai. Namun, ia benar-benar lega dan puas dengan hasil masakannya. Lalu, ia s
Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a
Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to
Bukan Wanita Murahan"Kenapa Bapak masih ada di sini?” Tanya Wida heran. Langkahnya terhenti karena pintu mobil Wastra yang terbuka, menghalangi di hadapannya sedangkan laki-laki itu masih duduk di belakang kemudi. Namun, tatapan matanya lurus hingga terpaut satu sama lain“Ya, nunggu kamu, lah! Kasian kalau kamu harus jalan ke pasar sambil bawa anak, mana panas banget lagi!”“Nggak apa-apa kok, Pak!”Wida berusaha menolak dan ia akan berjalan melewati pintu mobil itu, tapi dengan cekatan Wastra menjalankan mobilnya hingga kembali berada di hadapan Wida, membuat wanita itu tak berkutik.“Wida ... enakkan diantarin aku!”Melihat keraguan dalam tatapannya, Wastra pun kembali bicara, “Aku nggak sibuk, Kok, ayo naik! Panas di luar!”Mau tidak mau Weda mengikuti keinginan laki-laki itu dan duduk di mobil, sambil memangku anaknya.Benar saja apa kata Wastra, setelah masuk ke dalam suasana mobil itu dingin dan sejuk hingga tidak terasa panas lagi.Tanpa banyak bicara Wastra mengantar
Ingin Ikut CampurWida melihat pria itu tulus, tapi ia tidak mungkin menerima bantuannya begitu saja, mengingat mereka baru saja saling mengenal. Apalagi, ia tidak enak bila dilihat tetangga atau Ibu mertuanya.Wida menengok ke belakang ke arah rumah yang tertutup, sebelum ia menjawab, “Terima kasih, Pak! Tidak usah, saya bisa pergi sendiri kok!”“Kamu mau naik apa dan mau ke mana?” tanya Wastra lagi, kali ini pria itu turun dari mobilnya.Wida merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Wastra yang terkesan ingin ikut campur urusan pribadinya. Wanita itu pun memilih memalingkan muka dan melihat ke arah jalanan yang sepi, tidak ada angkot akan lewat di kejauhan sana.Saat Wastra sudah berdiri tepat di samping Wida, ia pun berkata, “Jangan kuatir, aku nggak akan minta ongkos kok! Jadi, nggak masalah, kan? Kebetulan saya nyantai.” Wastra berkata bukan tanpa alasan, Ia memang hanya butuh mengecek keadaan proyek hari ini, tidak lebih. Jadi, ia memang tidak terlalu sibuk.Wida kembali me
Ke Klinik BersalinWida merasa ucapan Wasis, seolah-olah merendahkan istrinya sendiri, tapi ia tidak ingin menanggapi lebih jauh karena hanya akan membuat pertengkaran saja. Ia terbiasa membina orang-orang kalangan generasi muda, remaja atau anak-anak, dan melatih mereka menuju sebuah proses kesuksesan dibidang seni tari. Dengan demikian, ia terbiasa menghadapi berbagai macam karakter manusia. Begitu juga saat menghadapi suami dan keluarganya, maka ia lebih baik bersabar dan mengalah. kalau tidak ingin membuat pertengkaran semakin parah.“Mas! Besok anterin aku ke bidan, ya?” Akhirnya Wida mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik, ia membicarakan hal yang tidak disukai suaminya. Akhir-akhir ini perhatian Wasis, sangat terbatas hingga wajar kalau Wida ingin mendapatkan perhatian lebih dari suaminya, apalagi sekarang dirinya sedang hamil.“Buat apa ke Bidan, kandungannya juga masih kecil?” tanya Wasis menatap Wida dengan tatapan penuh tanya.“Ya, nggak apalah, Mas. Cuma memas
Dia Punya Otak JugaWida mengabaikan saja ocehan Ibu mertuanya yang terdengar jelas dari kamar, tiba-tiba hatinya seperti di cubit karena ucapan yang merendahkannya itu.Sudah sering Warsi mengatakan hal-hal kasar pada Wida, tapi ia tetap bersabar sampai saat ini, karena menghargainya sebagai ibu dari sang suami—pria yang ia cintai.“Astaghfirullah!” gumam Wida lirih sambil mengusap dada. Wanita itu merasakan sikap kasar ibu mertua yang dimulai sejak ia berhenti bekerja, semakin parah saja. Namun, kali ini disebabkan oleh kehamilan menantu yang tidak mereka harapkan.Wida langsung menghampiri anaknya yang masih menangis dalam box-nya, setelah selesai berpakaian. Lalu, menghampiri Wasis yang masih tidur sejak mereka selesai melepaskan kerinduan sebagai suami istri. Ia ingin agar suaminya itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajibannya, karena waktu sholat magrib sudah tiba.“Mas, bangun!” kata Wida sambil menggoyangkan tubuh suaminya sementara ia menggendong anaknya agar tidak
Memikat Hati TetanggaMenyadari tatapan Wastra itu, Wida segera mengalihkan pandangannya kembali pada ibu mertuanya. “Ya Allah ... Ibu ini sudah tua tapi mukulnya keras juga ya?” kata Wida sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas akibat pop ukulan sang ibu mertua. “Kamu ini, mau melawan?” Setiap kali Ibu mertuanya mulai marah maka Wida lebih memilih untuk mengalah, karena ia orang yang tidak suka mencari permusuhan dia lebih cinta damai. “Maaf, Bu, tadi Wahyu nangis, jadi saya ajak jalan-jalan sebentar. Lagian, biar saja Wuri bikin air minum buat tamu, dia dapat pahala, loh, Bu?” “Apa kamu bilang tadi? Sebentar? Eh, ingat ya, kalau nanti kamu sudah melahirkan, kamu tidak bisa santai-santai lagi seperti ini, apa kamu ngerti?” “Iya, Bu ... saya ngerti dan tidak akan merepotkan Ibu selagi saya bisa melakukan semuanya sendiri.” Wida kembali ke kamar untuk mengganti pakaian anaknya, seraya melirik sekilas ke ruang tamu di mana ada empat orang duduk secara berhadap-hadapan. Mere