“Saya harus sopan kayak gimana, Om? Sama kayak anak Om, Om enteng banget minta hal yang nggak mungkin ke saya dan Vindreya. Saya juga berhak dong pertahanin hubungan saya sama Vindreya.”
“Heh, Kenzo. Kalian itu masih anak SMA. Masih terlalu kecil untuk yang namanya mempertahankan hubungan sengotot ini. Kenapa? Kamu cinta sama Vindreya? Halah. Di usia kalian, cinta itu masih belum ada apa-apanya. Udahlah. Lepasin aja Vindreya dan liat kenyataan bahwa dibanding kamu, Elvano jauh lebih membutuhkan Vindreya.”
Kenzo menatap tajam pada ayah Elvano. “Jangan bicara terlalu banyak tentang perasaan dan cinta orang lain, Om. Takutnya nanti Om bakal malu sendiri kalo ingat-ingat lagi hal ini. Saya juga mau minta maaf sebelum saya menyesal. Maaf karena mungkin saya memang udah bersikap nggak sopan. Ya, mau gimana lagi? Saya emang nggak sopan orangnya. Jadi, kalo Om nggak mau mendapat perlakuan nggak sopan dari saya, jangan c
“Sebenarnya gue bukannya udah lama nggak ke sini, Vin. Justru hampir tiap sore gue ke sini kalo Rega udah selesai privat. Masalahnya, lo-nya aja yang selalu nggak ada di rumah. Kata orang tua lo, lo di rumahnya Elvano. Tiap kali gue ke rumah lo dan tanyain lo di mana, jawaban orang tua lo selalu aja sama.”Bola mata Vindreya berpaling dari wajah Hansa. Vindreya diam, entah dia harus menanggapi perkataan Hansa itu dengan apa.Hansa mendekatkan posisi duduknya dengan Vindreya lalu memegang lutut sahabatnya itu. “Vin, meskipun lo berusaha untuk keliatan baik-baik aja, tapi kami semua yang ada di deket lo tau bahwa lo emang lagi ada masalah dan ini pasti ada kaitannya sama Elvano, lebih tepatnya setelah nyokapnya Elvano meninggal. Bahkan lebih parahnya, itu sampe berdampak buruk sama hubungan lo dan Kenzo.”Tanpa Vindreya sadari, kepalanya sedikit tertunduk. Dia masih belum tau mau menangg
“Maminya Elvano meninggal dan itu pasti karena kecelakaan itu. Malam itu sebelum maminya Elvano meninggal, Papa tau sendiri bahwa aku diminta untuk ketemu sama maminya Elvano. Di dalam ruangan itu, maminya Elvano yang udah ngerasa bahwa hidupnya nggak akan lama lagi, minta aku untuk selalu ada di sisinya Elvano dan bahagiain Elvano. Maminya Elvano minta aku untuk akhiri hubungan aku sama Kenzo dengan kalimat penenang bahwa ‘toh jodoh nggak akan ke mana’. Maminya Elvano bilang kalo dia udah nggak ada, maka cuma aku satu-satunya harapan untuk bahagiain Elvano.”“Jadi, itu sebabnya akhir-akhir ini kamu selalu nemenin Elvano? Karena janji itu?”Vindreya mengangguk pelan.“Terus gimana sama hubungan kamu dan Kenzo?”“Hubungan kami masih baik-baik aja, Pa. Tapi, perasaan kami yang enggak. Di sekolah, nggak jarang Elvano tiba-tiba
Kenzo dan Vindreya berjalan beriringan di pinggir jalan di sekitar rumah Vindreya dengan beratapkan langit hitam dengan taburan bintang dan sebuah bulan putih yang sebagian tertutup awan.Vindreya menggenggam tangan kiri Kenzo semakin erat lalu menoleh pada laki-laki itu sambil tersenyum. “Ini yang gue suka kalo jalan sama lo, Ken. Jalan yang emang beneran jalan, bukannya naik motor atau mobil. Jadinya, kita bisa pelan-pelan melangkah dan menikmati suasananya. Oh, iya. Ngomong-ngomong, gimana keadaan nyokap lo? Udah lama gue nggak jenguk.”“Baik. Doain aja semoga kondisinya nggak mendadak down kayak biasanya.”Vindreya mengangguk mantap. “Pasti gue selalu doain yang terbaik untuk nyokap lo. BTW, Minggu pagi besok gue ke rumah sakit, ya. Kita ajak nyokap lo jalan-jalan. Kasian ‘kan kalo di rumah sakit terus. Pasti bosan.”“Hem. Tapi harus gue
Alis ayah Elvano merapat, sedikit merasa tersinggung mendengar usul Gavin. “Tapi Vano nggak gila.”Gavin tertawa kecil. “Nggak harus gila dulu baru bisa dateng ke psikolog atau psikiater. Kamu liat sendiri ‘kan gimana Elvano sekarang? Kehilangan orang yang dia sayang jangan sampai berpengaruh buruk ke mentalnya. Kamu juga pasti nggak mau liat Elvano terus-terusan punya emosi yang nggak stabil kayak gini.”“Yang Gavin bilang bener. Kita bisa konsultasi dulu ke psikolog soal kondisinya Elvano. Kita semua ingin Elvano balik lagi jadi Elvano yang dulu,” kata Freya.Ayah Elvano diam cukup lama, menimbang-nimbang masukan dari Gavin dan Freya. Dia lalu menghela napas panjang. “Kalian benar juga.”“Aku punya kenalan seorang psikolog. Kalo kamu berkenan, aku akan minta dia ke sini besok pagi untuk ngobrol sama kita dan Elvano pastinya,” t
Beberapa jam sebelum pemakaman ibunya, Kenzo kembali ke rumahnya. Dia memperhatikan tiap sudut ruangan itu sambil menanggung rasa sedih yang begitu mendalam. Dia berjalan menuju dapur, lalu memperhatikan tiap perabotan memasak yang ada di sana, membayangkan ibunya pulang dan memasakkan makanan untuknya. Dia lalu berjalan hingga akhirnya tiba di depan TV sambil membayangkan ibunya yang telah sembuh akan duduk di sana dan menonton bersamanya. Dia juga pergi ke sebuah kamar yang telah lama kosong sejak ibunya diputuskan untuk dirawat di rumah sakit, membayangkan ibunya tidur di sana sambil tersenyum dan akan kembali bangun.Kenzo menarik napas dengan dalam lalu mengembuskannya dengan sedikit bergetar. Tak ada setetes air mata pun yang berhasil mengalir di pipinya. Yang ada hanyalah sedikit lapisan bening bagai kaca di permukaan matanya seolah hanya itulah air mata yang dia punya, tak ada lagi yang lain. Andaikan Kenzo bisa menangis, maka dia akan melakukannya
Vindreya tertawa lagi. “Lo bener dan kita bakal balik kayak dulu lagi, tanpa ada pengganggu.”“Yah, semoga aja hari itu segera tiba tanpa perlu waktu yang lama, Vin.”“Ngomong-ngomong ….” Vindreya memperhatikan Kenzo dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Tumben lo pake pakaian serba hitam plus kacamata hitam gini. Tapi, sumpah demi apapun lo keliatan keren banget, Ken. Ini bener-bener menggambarkan sosok pangeran hitam.”“Vin, nyokap gue tadi meninggal.”Deg!Vindreya tersentak. Matanya yang sejak tadi menatap sayu, kini mendadak membulat sempurna. “A—apa?”Kenzo tertawa kecil. “Makanya gue pake pakaian kayak gini.”Tak butuh waktu lama, air mata Vindreya langsung tumpah dan menciptakan sebuah aliran sungai
Masih di sore yang sama dengan saat di mana ibunya dimakamkan, setelah pergi dari rumah Vindreya, Kenzo berjalan kaki sendirian selama puluhan menit hingga akhirnya saat ini dia berhenti di depan rumah Elvano.Cukup lama Kenzo berdiri di sana sambil menatap kesal pada rumah megah di depannya itu, teringat bagaimana tiga anggota keluarga yang tinggal di rumah itu membuat hidup Vindreya serasa terjebak dalam sebuah tanggung jawab yang besar.Kenzo menunduk, mencari di sekitar kakinya sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melampiaskan rasa marahnya sekaligus menarik perhatian orang yang berada di dalam rumah itu. Lalu, dilihatnya sebuah batu berukuran sedang berada tidak sampai setengah meter dari sebelah kiri kakinya. Dia mengambil batu itu kemudian ….Prang!Kenzo melempar dengan kuat batu itu ke jendela salah satu kamar hingga pecah dan menimbulkan suara yang begitu nyaring. So
Alis Vindreya merapat. “Apa jangan-jangan Kenzo menyerahkan diri dengan menggunakan identitas yang berbeda?”Gavin tiba-tiba tertawa. “Mana mungkin bisa kayak gitu?”“Ya, terus kenapa Kenzo nggak ada di penjara, Pa? Padahal ‘kan Papa tau sendiri kemarin Kenzo bilang dia mau nyerahin diri ke polisi. Apa jangan-jangan nggak jadi?”“Itu yang paling masuk akal.”“Kalo gitu, aku mau ke rumahnya aja, deh. Siapa tau dugaan aku bener kalo Kenzo masih ada di sana.”“Mau Papa anter?”“Nggak usah, Pa. Aku sama Mama aja, deh. Papa baru aja pulang kantor.”Gavin tertawa hangat lalu mengacak-acak rambut Vindreya. “Ya, udah kalo gitu. Papa panggilin Mama dulu ya untuk minta dia anterin kamu ke rumahnya Kenzo.”